O1. Peppermint Gum

15 1 0
                                    

Aku tidak suka naik bus kota.

Bau asap, terlalu banyak orang, panas, apalagi kalau sedang jam penuh. Sesak, pengap, bau keringat bercampur bau asap kendaraan. Belum lagi kalau ada yang merokok atau pengamen.

Pokoknya kesanku terhadap bus kota; sangat buruk. Kalau bisa kata sangat itu di copy-paste sampai beribu kali.

Tapi tidak ada cara lain selain ke sekolah selain naik bus kota. Taksi terlalu mahal, ojek susah dicari di pagi hari. Pulang sekolah juga sama. Uang jajanku tidak cukup untuk naik ojek ke rumah. Jadi harus naik bus--lagi.

Jujur saja, aku muak.

Ingin sekali rasanya diantar jemput seperti yang lain. Naik mobil sendiri, dingin, tidak berdesak-desakan. Orang tuaku semuanya sibuk. Kami bisa saja menyewa supir, tapi dengan alasan berhemat dan supaya lebih banyak family-time, jadi itu tidak pernah dilakukan.

Hari ini juga aku naik bus kota lagi. Duduk di kursi pojok belakang, sendirian, meratapi kenapa aku naik bus lagi. Tidak lama, naik serombongan pengamen. Aku juga kurang suka dengan pengamen di bus kota. Mereka berisik.

Tiga orang membawa gitar, dua orang membawa gendang, dan dua lainnya hanya membawa beras di dalam botol. Lama kelamaan, aku cukup tertarik dengan rombongan pengamen ini. Mereka berbeda dari pengamen bus kota biasanya.

Mereka menyanyilakan lagu-lagu religius, serta membacakan doa di akhir. Jujur saja, aku terkesan dengan mereka. Jarang sekali ada pengamen yang seperti ini.

Aku tidak menyangka bahwa mereka akan duduk di sekelilingku. Berbeda juga dari pengamen lainnya, mereka berbaju rapi dan tidak bau. Aku tambah terkesan.

Merasa bosan, aku mengeluarkan permen karet peppermint yang memang selalu aku bawa. Satu bungkus isinya ada selusin, namun sekarang hanya sisa tiga saja. Aku mengambil satu dan menyimpan sisanya. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku.

"Mbak, boleh saya minta permen karetnya?" Salah satu dari pengamen itu berbicara dengan logat jawa yang kental. Aku mengangguk, mengambil sebungkus dan mememberikannya.

"Mbak, saya boleh minta juga?" Kali ini giliran temannya yang meminta. Aku berikan saja beserta pack-nya. Toh, isinya tinggal satu.

"Tapi ini tinggal satu, mbak. Enggak usah aja." Dia mengembalikannya. Aku menggelengkan kepala.

"Gak usah, aku udah makan satu kok." Aku menjawab. Setelah berterima kasih, aku melihat dua orang pengamen itu membagi permen karetnya sehingga semua teman-temannya dapat sebagian.

Aku terkejut sekali melihatnya. Ini sangat jarang terjadi. Kemudian aku dengar mereka berbincang-bincang.

"Mbak yang ini manis ya orangnya. Baik pula."

"Iya, iya. Jarang rasanya makan permen karet kayak gini."

"Eh, kotaknya tadi mana?"

"Buat apaan?"

"Mau aku simpan, buat kenang-kenangan."

"Kebiasaan lu mah gak berubah. Nyimpen yang kek begituan."

Disitu aku tambah terkejut. Orang-orang ini sangat menghargai pemberianku walaupun itu hanya permen karet. Dibagi-bagi lagi.

Aku sudah dekat dengan tujuan, segera aku menepukan tangan meminta supir bus untuk berhenti. Namun, supir itu sepertinya tidak dengar. Melihatku yang kesusahan, mereka ikut-ikutan menepukan tangan. Supir bus mendengarnya kali ini dan berhenti.

Aku segera turun dari bus, diikuti dengan rombongan tersebut yang mengintip kepergianku dari jendela bus.

"Mbak, makasih ya permennya! Hati-hati di jalan!" Mereka berteriak ramai-ramai. Aku tertegun, kemudian tertawa.

Lain kali, aku akan bawa banyak permen karet di tas. Siapa tahu aku akan bertemu mereka lagi.

Piece of Sweets, Slice of Life.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang