// 01. Belajar dari Kecewa

3 1 0
                                    

Hujan baru saja selesai membasahi kota tempat tinggalku. Sebagian warga memadati beberapa rumah makan, gerobak penjual makanan dan juga warung angkringan.

Saat ini, aku sedang duduk dan berbincang dengan seorang lelaki di sebuah warung angkringan.

"Ya ampun, Mas! Kamu serius? Gak usah terburu–buru juga kali, lagian juga aku baru lulus."

Aku sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh lelaki yang kini masih duduk di hadapanku. Mau melamarku? Ah, rasanya aku benar-benar belum siap. Sebab, selain karena baru tamat SMA, perkenalan kami juga belum lama.

"Gak masalah juga kan, Dek? Nanti setelah kita nikah, aku akan tetap izinkan kamu buat kerja atau kuliah. Apa aku salah punya niat yang serius?" ucapnya dengan mantap. Aku hanya menggeleng kepala sebagai jawaban.

Mas Danang adalah seorang lelaki yang baru satu bulan ini menjadi kekasihku. Perkenalan singkat kami di akun Facebook membuat kami cepat akrab. Usia kami hanya berjarak lima tahun. Meski sejujurnya aku tidak ingin menikah di usia muda, tapi aku sangat berharap kalau ia adalah sosok yang telah tuhan kirimkan untuk mengobati semua rasa kecewa yang pernah aku rasakan.

Ya, sejak dulu aku memang sudah kehilanggan sosok lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertamaku. Ayah. Dia sudah meninggalkanku karena perpisahan dulu. Bahkan saat itu usiaku belum genap sepuluh tahun.

"Gimana, dek?"

"Hmm aku … mau, tapi jangan terlalu cepat, ya karena banyak yang harus aku pertimbangkan."

🥀

Aku sudah menyetujui niat baiknya untuk melamarku, tapi entah kenapa akhir-akhir ini ia sulit sekali untuk diajak komunikasi. Nomernya aktif, tetapi sangat jarang membalas atau membaca pesan dariku.

"Kenapa dia jadi berubah ginih, ya?" gumamku. Sejak tiga menit yang lalu, aku yang masih berada di kamar, menatap kosong ke arah ponsel. Merasa resah karena Mas Danang tak seperti biasanya.

Sekian menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Rupanya itu ibu. Setelah itu, ia membuka pintu kamarku yang memang tidak dikunci, "Kenapa kamu gak keluar kamar?"

"A-anu Bu … mas Danang …"
Kujawab pertanyaan itu dengan kalimat mengantung.

"Dia masih jarang bales chat dari kamu?" tebaknya seraya mendekat ke arahku dan aku pun mengangguk.

"Udah gak usah terlalu dipikirkan. Mungkin dia sedang sibuk atau lagi ada urusan. Kalau jodoh gak akan kemana, Nak." Wanita yang masih terlihat cantik, meski sudah hampir menua itu mulai menasehatiku dengan cara bicaranya yang lembut.

Wajar jika aku terlalu memikirkannya. Dia sudah menitipkan harapan manis itu padaku. Jadi, aku tidak salah, kan jika menuntut pembuktian darinya?

Aku sudah mengenalkannya pada ibuku. Kuharap dia tidak mengingkari janjinya padaku.

Namun harapan itu harus pupus.

Keesokkan harinya, kami kembali berkomunikasi melalui pesan WhatsApp. Dadaku seperti tertusuk belati ketika ia mengatakan sesuatu yang tak pernah aku harapkan.

"Dek, Maaf. Sepertinya hubungan kita cukup sampai di sini saja. Aku mau bertunangan bulan depan. Sekali lagi maaf, karena aku enggak bisa menempati janjiku."

🥀

Malam yang sepi. Langit terlihat sangat gelap. Dingin. Gerimis kembali turun membasahi sebagian kota. Aku masih melihat ke arah luar melalui bingkai jendela kamar. Dengan mata kedua mata yang masih basah, aku memaki diri sendiri.

Tentu saja tanpa suara agar ibu tidak mendengarnya.

Tak seharusnya aku mempercayai dia. Hati ini benar-benar sakit. Namun apalah dayaku, mungkin kami memang tidak berjodoh.

Satu sampai tujuh hari setelah mendengar kabar itu dari Mas Danang aku masih sering menangis. Di pekan yang selanjutnya, aku berusaha untuk tetap kuat, untuk tetap 'berdiri' dan membuktikan bahwa aku masih bisa bahagia hidup tanpanya.

Satu bulan setelahnya, tepat pada tanggal sepuluh, kulihat postingan Mas Danang yang sedang memakaikan cincin pada jari manis seorang gadis. Tentu saja hati ini masih sakit. Namun aku sudah dapat merelakannya.

🥀

"Alhamdulillah, Bu Winda dapatkan sudah pekerjaan!"

Aku yang sudah duduk di samping ibu berseru riang. Tak kusangka kabar baik ini datang. Meski hanya bekerja sebagai pegawai toko, tapi aku tetap bersyukur.

"Wah, yang bener? dimana?" balas Ibu dengan wajah yang juga terlihat senang.

"Di toko kue Bu Tantri, Bu," kataku yang masih dengan semangat menjawabnya.

"Ooh toko kue Bu Tantri. Dia orangnya baik, Nak. Semoga kamu betah, ya kerja di sana!"

Kami pun mengakhiri pembicaraan kami setelahnya. Ibu sudah masak makanan kesukaanku. Kami langsung menyantap makanan karena memang perutku sudah lapar.

Hidupku harus terus berlanjut dengan cara apapun. Mungkin ini jalan terbaik dari-Nya untukku.

Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun hanya mengandalkan surat keteranggan lulus. Sebab, ijasahku belum resmi keluar.

Tentang Mas Danang … kami sudah putus kontak. Aku sudah tidak pernah memikirkannya lagi. Kubiarkan ia bahagia dengan jalan hidupnya.

Selesai
Panangga, 18 Mei 2022

Luka, Kata & Cerita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang