🦩🦩🦩
01
Alexander Virka Hadyan🦩🦩🦩
Pagi hari yang cerah di Excellent High School, yang beberapa siswa-siswi nya baru datang walaupun hampir pukul 7 pagi. Artinya bel masuk sebentar lagi berbunyi.
BMW berwarna hitam memasuki kawasan sekolah. Beberapa orang berbisik karena tahu siapa yang ada di dalamnya. Yang berjalan jadi melambatkan langkah menyaksikan sang pengemudi keluar. Karena itu terlalu sayang untuk dilewatkan.
Pintu terbuka. Laki-laki jangkung dengan wajahnya yang tampan itu keluar dengan santainya. Beberapa orang yang menyaksikan itu berdecak kagum dalam hati. Poninya yang agak panjang, ia singkap ke belakang dengan jemarinya. Dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung.
Jika bertanya pada semua orang yang ada di situ, siapa orang yang paling populer di EHS?
Semua dengan kompak menjawab, Alexander Virka Hadyan. Manusia berhidung mancung dengan mata tajam itu menjadi idaman perempuan seantero EHS. Apalagi banyak rumor yang mengatakan bahwa Alex atau biasa dipanggil Al berasal dari keluarga kaya raya.
Al mengecek jam tangan mahalnya, bersamaan dengan handphonenya yang bergetar di saku celana. Pukul 06:50. Menempelkan handphonenya di telinga, menunggu sang penelepon membuka suara.
"Al, langsung ke ruang fotografi."
"Oke."
Dengan santai Al menekan ikon merah kemudian mengantongi handphonenya lagi. Berjalan santai untuk menuju ke tempat yang disebutkan tadi. Bibirnya tersungging tipis, karena ia tak harus menghadiri kelas pagi ini.
Saat sampai di depan pintu yang berwarna hitam, Al membukanya dan melangkah masuk ke ruangan luas serba putih itu. Orang-orang yang ada di situ otomatis memandangnya. Bintang sekolah ini sudah tiba.
Al tersenyum sembari melepas kacamata dan melipatnya, saat melihat seorang laki-laki yang menelponnya tadi melambaikan tangan. Kakinya melangkah semakin ke dalam, mengabaikan tatapan dari orang-orang yang ada di ruangan ini.
"Mulai kapan?" tanyanya saat sudah berhadapan dengan siswa ber-name tag Dirga Taraka di seragam sebelah kiri. Ketua ekstrakurikuler Jurnalistik.
"Masih agak lama mungkin. Fotografer nya lagi nge-setting kamera. Nggak papa kan?"
"Ok. Yang lama ya. Gue lagi males masuk kelas."
Dirga tertawa hingga lesung pipinya kelihatan. "Yaudah lo tunggu aja. Gue ngurusin yang lain dulu. Enjoy!" Laki-laki berkacamata minus itu hendak pergi setelah menepuk pundak Al pelan.
"Dir!" panggil Al menahan Dirga.
"Apa?"
Al membasahi bibirnya. "Wakil lo mana?" tanyanya.
Dirga tersenyum. "Ohh, dia lagi keluar bentar. Lo duduk aja dulu."
Al mengangguk membiarkan Dirga pergi, lalu pandangannya mengitari seluruh ruangan putih ini. Tak menemukan sosok yang ia cari, melainkan tas warna peach dengan gantungan kunci yang ia kenali. Al mengambil langkah, lalu duduk di kursi depan meja tempat tas itu diletakkan.
Tangannya bersedekap di dada memperhatikan orang-orang yang kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Di ruangan yang luas ini terdapat dua meja besar, salah satunya yang ia tempati ini. Kemudian meja rapat panjang dengan banyak kursi di tengah-tengah. Yang paling utama adalah panggung rendah tempat pemotretan yang dilengkapi dengan dua lighting dan juga dua monitor.
🦩🦩🦩
🦩🦩🦩
Al menggendong ranselnya yang seringan bulu di bahu kanan, dan berjalan keluar kelas. Bersamaan seluruh siswa EHS berbondong-bondong keluar dari kawasan sekolah.
"Al, nanti malem ke tempat Juan," ucap laki-laki yang menyusulnya dari belakang. Dengan seragam yang masih rapi dari ujung rambut ke ujung kaki. Berbeda jauh dengan penampilan Al yang sudah acak-acakan. Pin nametag nya tertulis Reynand Elano.
"Ok. Juan udah balik dari Singapur?"
"Tadi pagi."
Handphone Al berbunyi. Pemuda itu menatap agak lama pada nama si penelpon. Jempolnya menggeser ikon hijau dan menempelkannya di telinga.
"Hmm."
"..."
"Nanti malem?"
"..."
"Berapa katanya?"
"..."
"Ok, wait."
Rey, si laki-laki bermata teduh di samping Al, melirik dengan sedikit curiga.
"Nanti malem lo jemput Fay dulu bisa?" tanya Rey memastikan.
"Yaaa."
"Ok, gue duluan."
Al menghela napas begitu Rey berjalan cepat mendahuluinya. Rey adalah temannya sedari kecil bersama 3 orang lainnya. Dan rencananya nanti malam adalah acara mereka untuk berkumpul setelah satu bulan.
Al seperti menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian menempelkan handphone nya kembali ke telinga.
"Balapan?"
"..."
"Gue bisa jam 1. Kalau iya siapin mobilnya."
Tut
Al kembali mengantongi handphonenya lalu menuju ke parkiran untuk pulang. Mengenai balapan, itu adalah hobinya. Bersama orang-orang dengan hobi yang sama.
Al mengendarai mobilnya dengan cepat agar segera sampai. Entah kenapa kepalanya berdenyut nyeri. Namun ia abaikan saja.
Setelah sampai pada gedung apartemen mewah di tengah pusat kota, Al melajukan mobilnya ke basemen. Keluar dari mobil, lalu berjalan menuju lift pribadi untuk ke unit paling atas setelah menempelkan kartu aksesnya di samping pintu lift.
Begitu sudah sampai, pintu lift terbuka langsung ke dalam unitnya. Penthouse mewah dengan tema monokrom dan langit-langit tinggi menjulang kini di depan mata. Ada tangga melingkar di tengah dengan desain modern menuju ke satu-satunya kamar di lantai dua. Living room terlihat sangat luas dengan perabotan serba eksklusif. Dilengkapi dengan tirai panjang berwarna hitam yang mengelilingi setengah sisi living room.
Al merebahkan tubuh jangkungnya di sofa living room. Matanya terpejam merasakan denyutan di kepalanya yang tak kunjung menghilang. Di penthouse yang mewah ini, ia sendirian. Sepi dan sunyi adalah hal yang rasanya tidak perlu ia permasalahkan. Jika tidak, orang lain akan menganggapnya kurang bersyukur mungkin? Karena hidupnya terlihat begitu sempurna.
🦩🦩🦩
14 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Only We Know
Teen FictionAda dua hal di dunia ini yang menjadi mimpi, dan tetap akan menjadi mimpi untuk Fay. Keduanya adalah balet dan Alex. Mustahil lagi ia menari balet semenjak kecelakaan yang menimpanya 6 tahun yang lalu. Menjadi ballerina adalah impiannya sejak kecil...