Semua mata tertuju kepada Satria begitu dia menggebrak meja. Bukan tanpa alasan, itu karena Pak Karyo- guru Bahasa Indonesia yang mengajar hari ini memberinya nilai tepat KKM, padahal Satria sudah sangat berusaha untuk mengerjakan tugas tersebut.
"Pak, kenapa nilai saya KKM?? Saya sudah mengerjakan dengan baik dan mengumpulkan tugas tepat waktu!"
"Ya, itulah nilai kamu, saya akui tugas kamu bagus, tapi sekedar bagus saja, banyak yang lebih bagus dari milikmu. Bisa dikatakan punyamu terlalu standar untuk mendapat nilai diatas KKM."
"Pak, tapi saya pernah lihat tugas temen saya dari kelas lain, tugas dia lebih buruk dari yang saya kerjain. Tapi dia dapat B pak!"
"Saya yang ngajar temanmu itu?"
"Bukan." Jawaban singkat Satria yang akan membuatnya tidak bisa memperbaiki nilai tugasnya kali ini.
"Nah, setiap guru punya kriterianya masing-masing. Saya bukan tipe guru yang memberi nilai seadanya tanpa melihat kualitas tugas yang kalian kumpulkan. Berusahalah ditugas selanjutnya biar kamu dapat nilai yang lebih baik."
'Sial!' Satria mengumpat dalam hati, dia menatap Pak Karyo dengan tatapan tajam. Meski begitu Pak Karyo tidak peduli, sebagai guru tentunya Pak Karyo sudah menemui bermacam-macam sifat muridnya.
"Baik, pertemuan kali ini cukup sampai disini saja, masih ada waktu untuk memperbaiki nilai dilain kesempatan. Selamat sore." Pak Karyo meninggalkan ruang kelas. Benar-benar tak bisa diganggu dengan masalah nilai yang ia berikan kepada siswanya.
Dengan perasaan yang masih berapi-api, Satria menenteng tas miliknya dan segera keluar. Dilihatnya disamping pintu sudah ada Gentara, entah sejak kapan dia menunggu, padahal kelas yang ditempatinya dengan kelas yang ditempati Satria beda gedung.
Sebenarnya Satria sedang malas untuk berinteraksi dengan siapapun. Dia pun tau apa yang Gentara inginkan saat ini.
"Gue ke rumah lo ya?" Dan benar saja, Satria sudah menebak hal ini akan terjadi. Yang Satria butuhkan saat ini hanya tidur atau sekedar berdiam diri di kamarnya.
Satria berusaha supaya Gentara tak jadi kerumahnya. Tapi energi Satria sudah habis untuk meladeni orang-orang.
Dengan terpaksa, Satria mengizinkan Gentara mampir kerumahnya dengan syarat Gentara yang memboncengkan dirinya dan Gentara tak boleh mengganggunya atau mengajaknya bicara. Gentara menerima syarat tersebut dengan senang hati karena itu bukanlah syarat yang sulit.
Selama di motor, Satria hanya menatap kendaraan lain. Tak bisa mengosongkan pikiran tapi tak juga memikirkan sesuatu. Hingga matanya melihat satu kendaraan yang dikenalinya. Mobil milik Dirga, -papa-nya- Gentara.
"Puter balik Ra! Cepet!! Mobil papa lo ke arah sekolah!!"
"Ha mana?? bentar-bentar" meski sedikit panik, Gentara berusaha untuk segera menyusul mobil papa nya yang sedang menuju sekolah.
Untunglah mobil papa nya tidak melaju begitu kencang, Gentara dan Satria bisa berada tepat dibelakang mobil papa nya itu. Mobil itu berhenti didepan minimarket dekat sekolah, sepertinya papa nya menyadari jika Gentara dan Satria berada di belakangnya.
Sosok berbadan tinggi, tegap, dan terlihat berwibawa turun dari mobil, menghampiri Gentara dan Satria yang sejak tadi mengikutinya.
"Selamat sore om, mau jemput Tara om?" Satria segera menyapa papa nya Gentara, Dirgantara.
"Eh Satria, iya nih tapi ternyata kalian udah mau pulang ya?" Wajah ramah dan lembut itu menyapa mereka. Senyum khas seorang kepala keluarga yang sangat menyayangi anak-anaknya.
"Iya pa, tapi Gentara mau main kerumah Satria dulu" Tidak basa-basi, Gentara langsung menjelaskan jika dia akan kerumah satria terlebih dahulu.
"Oh gitu, yaudah kalo gitu kamu main aja dulu," Tak marah walau anak sulungnya pergi main sepulang sekolah. Dirga juga pernah muda.
"Wah, silahkan anaknya dibawa pulang aja om, katanya dia sebenernya udah cape pengen cepet-cepet istirahat," Satria mengarang cerita, ini merupakan kesempatan Satria agar Gentara tak berkunjung kerumahnya.
"Ha? kapan gue ngomong gitu?"
"Udahlah gausah malu-malu, tuh dijemput om Dirga, pulang aja, katanya laper juga kan?" Otak encernya membuat Satria dengan mudahnya mengatakan hal itu.
"Tara laper? kebetulan papa udah beli ikan bakar kesukaan kamu,"
"Tuh kan, Om Dirga mah pengertian, yaudah om, Satria duluan ya? udah ditunggu Ibu hehe," tak ingin memperpanjang drama ini, Satria menyegerakan untuk pamit.
"Oh iya, hati-hati Satria!" Dengan refleks, Dirga memberikan kata-kata perpisahan untuk Satria yang terlihat tergesa-gesa.
"Siap om, bye Ra!" senyum Satria terlihat, berbeda dengan tadi yang memasang wajah masam. Dengan kecepatan tinggi, Satria segera hilang dari pandangan.
***
Akhirnya aku nulis lagi, semoga beneran bisa tamat T__T Kalau berkenan bisa vote dan komen ya, untuk kritik dan saran akan sangat membantu author 💌💗 Oh iya buat cast nya nanti nyusul ya, see you in the next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
HOMELESS
Teen FictionUntuk rumah, bangun sederhana maupun megah. Namun tidak selalu bisa dijadikan tempat berpulang saat lelah.