Kalila terlonjak kaget, bagaimana tidak? Di tengah lamunannya tiba-tiba Gavin menyentuh sudut bibirnya yang terluka dengan jari meskipun tidak benar-benar tersentuh.
Gadis itu menjauh ketika tahu siapa pelakunya, kenapa Gavin selalu tahu keberadaannya? Padahal setelah Kalila meninggalkan rumah sang mama ia pergi cukup jauh mengikuti kemana kakinya melangkah hingga sekarang berada di gang sempit yang letaknya jauh dari apartemen, entah dimana.
"Kenapa berdarah?"
Pertanyaan Gavin tidak di hiraukannya, ia malah mengedarkan pandangannya mengamati daerah sekitar yang asing baginya, katakanlah ia sedang tidak baik-baik saja sampai tidak sadar datang ke tempat ini dengan sendirinya.
"Lila?" panggil Gavin.
"Gavin, gue dimana ini?"
Gavin meraih satu tangan Kalila dan mengenggamnya, "Lo tahu gak? dari depan sana gue panggil panggil lo gak nengok nengok, keliatan kacau banget makannya gue ikutin lo," ujar Gavin dengan nada khawatir.
Kalila menghela napasnya, lalu mengangguk mengerti bahwa sedari tadi ia memang berjalan tak tentu arah, "Terus kalau mau pulang kemana ini?" katanya sambil melepaskan genggaman Gavin di tangannya, namun Gavin menahannya dan mengeratkan genggaman itu.
"Ayo ikut gue." katanya sambil menarik Kalila pergi dari tempat ini.
Tentu Kalila menuruti apa kata Gavin, ia yang berjalan di belakangnya hanya menatap genggaman Gavin yang begitu serat seolah takut Kalila menghilang, perasaan campur aduk mulai menyerangnya, ingin melepas tapi sulit, rasanya berat.
"Ayo naik."
Ternyata motor Gavin ada di depan gang, setelah itu Kalila dapat melihat jalanan yang sering di lewatinya sekarang, memang jaraknya jauh dari apartemen juga rumah sang mama.
"Gue bisa pulang send-"
"Ssstt! Gue gak terima penolakan." cegah Gavin cepat.
Pasrah. Begitulah Kalila sekarang, akhirnya ia mengikuti apa kata cowok yang menolongnya itu sekarang. Gavin terlalu baik padanya padahal sering di tolak, sejauh ini Kalila ingin menerimanya tapi ia terlalu takut.
Tapi, kalau seperti ini terus dengan Kalila menghindarinya mungkin suatu saat akan menyesal, dengan segala pikiran buruk ia coba menepisnya lalu mulai mengikuti apa kata hatinya. Ia juga mencintai Gavin, laki-laki yang mengantarkannya pulang dengan selamat.
Bahkan Gavin mengantarnya sampai depan pintu apartment sekarang, lagi-lagi ia mengecek sudut bibir Kalila yang terluka, "La, gue obatin ya?" tawarnya dengan raut wajah khawatir.
Kalila menggelengkan kepalanya, sudah Gavin duga pasti gadis itu menolaknya.
"Kalau gak di obatin nanti-"
Ucapan Gavin terhenti saat Kalila meraih satu tangannya lalu diletakkan di pipi kiri yang memerah itu, juga sudut bibirnya yang meninggalkan darah. Ia rasa tangan Gavin yang dingin saja cukup meredakan sakit bekas tamparan yang di buat Elena.
Reaksi Gavin? Ia membeku melihat Kalila yang tiba-tiba berubah seperti ini, ekspresi kaget tapi tak bisa berkutiknya itu di sadari Kalila yang tadinya mau nangis di depan Gavin justru malah tertawa kecil.
Lagi. Gavin di buat heran. Raut tadi baru ia lihat di wajah cantik Kalila apalagi khusus untuk Gavin.
"I-ini lo bener kan Lila?" tanyanya memastikan, kini dua tangannya menangkup kedua pipi gadis itu, menyejajarkan tingginya agar dapat melihat jelas sosok Kalila.
Kalila juga melalukan hal yang sama, ia menangkup kedua pipi Gavin, kali ini dengan wajah serius, "Lo beneran sayang sama gue, Vin?" tanyanya.
"Jangan di tanya, La. Gue sayang banget sama lo." jawabnya.
"Gue siap, gue siap terima lo karena yang gue lihat lo gak main-main, Vin."
Lalu Gavin mengerti sekarang, jadi Kalila sedang meyakinkan dirinya sendiri selama ini, ia tersenyum kemudian menyatukan kening keduanya, jarak dekat seperti ini bisa saja membuat Gavin nyaris mencium Kalila, TADINYA.
Sedikit lagi, kalau saja tidak ada suara dentingan lift yang terbuka dan langkah seseorang keluar. Mendengar itu, mereka langsung menjauh dan sangat terlihat jelas kecanggungan di sini, apalagi sosok yang menghampiri mereka saling mengenal satu sama lain.
"Om Allard?" kata Gavin terkejut melihat salah satu rekan papanya itu ada di sini.
"Lho? Gavin temannya Lila?" Allard menunjuk anak gadisnya itu.
"Iya, Om. Kenapa Om Allard di sini?"
Kalila diam, ia sudah berjanji pada kedua orang tuanya akan menyembunyikan identitasnya.
"Kalila anak saya."
Baik Gavin dan Kalila sama-sama terkejut, kalau Kalila karena sang papa tiba-tiba mengakuinya, sedangkan Gavin benar-benar tidak bisa di jelaskan lagi dengan kata-kata. Allard sangat di kenalnya karena satu-satunya teman papanya yang begitu dekat dengan Gavin, ia juga tahu anaknya Allard itu Jordan, tapi kenapa mengatakan kalau Kalila juga anaknya?
Seperti yang ia tahu, Kalila dan Jordan ketika di kampus saja layaknya orang gak kenal satu sama lain, bagaimana ceritanya jika mereka memang adik kakak?
"Emm, maaf lo harus pulang sekarang." Entah apa yang harus Kalila lakukan sekarang, ia hanya menarik Gavin menuju pintu lift, "Gue janji bakal jelasin semuanya." lanjutnya setelah jaraknya dengan Allard agak jauh.
"Tapi Om Allard beneran papa lo?" Apalagi sekarang Allard masuk ke unit apartment Kalila dengan mudahnya.
"Gavin, please lo pulang sekarang!"
"La?" mohon Gavin sambil menahan lengan Kalila.
Kalila berdecak kesal, tapi ia tahu cara mengusir Gavin agar tidak bertanya-tanya terus, ia berjinjit agar bisa mencium pipi Gavin yang tingginya melebihi Kalila.
Cup.
Hanya sekilas, habis itu Kalila kabur meninggalkan Gavin yang membeku di tempat.
"Gavin pulang jadinya?" tanya Allard ketika Kalila masuk.
Jangan tanya gimana keadaan Gavin sekarang.
Balik lagi ke Kalila, ia menghampiri sang papa lalu duduk di sebelahnya, "Ada apa papa datang? Kenapa papa bilang ke Gavin yang sebenarnya?"
Allard menyandarkan punggungnya, ia juga tidak tahu keputusan ini tepat atau tidak, "Papa gak mau sembunyikan keberadaan kamu lagi, papa mau kamu bahagia, jadi nanti kamu pindah ya tinggal sama papa?" ujarnya sambil mengusap puncak kepala anak gadisnya.
"Terus istri pertama papa sama anaknya gimana?"
"Kita semua tinggal bareng."
"Mereka terima aku?"
"Kita coba dulu ya, mereka sudah tahu yang sebenarnya."
"Tanggapan mereka apa?"
"Mungkin ada kekecewaan, tapi mereka akan berusaha mengerti."
"Aku takut, Pa.."
"Lila, ketakutan kamu harus di lawan, papa gak mau menyesal belum membahagiakan kamu selama ini, justru papa yang takut gak bisa menemani kamu terus, gimana kalau kasus pembunuhan Ariella terungkap?"
Kalila baru tahu kasus itu, padahal Allard hanya terlibat nama, sama sekali bukan tangan Allard yang membunuh Ariella melainkan hanya seorang Elena yang menyeret nama Allard di mata seorang Chelsea, saksi mata tentang kasus Ariella.
●●●
Lanjut di part selanjutnya yaw.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPACT | KGV
FanfictionStory for kpop fan ~ Author proudly presents Gyuvin [Gavin Waldemar] x Minji [Kalila Azalea] lokal Fanfic The reason why Gavin loves Lila 1. Kalila pendiem, Gavin suka tipe cewek gak banyak ngomong. 2. Kalila cantik, tapi tidak serakah, waktu di SM...