1. Awal Mula

313 47 3
                                    

"Kamu lihat orang Belanda tadi, Nu?"

Janu, anak laki-laki berumur delapan tahun yang baru saja dipanggil namanya itu lalu mengangguk. Kedua tangannya bertumpu pada batang pohon yang menjadi alat sembunyinya. Kaos putih kebesaran yang sudah kelewat kusam itu menjadi atributnya sehari-hari, menemaninya bermain dari matahari menyambut sampai langit menjadi kelabu dan berakhir gelap, lalu menanti subuh kembali. Kaos itu adalah satu dari beberapa kaos lusuh yang sempat dimiliki kakaknya, sebelum akhirnya tidak pernah kembali sejak kakak satu-satunya itu pamit untuk pergi ke medan perang bersama pasukan pribumi yang sukarela melakukan gerilya, demi mengirim bekal makanan dan obat tradisional seadanya yang mereka punya. Sekarang kaos itu miliknya, begitu pula dengan tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi sang ibu di usianya yang bahkan baru menginjak satu windu di dunia.

"Iya, Ja. Tumben mereka nggak bawa senjata yang panjang. Teriak-teriak pula. Kenapa, ya?"

Teja, dari balik pohon yang ada di sebelahnya, mengangguk polos mendengar jawaban Janu yang sama-sama keheranan. Itu kali pertama mereka melihat orang Belanda tanpa benda berbahaya yang mereka yakini sudah membuat anggota keluarga dan beberapa warga desa mereka tak lagi pulang, selamanya dirindukan karena tak pernah ditemukan.

"Udah lah, Nu. Pulang. Nanti ibu khawatir, sebentar lagi gelap."

Teja tak jauh beda nasibnya dengan Janu. Bahkan sebenarnya, lebih mengenaskan.

Teja sekarang tinggal satu atap dengan Janu. Dua tahun lalu, kaum berkulit putih yang datang merampas harta benda dan alam yang dimiliki kampungnya itu turut merenggut nyawa siapapun yang membangkang, termasuk kedua orang tua Teja di antaranya. Teja dibiarkan sendirian, bahkan diberitahu tentang kabar orang tuanya pun tidak. Ibu Janu menjadi yang pertama menerima kabar bahwa Teja tak lagi punya bahu untuk bersandar. Selama berhari-hari Teja menunggu kedua pelita hidupnya untuk pulang, di mana pada satu hari ia membuka pintu dengan harapan akan bertemu lagi dengan dua malaikatnya, namun berakhir masuk ke dalam pelukan Ibu Janu yang merengkuhnya erat lalu berbisik bahwa ia adalah ibu Teja sekarang.

Sejak hari itu, Teja tidak pernah bertanya ke mana orang tuanya pergi. Awalnya, Teja menangis setiap malam di sebelah Janu yang sudah lebih dulu lelap, membuat tikar yang menjadi alas tidurnya sedikit basah. Tapi sekarang sudah tidak. Teja menerima nasibnya yang kini harus berbagi ibu dengan Janu. Ia tidak pernah keberatan. Sekalipun tidak pernah.

Janu dan Teja memutuskan untuk kembali setelah beberapa kali mengedarkan pandang, memastikan bahwa tidak ada orang Belanda yang melihat mereka. Mereka ada di kawasan kebun buah apel yang tadinya adalah tanah milik keluarga Teja, tapi sekarang menginjak kaki di sana pun harus dengan mengendap-endap. Keduanya menghabiskan waktu sore dengan mengumpulkan apel untuk dibawa pulang. Ibunya melarang, tapi Janu tetap melawan dengan dalih kebun itu Teja yang punya.

Saat sudah setengah jalan menuju rumah, keduanya berhenti setelah mendengar sesuatu dari balik semak yang ada di arah jam sebelas. Janu menahan tangan Teja untuk jangan bergerak, membuat apel-apel yang dibungkus dengan karung bekas di tangan Teja menggantung dalam diam. Janu mencoba mendengarkan sekitar, berharap bukan kaum berkulit putih yang menghampiri mereka. Semak yang menjadi alasan mereka berhenti sekarang bergerak semakin jelas. Bahkan Janu yakin ia mendengar sesuatu dari dalam sana.

Janu memberanikan diri untuk mendekat. Teja yang mengerti gelagat sahabatnya itu pun mengangguk sepakat, memberi tanda bahwa ia akan berjaga-jaga kalau ada yang tiba-tiba menyerang.

Tiga langkah terakhir sebelum Janu sampai di semak belukar itu, Janu semakin yakin bahwa ia mendengar suara, dan suara itu dari manusia sepertinya. Suaranya lirih, seperti sedang terisak, tapi bukan suara berat yang selalu menakuti warga desanya selama ini. Suara itu lembut, Janu tidak merasa ada sedikitpun ancaman dari sana. Janu berhenti tepat di  depannya, menoleh ke arah Teja yang masih menunggu dengan posisi kuda-kuda tidak beraturan. Ia beranikan diri untuk mengintip sedikit, sebelum dibuat terkejut dengan temuannya sendiri.

Sampai Berakhir - WoohwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang