Prolog

260 42 6
                                    

Hallo, apa kabar kalian? Setelah sekian purnama, aku kembali menulis fiksi lagi di Wattpad. Ini adalah cerita pertamaku setelah mungkin satu tahun lebih tidak publish. Semoga kalian menyukainya, ya. Terima kasih.




Jakarta, 17 Januari

Untuk sahabat terbaikku, Ervin.

Hari di mana kamu memintaku untuk menjadi istrimu adalah pertama kalinya kamu membuatku bingung. Kamu tahu, kamu akan selalu menjadi sahabat terbaikku. And, I will love your, forever. Tapi, menjadi istrimu tidak pernah kubayangkan seumur hidupku. Menjadi istri siapapun tidak ada dalam cita-citaku. Kamu tentu tahu itu, Ervin. You know me so well.

Ervin, melihat wajahmu saat melamarku justru membuat pikiranku membuka memori kecil kita. Aku dan kamu tumbuh bersama. Ingat, kita pernah makan di piring yang sama, tidur siang di ranjang yang sama, bahkan mandi di kolam buatan Bapak di waktu yang sama. Wajah polosmu, tawa, dan candamu membuat hidupku berwarna. Aku tidak pernah membayangkan apa jadinya hidupku tanpa Ervin. Pasti sangat membosankan.

Aku selalu bangga dengan masa kecilku. Kupikir itu karena aku hidup dengan orangtua yang saling mencintai. Tapi, ketika bencana itu datang di masa SMP, aku tetap menyukai masa kecilku. Aku sadar jika masa kecilku terasa menyenangkan karena aku tumbuh bersamamu, Ervin.

Ketika SD, aku pernah diejek teman karena mengompol di kelas. Aku selalu diam dan hanya bisa menangis. Tapi, kamu selalu muncul membelaku. Kamu tidak peduli kalau anak laki-laki lain menganggapmu payah karena berteman dengan perempuan. Bagimu yang terpenting adalah aku tidak menangis. Aku ingat sekali saat aku bertanya mengapa kamu membelaku. "Karena laki-laki yang payah itu adalah yang membuat anak perempuan menangis."

Ketika kamu memutuskan untuk menyebrangi samudra saat lulus SMA, aku menangis sepanjang malam. Aku ketakukan. Aku takut kehilanganmu. Aku tidak sanggup membayangkan hari-hariku tanpamu. Tidak ada lagi orang yang menemaniku ke toko buku, menonton di bioskop, bahkan kukirimi surat di kotak pos. Ervin, aku ingin sekali menghalangi kepergianmu tapi aku akan menjadi orang paling egois jika melakukan hal itu. Ketika kamu lebih memilih kehilangan pacarmu daripada menjauhiku di waktu SMA, itu selalu berkesan padaku. Maka, kali ini aku harus mengalah. Pergi ke Eropa adalah mimpimu sejak dulu. Tinggal di Jerman adalah imajinasi kecil yang kini kamu wujudkan.

Hari setelah aku mengantarmu ke bandara bersama Mama dan Papa, aku menangis sepanjang malam. Bapak melihatku tapi urung bertanya. Beliau paham seberapa kacau perasaanku saat itu. Untuk pertama kalinya aku menangis karena laki-laki.

Ervin, bahkan ketika kamu akhirnya memilih melanjutkan karier di Jerman, aku tidak pernah ingin mencari bahu lain sebagai tempat bersandarku selain milikmu. Bahu Ervin terasa begitu nyaman dan menenangkan. Itu alasan mengapa aku hanya ingin menangis di depanmu. Aku yakin jika air mata ini akan sirna bila kamu yang menghapusnya.

Ervin, berjanjilah padaku. Berjanjilah jika persahabatan kita tidak akan berubah. Tetaplah menjadi best man-ku, tetanggaku, mencintaiku, dan menyayangiku. Bahwa kelak, apapun hubungan kita nanti, kita akan selalu ada untuk saling menyayangi dan mencintai.

Sahabatmu,

Keeza Fatia Hilman



Cuplikan Bagian 1

"Menikah denganku, Keeza," ucapnya lagi dengan nada penuh keyakinan. Ketika ia mengucapkan namaku lengkap, artinya, Ervin 100 persen dalam mode serius.

"Sejak kapan, Vin?" balasku.

Ia mengedikkan bahu. "Mungkin sejak aku pindah ke Jerman. I don't know, Key. Aku hanya merasa enggak bisa hidup tanpa kamu. Setiap kali menghadiri pernikahan teman, yang ada dalam bayanganku adalah kamu dan aku berdiri di pelaminan itu. Tiap kali temanku memiliki bayi, yang ada dalam bayanganku adalah kamu yang menggendong bayi kita. Dan, tiap kali kakekku bertanya kapan menikah, yang ada dalam pikiranku adalah kamu menggunakan kebaya putih," katanya. "And you look so gorgeous, Key."

The LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang