Hari itu merupakan hari yang tak pernah aku sangka. Dimana aku melihat wajah yang biasanya selalu tersenyum kepadaku menjadi terbujur kaku. Bibir yang biasanya merah merona menjadi pucat pasi. Kehangatan di tubuhnya yang selalu aku rasakan ketika aku memeluknya berganti dengan rasa dingin serta bibir yang biasanya selalu antusias dengan segala ceritaku. Kini tidak lagi mampu menanggapi apa pun yang aku ucapkan.
Tepat saat itu juga aku kehilangan rumahku untuk selama-lamanya.
"Yang sabar ya, nduk," ucap budheku sambil mengelus pundakku pelan.
Aku hanya diam, enggan menjawab perkataan budheku.
Untuk sejenak, rasanya dunia seperti nge-freeze. Aku bingung untuk berekspresi apa. Dan hanya diam kaku tanpa ekspresi.
Waktu masih menunjukkan tepat pukul 2 pagi. Akan tetapi, rumahku yang biasanya sepi. Kali ini banyak didatangi oleh tetangga-tetangga di sekitar rumahku. Begitu juga dengan saudara-saudaraku.
"Sudah menghubungi Pak Kadus apa belum?"
"Katanya Pak Roji sudah pergi ke rumah Pak Kadus untuk mengambil kain kafan dan kapur barus."
"Oh, yaudah. Ini mau dikubur di mana ya Pak?"
Aku mendengar segala gumaman-gumaman yang terjadi di sekitarku. Tanpa tau dan menanggapi sedikitpun. Hingga sebuah pertanyaan menyadarkanku, "Ka, kamu punya kain jarik atau kain panjang?"
Aku menoleh ke arah sumber suara dan beranjak untuk berjalan ke depan almari sambil mengambil kain jarik dan memberikan ke tetanggaku yang bertanya tadi.
Setelahnya aku masih terdiam dan mencerna apa yang terjadi. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa ibuku meninggalkanku untuk selamanya.
Aku melihat ke bapakku yang sibuk berbicara dengan saudara-saudara ibu dan para tetangga. Lalu, mengalihkan pandanganku ke arah jasad ibu lagi. Dan tak lama sebulir cairan bening mulai turun membasahi pipiku. Diikuti buliran-buliran lain yang semakin deras mengalir.
Aku menangis dalam diam dengan suara yang tercekat di tenggorakan dan berusaha meredam suara tangisanku. Hingga aku sadar pesan bapakku kepadaku.
"Nduk, kamu pinter mengaji. Jika orang tuamu meninggal jangan hanya menangis saja. Mengajilah untuk orang tuamu, doakan dia sebisamu."
Akhirnya aku beranjak melangkahkan kaki ke arah kamar mandi meski dengan perasaan yang campur aduk. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sama sekali. Namun, begitu meremukkan hatiku. Rasanya benar-benar sakit.
Aku mengambil air wudhu dengan tenang dan mengambil buku yasiin untuk mulai mengajikan ibu. Namun, di setiap pelafalan ayat-ayatnya aku selalu tersendat dengan tangisanku sendiri. Tapi tetap aku paksakan untuk terus membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an tersebut. Hingga aku sudah cukup mampu membawai diriku sendiri dan adzan subuh mulai berkumandang.
Jasad ibuku mulai dimandikan, dikafani, dishalati, hingga tibalah sesi pemakaman ibuku yang tidak satu pun aku lewati.
Saat dimana buliran tanah yang basah akibat sisa hujan tadi malam dijatuhkan ke liang lahat ibuku. Aku hanya mampu terisak kembali. Entah berapa banyak aku menangis di hari itu. Tapi yang jelas, rasanya benar-benar sesak.
Temanku, Vellya dan Amanda yang hadir di pemakaman ibuku memelukku dengan kata-kata penenang yang mereka ucapkan. Akan tetapi, tidak berefek sama sekali untuk aku cukup mampu menghentikan isak tangisku.
Aku terus terisak tak berhenti. Dengan segala memori tentang ibuku yang terputar di otak seperti rekaman kaset rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Memory
Short StoryAku hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki pengalaman sama sekali dengan percintaan. Hingga dirinya hadir saat aku merasakan dunia sedang tidak berpihak kepadaku. Dia mengajarkan tentang sebuah cinta yang begitu bermakna. Cinta tanpa alasa...