“Lavender,”
Karin akhirnya bisa menebak nama dari aroma yang Ia cium. Kepalanya sangat sakit, tetapi ada wangi menenangkan yang sedari tadi memanjakannya.
Dalam balutan selimut tak berbusana.
Sedikit mengerang karena rasa sakit yang berulang di belakang kepalanya dan lidahnya yang terasa kelu, Karin menggeser tubuhnya susah payah. Ia merasa sedikit demam, hingga terlihat pantulan di cermin depan ranjang, terjawab sudah dari mana rasa hangat sekaligus dingin yang menusuk ini.
Ia menyipitkan matanya sekali lagi, berusaha berpikir tapi akhirnya menyerah. Fujiyoshi Karin, gadis yang genap berumur 22 tahun tadi malam, menutup matanya sambil mengerang kesal ketika melihat tubuhnya tak tersemat satu benang pun. Di atas ranjang yang tak ia kenal, tanpa ingatan tentang kemarin malam.
“Ah, gadis bodoh.”
Karin menggaruk tengkuknya. Bagaimana pun, Ia harus pulang. Kemarin Hari Selasa, jadi seharusnya, pagi ini dia sudah naik komuter ke kantor. Tetapi, nahas, dirinya menemui nasib berkat kecerobohannya meminum terlalu banyak alkohol tadi malam, satu-satunya yang bisa Ia ingat.
Karin menghela nafas dan menjatuhkan lagi tubuhnya pada sprei putih lembut, dielusnya sprei itu sambil berusaha memanggil ingatannya kembali. Dilihatnya setelan kantornya bertengger di atas sofa depan televisi kecil, tetapi lebih besar sedikit daripada yang dimilikinya di apartemen.
Seseorang memboyongnya pulang ke ruangan ini tadi malam. Entah perempuan atau laki-laki, selepas pesta minum kantor. Seseorang melucutinya malam tadi, merasakan setiap inchi dari tubuhnya—tanpa kesadarannya sendiri, atau bahkan persetujuannya. Tetapi, Karin tidak memberontak. Ia mungkin terlalu lemah atau terlalu lelah, atau mungkin ini satu dari sekian malam yang jarang, di mana Ia menjadi seorang jalang. Beberapa kali itu pernah terjadi, setidaknya dengan ingatan yang utuh.
Meski setengah mati, Ia berusaha menghapuskan ingatan-ingatan tersebut.
Kini, harapannya terkabul. Ia tak ingat siapapun, wajah atau bahkan tubuhnya. Seperti apa mereka, dan bagaimana mereka bermain bersamanya.Karin menggerakan pinggulnya, sedikit sakit. Kemungkinan penetrasi terjadi, tetapi pasti dilakukan dengan lembut dan pemanasan yang lama. Atau mungkin, Ia sudah sangat siap menerimanya. Dadanya tidak terasa sesakit biasanya, berhubungan dengan orang-orang yang pernah singgah.
Setidaknya, orang itu memperlakukannya dengan lembut malam tadi. Kemungkinan berbisik di telinganya, bahkan bisa jadi mencium bibirnya dengan penuh perhatian sambil menatap wajahnya dan menyeka keringatnya.
Sayangnya, mereka tidak begitu baiknya melipatkan baju kantor Karin. Ia masih membutuhkannya.
Karin mengelus tengkuknya, Ia kemudian turun dari ranjang sambil sempoyongan berusaha memungut baju dan celana dalamnya yang berserakan di lantai. Lebih dekat dari cermin, Ia bisa melihat banyak sekali bekas kecupan di sana sini.
“Gila.” ucapnya. Ia sedikit menyesali empati pada orang asing yang memilikinya malam tadi. Ini sih macam penyiksaan satu arah. Begitu banyak cupang sana sini, bahkan ada yang berwarna ungu gelap. Karin menyentuhnya, “Sakit..”
Ia lantas membalikan badannya di depan cermin, ke kiri dan ke kanan, mengecek apakah hanya di leher dan dadanya saja. Ternyata di punggungnya, ada bekas cakaran yang lumayan banyak. “Gila.” ucapnya sekali lagi, itu artinya malam tadi, Karin juga mengambil kendali atas orang tersebut.
Karin jadi ngeri sendiri. Entah apa yang merasukinya hari kemarin, entah berapa orang pula. Entah dia ini menjadi semacam taruhan—karena itu ulang tahunnya; atau seseorang menjadi hadiah untuknya—karena itu ulang tahunnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sakurazaka46] The Moon That Burned Hydrangeas
FanfictionSemua salah Renaa, karena Renaa, Karin jadi seperti ini. Dalam rangka telah rilisnya single Sakurazuki & Start Over.