Mata besar bermanik cokelat dengan surai berwarna senada di hari itu hingga kini masih menyengatnya, hari terakhir Fujiyoshi Karin bertatap dan bertukar rasa dengan Moriya Rena.
Tampak sakit pada paras manis Rena, padahal, menurut Karin, Ialah yang seharusnya menunjukkan ekspresi itu.
"Karin kurang apa? Karin ngga cukup baik?" Si surai gelap lurus menatap Rena dalam-dalam, suaranya lebih parau dari biasanya. Tercekat, seolah kata-kata yang Renaa baru saja katakan padanya menghentikan aliran nafas dan darah dalam tubuh Karin.
Renaa, panggilan akrabnya, menggeleng pelan. Bahkan senyumnya terlihat menyedihkan dengan linangan air mata yang menggunung di pelupuk mata. "Karin baik, terlalu baik buat Renaa.."
Karin menunduk, tak mampu menahan air mata. Kini pundaknya naik turun, suara isak tangis tertahan terdengar dari balik masker hitam tipis. Semua ingatannya tentang Renaa mendadak kembali menyerangnya dalam sekejap, seolah ia hendak pergi ke tempat yang jauh dan kini adalah satu-satunya waktu Ia boleh mengingat semua itu.
Moriya Rena yang datang terlambat di minggu - minggu pertama kuliah, secara mengagumkan berhasil menyihir banyak mata yang melihatnya. Ia sederhana, Ia gadis biasa yang normal, namun itu yang membuatnya spesial. Semakin mengenalnya, semakin Karin mengerti keputusasaan.
Keinginan egois Karin untuk bisa terus bersamanya, memegang tangan lembut mungil itu dan menarik surai halus itu mendekat ke dadanya. Getaran itu semakin lama semakin tak karuan, hingga Renaa bahkan bisa menangkapnya.
Mata mereka bertemu secara magis hari itu, Karin terpaku, tapi Renaa melayangkan senyum yang tak pernah dibagikan oleh siapapun.
"Karin.." Gerakan yang lihai, sentuhan yang memanas seiring detik, seiring jari-jari Renaa melelehkan kedua pipinya yang ditangkupkan. Wajah Karin secara instan memerah, manik matanya membesar dan senyum tak tertahankan tersungging indah.
Ragu-ragu, Ia berusaha menemukan cara yang nyaman untuk menatap Moriya Rena, tetapi Renaa yang tak berkutik dan seolah mantap dengan langkahnya hanya mempertahankan senyum jahil.
"Bisa-bisanya Karin membuat Renaa memulai duluan.." Karin terkekeh, menutup matanya dan membuang muka sementara Renaa memandangnya asyik sambil memegangi pundaknya.
"Karin, tidak perlu malu untuk memperlihatkannya," Renaa berbisik sambil mengelus helai demi helai rambut Karin. "Karin yang sedang jatuh cinta punya wajah yang sangat cantik."
Lebih cepat dari cahaya namun tak bersuara, keduanya bercampur aduk. Momen itu menjadi awal dari segala intimasi rahasia keduanya yang dibagi di pojok-pojok kampus, apartemen masing-masing atau di sudut kota di mana tak seorang pun dapat mengenali mereka. Meski begitu, Renaa selalu bilang bahwa Ia tak masalah meski seseorang mengenali mereka bergandengan tangan dan bersenda gurau bersama, lebih dekat dari seorang teman dekat.
Ia bahkan menggoda Karin bahwa perasaan seseorang akan menemukan mereka membuatnya semakin berdebar.
Moriya Rena, cintanya Karin padamu, sama sekali tak tahu malu pula.
Sesungguhnya, Karin hanya ingin Renaa mengetahui itu. Tetapi, rasa malu dan tak tahu malu sesungguhnya hadir karena kesempatan yang dengan santun mengizinkan cinta itu untuk bertumbuh cepat.
Dan kini, izin tersebut sudah dicabut sehingga perihal hak mencinta yang Karin miliki tak ada kuasa lagi.
"Maafkan aku, Karin.."
Karin menggeleng, berusaha meyakinkan bahwa pada akhirnya ini bukan salah Renaa meski jelas, Karin ingin menyalahkannya. Harapannya hanya sepihak, keinginannya untuk menghentikan waktu hanya dimiliki Karin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sakurazaka46] The Moon That Burned Hydrangeas
FanfictionSemua salah Renaa, karena Renaa, Karin jadi seperti ini. Dalam rangka telah rilisnya single Sakurazuki & Start Over.