Selamat membaca, teman-teman. Aku minta komen dan like-nya ya. Terima kasih dan semoga suka.
Aku adalah satu perempuan aneh di dunia yang tidak menyukai fiksi. Yah, that's true. Sejak memasuki semester akhir, aku menolak membaca kisah fiksi. Terlebih setelah tahu alasan dari sebuah rahasia yang selama ini dipendam orangtuaku. Bagiku, fiksi hanyalah sepenggal kisah konyol untuk menjual mimpi. Terlebih dengan banyaknya platform kepenulisan digital yang justru menyuburkan bisnis menjual omong kosong. Karena bagiku, hidup adalah tentang realitas dan perjuangan. Bukan sebatas mimpi mengenai pangeran berkuda putih yang akan menarik perempuan dari masalah yang membelenggunya. Aku terus menanamkan pikiran itu di kepala. Sebuah pemikiran yang akan dianggap aneh oleh Bapak-satu-satunya orangtua yang kumiliki.
Ketika teman kerja atau orang-orang di lingkunganku berbicara mengenai romantisme dari novel yang mereka baca, aku justru menghindar. Aku tidak bisa menumbuhkan mengenai laki-laki baik, tampan, mapan, dan setia yang menjadi pasangan perempuan. Karena di hati kecilku, aku takut jika perasaan itu tumbuh. Sebuah rasa yang hanya memberikan kebahagiaan sesaat. Setelahnya, aku yakin akan jatuh di lubang nestapa yang menghancurkan hidup. Iam sure, I can't survive after that. Jadi, aku memilih menghindari romantisme layaknya tokoh-tokoh dalam kisah fiksi.
Kebanyakan orang di dunia nyata hidup layaknya kisah cinta dalam novel. Bertemu, berkenalan, pacaran, menikah, dan bahagia selalu menyelimuti kehidupan mereka. Tapi, bagaimana kalau kehidupan nyata tidak semenyenangkan itu? Bagaimana kalau setelah menikah, hidup akan semakin kacau dan tidak bahagia? Bagaimana kalau kebahagiaan sejati adalah saat kita tidak memiliki seseorang yang disebut suami atau istri? Bahwa sebenarnya, fiksi adalah sebuah kepalsuan populer. Cara elegan untuk menutupi buruknya lembaga pernikahan.
Jadi, karena itulah aku di sini. Sekitar pukul delapan pagi, aku sudah menyebrang menuju rumah besar satu lantai yang letaknya tepat di depan rumahku. Diriku tidak perlu mengetuk pintu karena memang rumah itu tidak terkunci. Tidak ada siapa pun di sepanjang penglihatanku menuju kamar yang letaknya di tengah. Pintu kamar terbuka sedikit membutku mudah menerobos. Di kasur kamar itu, aku mendapati sosok laki-laki tinggi besar yang tidur sambil memeluk guling. Aku tersenyum menatap pemandangan itu.
Sambil duduk di pinggir kasur, aku menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Vin," panggilku yang tidak mendapat balasan. "Ervin," ucapku sedikit keras. Ada pergerakan dari Ervin yang membuatku terus memanggil namanya.
"Key, aku mengantuk," suara serak Ervin terdengar sementara matanya masih tetap terpejam. "Aku belum tidur sejak subuh," rengeknya.
Aku seolah tidak peduli dengan rengekannya. Tanganku menarik tubuhnya untuk bangun. Selepas mata Ervin terbuka sempurna, aku menyuruhnya untuk berjalan mengikutiku menuju taman belakang rumah Ervin. Aku tidak perlu khawatir dengan masuknya penghuni rumah karena tahu, keluarga Ervin sibuk olahraga di Senayan dan baru kembali menjelang tengah hari.
Dengan menggunakan celana pendek dan kaus oblong yang sudah lusuh, Ervin duduk di depanku saat aku menaiki ayunan panjang. Ervin terlihat menghela napas seraya menatapku. Katanya, "Mau ditemani ke mana?" suaranya bahkan masih serak. Ia mengatakan itu seolah terpaksa padahal aku tahu bahwa ia adalah laki-laki paling tulus padaku setelah Bapak.
"Semalam bukannya enggak ada liga Inggris?"
"Iya karena ada liga champions."
Sudah pasti semalam pertandingan Bayer Munchen. Sebuah klub sepakbola favorit Ervin. Ia hampir tidak pernah melewatkan satu pun pertandingan Munchen. Aku selalu memahami itu. Tapi, sekarang adalah situasi darurat. Aku perlu Ervin untuk menjernihkan pikiran. Aku tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Aku harus berpikir logis sebelum menentukan apa pun yang akan aku jalani kemudian. Ervin adalah satu-satunya pilihan yang kupunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Letter
RomanceMencintai sahabat akan merusak persahabatan. Kupikir Ervin setuju dengan hal itu. Aku menyayanginya tentu saja. Ia adalah segalanya untukku. Tapi mengganti status persahabatan kami menjadi suami istri, itu terdengar gila. Sangat gila karena Ervin ya...