Pada suatu hari, hiduplah satu keluarga bahagia sejahtera. Sepasang kekasih yang dikaruniai seorang putri yang kini berusia tujuh tahun. Usia nya yang masih terbilang anak – anak, sudah mendapat banyak penghargaan karena kecerdasannya.
Gladis Didiane, itulah namanya. Wajahnya cantik, elok, dan mempesona. Banyak sekali anak – anak lain yang ingin seperti dirinya. Bukan hanya pandai, tetapi juga memiliki kehidupan yang hampir sempurna.
Tak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan yang maha kuasa, itu yang sering orang umum ucapkan kepada kita. Apakah berlaku untuk keluarga Gladis? Tentu saja.
Gladis terkenal sebagai anak yang periang. Tiada hari tanpa senyuman. Ketika tersenyum, matanya selalu menyipit dan menampilkan deretan gigi yang rapih. Lesung pipit yang terlihat menonjol membuatnya terlihat lebih manis. Bunga – bunga seperti sedang bermekaran di sekitarnya ketika ia tersenyum.
Tiba – tiba ayah Gladis mendapati putrinya yang terlihat murung tak seperti biasanya. Matanya sembab dan penglihatannya begitu kosong. Gladis hanya diam di kamar sendirian.
Suasana saat makan siang, ayah Gladis memanggilnya untuk turun ke bawah (karena letak kamar Gladis berada di lantai dua) dan menyantap makan siang bersama keluarganya.
Gladis turun satu anak tangga, dua anak tangga, begitu perlahan. Ia menarik kursi meja makan juga lambat lalu duduk dengan sopan. Biasanya ia terlihat bersemangat dan antusias.
"Gladis, apa sesuatu terjadi padamu? Kenapa hari ini terlihat murung sekali?" Tanya sang ayah dengan nada kekhawatiran.
Gladis tak menjawab melainkan sang ibu, "Mungkin saja ia kelelahan karena aktivitas di sekolah kemarin, atau bisa saja nilainya yang menurun."
Ayah Gladis mengernyit, apakah benar putrinya seperti itu? Tidak mungkin, Gladis memang dasarnya pintar dan sebenarnya ia adalah tipikal yang tak peduli berapa nilainya yang penting ia lolos. Kelelahan aktivitas di sekolah? Gladis adalah gadis yang paling bersemangat dan tak pernah mengeluh. Sekalinya kelelahan ia akan bercerita pada kedua orang tuanya.
"Ayah dan ibu tak pernah memaksa mu untuk selalu berhasil dalam melakukan sesuatu, jika merasa capek, kau bisa beristirahat atau bercerita pada kami." Sang ayah mengelus lembut pucuk kepala putrinya. Mereka pun mulai melaksanakan makan siang.
Hari demi hari, bulan demi bulan. Perubahan sifat Gladis sangat drastis. Bukan dalam hal positif tetapi sebaliknya. Sang ayah semakin curiga, tetapi jika ditanya Gladis hanya menjawab, "Tidak apa – apa ayah."
Setiap kali sang ayah pulang kerja, biasanya langsung disambut hangat dengan Gladis dan istrinya. Tapi, kini tidak lagi. Ayah Gladis pergi menuju kamarnya dan mengecek kondisi putrinya. Terdapat beberapa luka lebam di lengannya yang ditutupi baju lengan panjang.
Sang istri selalu bercerita jika terjadi sesuatu pada putrinya. Tetapi, untuk saat ini sangat jarang.
Ia pun keluar kamar. Menuju ruang tamu tepat dimana sang istri sedang duduk dengan segelas alkohol dan film opera di televisi. Sang istri menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman. "Bagaimana? Apa Gladis sudah tertidur nyenyak?"
Sang ayah hanya tersenyum tipis, "Ia bahkan mendengkur."
Sang istri tertawa pelan dan mempersilahkan suaminya untuk duduk disampingnya. Ia menuangkan alkohol ke dalam gelas berukuran sedang dan memberikan pada ayah Gladis.
"Jangan meminum terlalu banyak, kau akan mabuk nanti." Pinta ayah Gladis.
"Bukankah saat ini aku sedang mabuk?" Jawabnya lalu ia tertawa.
Keesokan harinya, ayah Gladis berniat untuk pulang lebih awal. Sebelum matahari terbenam. Namun, ia tak mengatakan hal ini pada istrinya. Ketika sudah sampai di rumah, ia berusaha sebisa mungkin tak menimbulkan suara atau derap kakinya.
Memasuki rumah yang nampak sepi, ia tak mendapat adanya perbedaan jika ada dia atau tidak.
Akan tetapi...
"AAAAA LEPASKAN IBUU LEPASKAN!! INI SAKIT SEKALI!!!" Jeritan kencang yang terdengar jelas di telinga sang ayah.
Sang ayah bergegas menuju sumber suara–di kamar Gladis. Pintu dibukanya, dan langsung ia mendapati hal yang mengejutkan diluar dugaan.
Sang ibu terlihat sedang menjambak kasar rambut Gladis. Dan Gladis sedang menahan isak tangisnya. Gladis terlihat tak mengenakan baju, hanya pakaian dalamnya saja dan terlihat banyak lebam disana. Entah apa yang sudah dilakukan sang ibu padanya.
~..~
"Sayang, ada apa denganmu? Mengapa kamu melukai anakmu sendiri?" Tanya sang ayah panik.
Sang istri menggeram, mengepal kedua tangannya kuat – kuat, memperlihatkan emosinya yang menggebu – gebu. Ayah Gladis sendiri tak paham apa yang terjadi dan apa maksud dibalik semua ini.
Apa ini yang menyebabkan perubahan sifat Gladis?
"Kau yang tidak tau apa apa jangan ikut campur!"
Sang ayah menangkis pukulan yang hampir mendarat di wajahnya. Matanya membulat menatap sang istri sekaligus memegang tangannya.
"Saya adalah kepala keluarga disini, saya yang bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi, tentu saja saya berhak mengetahui apa yang terjadi padamu." Karena rasa kesal, ia sampai mengubah cara bicaranya.
Sang istri melepas paksa genggaman suaminya. Ia mengalihkan pandangan dan merapihkan rambutnya.
Ayah Gladis menghampiri anaknya yang menangis tersedu – sedu. Ia mengusap halus pipi anaknya yang terasa sakit.
"Ayah, kumohon jangan dekati ibu. Ibu jahat dan dia berbahaya."
"Apa yang sebenarnya terjadi putriku?"
"Dia yang membuatku terluka ayah–"
"Dia adalah anak yang durhaka! Dia anak yang keras kepala! Dia tak pantas hidup di dunia ini!!!" Sela sang ibu sambil menunjuk – nunjuk putrinya.
Gladis kembali menangis ditambah jeritan suaranya yang melengking begitu mengejutkan telinga sang ayah.
Sang ayah berdiri. Ia mengambil satu barang di sekitarnya yang menurutnya cukup tajam. Dan langsung ia lemparkan ke arah istrinya sendiri.
"Coba lihatlah diluar sana, banyak orang tua yang menginginkan anak seperti kita. Tapi kenapa kau malah memperlakukannya seperti ini? Mengapa kamu malah menyakitinya?" tanya sang ayah dengan wajah yang memelas.
"Aku.."
"Tidak.."
"Peduli!!"
Ia memukul suaminya sendiri dengan sebuah kursi meja belajar milik Gladis. Karena tidak terima, ayah Gladis tidak ragu untuk membalas itu.
Ayah Gladis memukul wajah istrinya dengan satu pukulan. Perutnya, hingga lengannya sampai istrinya merintih kesakitan. Sang ayah bahkan sebenarnya tak berani menginjak rumput, atau melukai kawanan semut karena seperti itulah hatinya yang lembut. Namun, jika seseorang sudah melukai putrinya sekalipun itu istrinya sendiri, ia dengan senang hati langsung membalas dua kali lipat lebih pedih.
Perbuatan nya terlalu berlebihan. Dan ia lakukan ini di depan mata Gladis, putrinya sendiri. Gladis hanya berteriak sekencang mungkin, ia juga menutup kedua telinga dengan tangan yang gemetar. Vas bunga kesayangan Gladis pecah di tangan ayahnya. Vas bunga tersebut dilemparkan tepat di kepala ibu Gladis hingga pecah. Kaca yang pecah berkeping – keping dan darah yang bercucuran menodai lantai.
Sang ibu sudah mengeluarkan banyak darah. Di tangan, bahkan juga di kepala. Sang ibu adalah penderita anemia, jika seperti ini bisa saja dia mengalami pendarahan di kepalanya.
Dugaan itu benar, sang ibu mulai melemas. Kepala nya mulai kunang – kunang, hidungnya sudah mengeluarkan setetes demi setetes darah. Itu terasa menyakitkan. Pandangan nya sudah mulai kabur, pikiran pun kalang kabut antara tetap hidup atau mati. Namun jika sudah seperti ini, mati lebih baik.
Sang ibu terjatuh. Napas ayah Gladis terengah – engah setelah mengeluarkan seluruh tenaga dan emosi untuk menyerang istri sendiri. Tetapi, tak ada rasa penyesalan di benaknya kalau dia sudah bertindak terlalu jauh. Yang dia prioritaskan adalah keamanan Gladis.
YOU ARE READING
who's the villain? [END]
Mystery / Thrillerdisclaimer to all readers : this story is 10000% fictional, and pure work for the author ⚠️ content warning : this story might content blood, disgusting, corps3, acts of violence don't take it serious and be wisely guys, thank you written in bahasa...