// 02. Sudah Terlambat

3 1 0
                                    

Hari ini cuaca cukup cerah. Dengan menggunakan earphone pada kedua telingaku, aku mendengarkan sebuah lagu. Inilah yang kulakukan saat sedang duduk di halte. Tak lama setelah itu, bus muncul.

Aku mulai naik. Mengambil posisi duduk di tempat yang sama. Barisan kedua sebelah kanan dekat dengan jendela. Hey, lihat! Tepat di barisan kursi yang sama di sebelah kiri, dia duduk dengan anggun. Ya, gadis itu lagi.

Sudah delapan bulan aku menaiki bus ini dan selama itu juga aku melihatnya duduk di tempat yang sama. Setiap melihatnya aku selalu membeku. Tak berdaya. Lebih tepatnya aku telah jatuh hati padanya. Namun sampai detik ini, kami belum pernah mengobrol, bahkan aku belum tahu siapa namanya.

Setiap kali kami bertemu, hanya sebuah senyuman yang dapat kulemparkan padanya. Ia selalu membalas senyuman itu. Ah, rasanya aku kesal dengan diriku sendiri. Mengapa aku bisa sep*ngecut ini. Ingin sekali aku berkenalan, lalu menyatakan cinta padanya, tapi rasanya itu sangat sulit.

Aku selalu menyukai penampilannya yang sederhana, tapi terlihat sangat cantik. Rambut hitam yang terikat, celana panjang berwarna krem dan kemeja atau baju kerja yang berbeda setiap harinya. Ya, aku sangat hafal. Setiap hari ia mengenakan celana dengan warna yang sama, tapi baju atau kemejanya berbeda.

“Hay.”

Oh, tidak! Dia menyapaku terlebih dahulu.

“H-Hay,” balasku dengan gugup.

“Apa ada salah dengan penampilanku? Mengapa tuan memperhatikan saya seperti itu?” tanyanya. Ternyata selama ini, ia sadar bahwa aku memperhatikannya.

“Ti—tidak, nona.”

***

Satu Minggu Kemudian...

Hujan mulai membasahi ibukota. Senin ini, aku harus mengenakan payung untuk sampai di halte bus yang letaknya sedikit jauh dari kosanku.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya bus datang. Aku naik. Yups! Gadis itu lagi. Ia masih duduk di kursi yang sama, tetapi dengan pakaian sekaligus penampilan yang cukup berbeda. Ah, tak apalah.

Hari ini, tekadku tetap bulat. Aku akan memberikan bucket bunga ini padanya, lalu mengungkapkan perasaanku. Terdengar sangat mudah. Namun untuk melakukannya cukup sulit. Untunglah aku sudah mempersiapkan ini sejak semalam tadi.

“Hay, Nona ...,” sapaku untuk memulai.

“Hay,” balasnya dengan sebuah senyuman manis yang tipis.

“Penampilanmu hari ini sangat berbeda, ya?” ujarku. Sedikit basa-basi.

“Oh iya, besok aku akan menikah—“

“Me-menikah? Sungguh?”

“Iya. Hari ini aku akan berpamitan pada teman kantorku. Sebab, setelah menikah, aku akan menetap di luar kota.”

Oh ibu ... ternyata semuanya sudah terlambat. Ini semua karena kep*gecutanku selama ini.

Bogor, 13 Februari 2021

Luka, Kata & Cerita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang