Mendapatkan empat ikan

2 0 0
                                    

Ufuk timur perlahan menggulung gelapnya, karena matahari yang terang kembali bangun dari tidurnya dan akan bertugas kembali menyinari daratan dan seisinya. Sepucuk daun meneteskan air embun pagi yang segar dan bunga-bunga terlihat ceria disandingkan dengan sinar pagi yang menjalar. Jalanan basah karena tetesan-tetesan embun yang jatuh dan terlihat jelas rupanya sedikit memantulkan sinar pagi yang cerah. Dari balik jendela bilik yang tertutup rapat, seorang gadis berumur genap sepuluh tahun terbaring di ranjangnya. Ketika sinar telah sampai pada kelopak matanya, terbukalah pelan-pelan dan terlihatlah pupil matanya yang indah. Dia bangun - duduk dari tempatnya baring. Nampak rambutnya kusut beserta selimut yang menutupi seluruh kakinya, juga sarung kasur di bawahnya, sarung bantal dan sarung dari guling yang tergeletak di samping kanan nya. Gadis itu adalah Eliana. Mata yang masih terlihat lemah karena bangun tidur melihat ke depan dengan kantung mata masih setengah terbuka dan setengah rasa malas membuka mata. Kemudian ia mengangkat kedua tangan - menggeliat. Kelambu putih yang tebal, kemudian ia sampirkan ke sisi kanan dan melihat ke luar jendela, Matahari telah sedikit renggang dari celah pegunungan. Sekelebat ingatan ia tersadar bahwa tentang janji pagi ini. Matanya melebar, seraya sinar pagi yang menembus kaca-kaca jendela.

Pagi-pagi sekali Beatrice sudah menyalakan api di perapian. Disamping itu memang kewajiban dia memasak pagi-pagi sekali, namun karena hawa sejuk pagi memungkinkan bahwa ia berpikir ini ide bagus untuk menghangatkan badan sekaligus memasak. Bahkan ia sampai menikmati jongkok santai sambil memasukkan beberapa kayu ke dalam tungku sebagai bahan bakar. Ia melakukannya sembari meniup api dengan cerobong kecil agar apinya membesar sesuai yang diharapkan. Hingga usai sudah, kemudian ia berdiri dan meletakkan panci besar berisikan air dan menambahkan beberapa potong daging lembu ke dalam panci itu, kemudian ia menutupnya. di perapian sebelah, ia merebus air susu sapi di teko besar. Air susu sapi di teko itu telah mendidih dan mengeluarkan kepulan seperti kabut dan berhawa panas ketika dibuka tutupnya. Sedangkan hasil dari kepulan yang terkurung di dalam panci tertutup sebelumnya, menempel pada bagian dalam tutup panci - bergelantungan butiran-butiran yang bening. Bibi Beatrice pun mengambil tiga gelas yang terbuat dari kayu yang ada di rak piring - berdekatan dengan meja makan. Gelas diletakkan di atas meja, kemudian pergi mengangkat teko dari perapian dan menuangkan susu ke dalam gelas.

Susu dituangkan ke dalam gelas pertama. Tiba-tiba suara Gemeruduk dari anak tangga kayu terdengar jelas dan cepat seperti langkah kaki yang menapak dengan tergesa-gesa. Hingga pandangan Beatrice kepada susu pun dipalingkan ke arah tangga di samping kirinya - membuat Beatrice berhenti menuangkan susu dan menaruh teko di meja makan. Seorang Eliana yang berjalan cepat menuruni tangga dengan tuala disampirkan di pundaknya. Ia hendak menuju kamar mandi.

"Nona Eliana, Tolong anda-" melihat Eliana berjalan cepat menuruni tangga, membuat jantung Beatrice akan copot. Ia sangat mengkhawatirkan Eliana, namun Eliana memotong kalimatnya.

Sedangkan Eliana hanya memaparkan wajah gembira seakan apa yang ia lakukan takkan terjadi hal buruk apapun. "Pagi Beatrice!" Eliana menyapa Beatrice dan lanjut ke kamar mandi. Sebenarnya ini membuat Beatrice penasaran. Bahkan seorang Nona muda yang ia kenal, tak biasanya pergi mandi begitu cepat. Karena Eliana selalu kabur di jam-jam terbit matahari. Beatrice dibuat bingung karena sikap Eliana. Sampai lelah memikirkannya, ia berharap menyiapkan hidangan membuat pikirannya menjadi tenang. Ia kembali kepada seteko susu panasnya dan menuangkan ke gelas kedua. "Apa nona sedang kerasukan?" bahkan pemikiran lancang ini sekelebat melintas di pikirannya. Ia hanya bisa menghela nafas sekarang dan sampai detik ini Beatrice butuh kepastian, apa yang membuat nona Eliana hingga seperti yang tadi.

°
Di tempat perjanjian adalah stepa yang ketinggian tanahnya ada yang rendah, ada juga yang membukit. Pada salah satu tanah yang membukit terdapat pohon Beech yang rindang - bayangannya memenuhi sepetak tanah di bawahnya; cocok sekali digunakan Tomaz untuk berteduh. Dia sedang baring di sana - menyilangkan kedua tangannya sebagai bantalan kepala, menunggu anak yang tengah mengikat janji dengan dirinya. Satu hal yang ia herankan, baru kali ini ada yang mau mengajaknya bicara. Itu membuatnya sesekali membuka mata.

Andares : ComingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang