3. Dua Sosok Ibu

251 52 5
                                    

Titik jingga itu sudah tinggi, mewarnai area perkebunan cokelat yang membentang dari ujung desa hingga rumah-rumah kayu milik warga walau masih ada sisa kabut yang membatasi jarak pandang, serupa dengan lukisan pemandangan yang digantung di salah satu sisi ruang baca milik papa, jika Johannes tidak salah ingat.

Johannes kecil mengintip dari balik teralis jendela kamar yang kebetulan menghadap ke arah kebun apel yang ada di ujung perkebunan cokelat, tempatnya biasa menghabiskan waktu dengan Nyai setelah belajar berhitung, menulis, dan membaca. Disusul setelahnya Janu dan Teja dengan karung tempat mereka biasa membawa apelnya.

Nyai, wanita pribumi beruntung yang menggadaikan hubungan darah dan tanah tempat ia dilahirkan untuk memenuhi rasa ingintahunya akan kebebasan, dan berakhir membuat Nyai berani untuk membuat dan meraih sesuatu yang ia kenal dengan sebutan cita-cita. Jauh sebelum menjadi wanita terpelajar, Nyai lahir dan besar jauh dari tanah yang ia pijak sekarang, jauh di pelosok pulau lain yang harus ditempuh dalam hitungan minggu lamanya. Keluarganya yang masih terbilang keluarga bangsawan keras menentang niatnya untuk melayani keluarga Belanda. Mereka bilang, harusnya Nyai membantu mempertahankan tanahnya, bukan malah menjatuhkan martabatnya sebagai putri raja dengan menyerahkan diri layaknya tawanan. Walaupun Peter van der Linden bukan bagian dari tangan rakus pemerintah Belanda kala itu, tetap saja di mata keluarga Nyai, Belanda tetap Belanda; pendatang tak tahu diri yang melahap habis harta, pusaka, bahkan nyawa. Nyai berakhir dibuang, dicoret, dan dihapus dari silsilah keluarga, hingga diancam tidak boleh kembali ke tanah kelahirannya. Nyai dilarang menggunakan nama yang ayah dan ibunya berikan sebagai hadiah lahir di dunia. Tapi Nyai tidak keberatan. Ada dunia asing yang bisa ia telusuri keberadaannya, tempat baru yang Nyai yakini lebih dari sekedar tanah yang membatasi wanita sepertinya terpenjara di rumah dan memenuhi kewajiban merawat keluarga. Nyai dan jiwa petualangnya yang lama terkubur akhirnya menemukan jalan keluar dari penjara, walau harus ia tukar dengan darah dan tanah. Nyai mengubur masa lalunya jauh dalam ingatan, menjalani hidup dengan nama yang bukan miliknya sampai sekarang.

"Johannes, sudah bangun?"

Itu suara Nyai yang berdiri di balik pintu kamar Johannes. Wanita tiga puluh enam tahun itu berdiri dengan rambut bergelombang yang masih tergerai ke belakang, membawa lilin di satu tangannya sedangkan satunya lagi memegang daun pintu yang setengah terbuka.

"Tumben sudah bangun?"

"Dingin.."

Nyai bisa mendengar jawaban Johannes walaupun terdengar seperti cicitan kecil di telinganya. Nyai masuk untuk menyalakan lampu minyak di atas nakas, perlahan memberi warna pada kamar Johannes yang penuh dengan mainan dan boneka beruang seukuran tubuhnya. Di sana, Nyai menyusul Johannes duduk memandangi luar jendela.

"Apa Papa pulang hari ini, Nyai?"

Ah. Rupanya Johannes kecil rindu pada papa.

"Tidak hari ini. Tuan baru akan sampai minggu depan."

"Apa itu lama?"

Johannes dan kedua mata bulatnya yang masih kelihatan mengantuk menatap Nyai dramatis, membuat wanita itu tidak bisa menahan diri untuk mengusap rambut Johannes ke belakang, lalu menawarkan senyum hangat di sela dingin yang ada.

"Coba ingat-ingat, ada berapa hari dalam satu minggu?"

Johannes keluarkan sepuluh jarinya sembari menyebut nama-nama hari yang sudah pernah Nyai ajarkan. Ia menekuk satu untuk setiap hari yang terucap.

"Mm, enam?"

"Kurang tepat. Pasti kamu lupa menghitung hari Kamis lagi. Iya, kan?"

Johannes tersenyum malu karena kedapatan lupa pada satu dari tujuh nama hari yang harusnya ia ingat, tapi tentu saja Nyai tidak marah. Wanita itu justru menghadiahinya dengan pelukan hangat.

Sampai Berakhir - WoohwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang