Perempuan di Seberang

15 0 0
                                    

"Perasaan lo sial mulu, mandi kembang sana," cerocos Lucas begitu melihat Tristan keluar dari toilet. 

Bagi Lucas sialnya Tristan itu sudah another level, apes banget soalnya. Dari mereka berlima yang berada dalam satu meja, hanya Tristan lah yang menjadi sasaran utama pendaratan sepiring ayam geprek adik tingkat mereka beberapa menit lalu saat di kantin. Kalau jadi Tristan, Lucas pasti tidak mungkin bisa memasang ekspresi tenang padahal bajunya sudah kusut, basah dan penuh noda minyak yang berserak di mana-mana.  

"Lo nggak ada niatan ngamuk? Sarkas atau apa gitu ke si pelaku yang uda bikin baju lo babak belur begini? Mana sengaja banget lagi dia raba-raba perut lo, doyan kotak-kotak emang tu betina."

"Udalah, malas gue ribut."

"Bro, gue penasaran banget sama isi otak lo, sumpah. Giliran sama si Jingga lo rese nya minta ampun kaya mama gue yang nggak bisa tenang lihat gue santai bentar."

Perkataan Lucas tidak salah, hanya Tristan belum berani mengakui sikapnya yang sangat berbeda jika itu tentang Jingga.

 Tristan bukanlah tipe yang gemar membesar-besarkan masalah, he's just let it stop bothering him. Berapa banyak pun kesialan yang menimpanya, betapa merepotkan atau memuakkannya orang-orang disekitarnya bukanlah menjadi hal yang luar biasa sampai membuat Tristan terus kepikiran, marah, jengkel dan sejenisnya. Jadi sasaran pendaratan sepiring ayam geprek terbang, paling Tristan cuma rugi diwaktu karena harus pulang-pergi untuk ganti baju. Ban motornya bocor, masih bisa pakai mobil, kalaupun telat ya mau gimana lagi dipaksa mampir ke bengkel juga hasil akhirnya Tristan tetap telat. Tukang laundry resek karena lalai bekerja sampai jahim Tristan tertukar dengan milik orang lain, tinggal ganti tempat laundryAirpodsnya hilang sebelah, tidak masalah selama bukan Totoro --kucingnya-- yang hilang. As simple as that. Namun bukan berarti Tristan tidak pernah mengalami kepanikan, jelas dia juga pernah merasakan hal tersebut sewajarnya manusia. Tristan hanya membuat batasan akan sesuatu yang tidak penting untuk dipikirkan berlebihan. Namun, satu bulan lalu batasan itu mulai kehilangan ketegasan pada garisnya. 

Karena permintaan Ibunya, Tristan akhirnya pindah dari apartemennya ke rumah persinggahan keluarganya di daerah Dago Asri. Kasihan rumahnya nggak pernah ditempati, begitulah bujukan Ibunya seolah-olah rumah persinggahan itu adalah manusia kesepian yang rindu kehadiran manusia lain di dalamnya. Kebetulan masa sewa apartemen Tristan sudah hampir habis, pada akhirnya dia mengiyakan permintaan Ibunya. Tidak ada yang luar biasa dari rumah itu, hanya suasananya aja yang begitu suram dan gelap, juga sangat hening, mungkin karena hanya ada empat rumah membentuk koloni di ujung jalan buntu. Kalau kata Lucas yang doyan hal-hal mistis, ada mbak kunti membangun keluarga kecil di sana. Tristan sempat percaya dengan ucapan nyeleneh Lucas karena pada hari pertama tinggal di sana Tristan mendengar jelas suara isakan tangis perempuan. Awalnya Tristan ogah memenuhi rasa penasarannya, namun akhirnya dia mencari sumber suara isakan tangisan itu. Ternyata sumbernya berasal dari penghuni kamar diseberang. Lamat-lamat Tristan perhatikan perempuan itu dari celah gorden yang dibiarkan setengah terbuka. Wajah perempuan itu sedikit tidak asing, tapi Tristan pun tidak tahu pernah melihatnya di mana.

Ketidaksengajaan melihat perempuan itu menangis dibawah rembulan yang begitu temaram membuat Tristan menjadi penasaran dengan sosoknya. Sialnya tidak cukup rasa penasaran saja yang muncul dipikiran Tristan, godaan yang begitu menggila pun turut menghampiri. Mungkin karena terbiasa dengan rumah tak berpenghuni diseberang, perempuan itu merasa tidak perlu waspada dan membiarkan jendela kamarnya terbuka lebar tanpa ada gorden membatasi pandangan dari luar ketika dia hendak melucuti seluruh pakaiannya atau berkeliaran dengan melilit handuk di tubuh polosnya. Jika bukan karena teringat akan adik dan ibunya yang juga adalah seorang perempuan sudah Tristan intip hal tabu yang tersuguh gratis didepan matanya itu. Hal tersebutlah yang membuat Tristan membiarkan gorden bercorak gelap selalu menutupi pandangannya ke luar jendela. Karena itu juga Tristan sengaja membuat kebisingan lewat speaker yang memutar playlist poprock favoritnya walaupun resikonya si Totoro memusuhinya berhari-hari. Tristan juga sengaja menyalakan seluruh lampu rumah sampai matanya pusing saking terangnya agar perempuan itu menyadari bahwa rumah diseberang sudah memiliki penghuni. 

Ada banyak hal sederhana dan berbagai kebetulan yang membuat pandangan Tristan selalu berakhir ke arah Jingga. Tristan selalu penasaran akan tingkah Jingga yang terbingkai dari jendela kamarnya, bagaimana ekspresi yang akan perempuan itu tunjukkan setiap mereka berhadapan, dan mengapa perempuan itu selalu menangis dalam diam ditengah keheningan malam sambil menengadah ke langit dengan tatapan yang sangat sulit Tristan pahami. Ketika mereka tidak sengaja bertemu, di kantin, perpustakaan, persimpangan Cisitu, parkiran motor, dan tempat-tempat lainnya pasti ada saja hal yang membuat Tristan melupakan batasan yang dia tetapkan sebelumnya. 

"Oi, tunggu." Tristan menahan langkah Jingga. Refleks Tristan mengurungkan niatnya untuk berhenti mengganggu Jingga ketika mendapati ekspresi dongkol di wajah perempuan itu. 

"Namaku Jingga bukan oi, hei, woi, atau sejenisnya," cecer Jingga. "Kenapa manggil-manggil?" Jingga melipat tangannya, menunggu malas ditempatnya berdiri. "Kali ini apa lagi yang mau kamu komentari?"

Tristan mendekati motor Jingga yang terparkir tak jauh dari tempatnya. Sebelah tangan Tristan menarik kunci motor yang menempel di kenop bagasi motor Jingga lalu meletakkannya ke dalam genggaman pemiliknya. Jingga sejenak melotot ketika Tristan menarik tangannya tiba-tiba sebelum akhirnya wajahnya menampilkan keterkejutan begitu menyadari keteledorannya. 

"Gantungan kuncimu kecil banget kayanya sampai nggak terlihat."

Semburat merah jelas terlihat diwajah Jingga, antara malu dan tidak terima dikata-katain oleh Tristan.

"Harus banget sarkas?"

"Terima kasihnya?"

Jingga memutar bola matanya, benar dia dibantu tapi entah kenapa sulit rasanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih kepada Tristan. "Ogah, aku nggak pernah minta ditolong."

Persis kaya Totoro, Tristan membatin. Kucingnya selalu gengsi, ketus, dan galak, mirip sekali dengan Jingga. Tristan bertemu Totoro ketika kucing malang itu sedang berteduh di kolong mobilnya, tidur meringkuk dengan tubuh gemetar menahan dingin. Saat itu kondisi Totoro sangat memprihatinkan, kekurangan nutrisi, terkena infeksi saluran pernapasan, kotor dan bau. Butuh enam bulan bagi Tristan untuk mengakrabkan diri dengan Totoro yang selalu bersikap waspada kepadanya. Hingga enam tahun berlalu, Totoro yang suka ngereog itu pada akhirnya sangat clingy-an kepadanya walaupun tetap saja gengsi. 

Selayaknya perasaan tergelitik setiap melihat ekspresi Totoro yang seperti benang kusut, begitulah Tristan juga tergelitik melihat ekspresi menekuknya Jingga. Mungkin itu alasan yang terpatri dipikiran Tristan untuk membenarkan sikapnya yang berbeda jika itu tentang Jingga.

Entahlah Tristan juga enggan memikirkannya terlalu dalam. 

"Nih pake aja jaket gue, tutupi tuh perut lo yang nyeplak banget ntar yang ada cewek-cewek pada histeris trus lo malah makin sial." Lucas melempar jaket kulitnya yang langsung ditangkap oleh Tristan.

"Thanks Cas, gue cabut dulu." 

"Lo ga masuk kelas pak Basuki?" Lucas menahan langkah Tristan yang sudah siap beranjak pergi.

"Masuk, tapi gue balik dulu ganti baju." 

Spectrum of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang