2. Tirai temu tersingkap untuk kami yang mendamba

83 15 6
                                    


Konon katanya harta dan kecantikan merupakan perkara paling memabukkan bagi para pemuja dunia. Berlomba-lomba memenangkan pertarungan dengan semesta tuk buktikan dirinyalah sang Raja.

Duhai, lihatlah kapal besar yang berlabuh beberapa detik yang lalu. Nismara menepikan dirinya di sebuah pondok dengan membawa sebakul kecil ikan yang dibeli dari para nelayan.

Mungkin seratus atau bahkan dua ratus raga yang melompat turun melalui tangga kayu yang dipaku sedemikian gunanya. Para manusia berparas bule dengan pakaian yang menonjolkan status sosial mereka yang borjuis melenggak-lenggok dengan mata mengitari area bibir pantai, Nismara menenggak liurnya berat kala menunduk dan mendapati tubuhnya hanya ditutupi selembar kain yang dililit hingga dada.

Setelah berpuas diri memandang kagum pada gerombolan manusia asing di hadapannya, Nismara membalik tubuh dan berniat kembali pulang membawa sebakul pesanan sang ibunda.

Namun sayang beribu sayang, sial adalah kata yang selalu melekat pada namanya. Tangan Nismara ditarik kencang hingga jatuhlah tubuhnya beserta ikan yang ikut berserakan.

Seluruh riuh berubah sunyi, seketika suasana menjadi hening. Pusat atensi jatuh pada raga molek yang tersungkur di atas pepasiran putih dengan helai rambut yang menutupi figur yang menunduk tak berseri.

"Nismara, huh? Sedang apa pula kau ngesot di pinggir pantai?" Gelak tawa beberapa vokal saling sahut, mengejek Nismara yang kini menggapai belasan ikan di atas tanah.

Satu kaki menendang bakul yang Nismara pegang, menjadikannya terlonjak dan merangkak meraih benda tersebut. Dua mata Nismara terpejam, berusaha tak menangis karena sorakan dan tepuk tangan puluhan orang yang mengelilinya semakin keras adanya.

Bak hewan sirkus yang seharusnya tak pantas jadi hiburan umat manusia, Nismara bergerak kesana-kemari memunguti ikan yang ditendang-tendang oleh para pemuda. Tontonan yang sempurna, pentas jenaka yang paling meriah bagi para remaja sebaya.

"Nismara! Jadi pria itu harus tangguh, lihatlah bahkan telapak tangannya lebih lembut dari tangan adik perempuanku!"

"Lelaki mana yang pakai kain hingga dada? Hahahahaha! Sepertinya Nismara sedang merupa ibunya si Pelacur!"

Bugh

Tubuh Nismara mengguling ketika kaki hina dari salah satu mereka mendorong pundaknya, merenggut keseimbangan Nismara hingga kembali jatuh ke tanah. Maka semakin puaslah tawa mereka terdengar di telinga, menggema bagai belati yang menusuk raga hingga ulu hati, menjelma bagai momok paling seram pada dua bola benih yang memanas perih.

Makin malang nian, Nismara menyilangkan kuasanya di depan dada, halangi mereka yang berniat menelanjanginya. Carik kain Nismara ditarik dari berbagai arah, bagian kakinya disingkap hingga ke paha.

Berteriak sudah Nismara meminta, namun siapa pula yang punya belas kasih bak malaikat penjaga? Semua bertepuk tangan tak sabaran ingin melihat tubuh Nismara tanpa busana.

"Gila! Pinggangnya kecil sekali!"

"Putihnya.."

"Tuhan, jangan-jangan dia punya pepek?"

"Tidak, bodoh! Dadanya tak menonjol!"

"Cepat buka! Ayo pastikan kelamin apa yang anak pelacur ini punya!"

Tungkai Nismara menendang-nendang asal, berharap menyudahi kegiatan bejad mereka meski percuma. Apalah daya satu umat dibanding belasan kuasa? Nismara menangis, tubuhnya benar-benar tergolek bagai bangkai yang sama sekali tak berarti.

Tapi Nismara, perlu sekali kau ingat! Setiap raga yang bernyawa selalu punya malaikat, setiap insan yang hidup selalu punya tangan-tangan yang 'kan menjaga. Manakala Nismara telah menyerah, berputus asa akan harga dirinya yang telah ditanggalkan hampir habis. Sepasang kuasa kokoh menarik torsonya dalam sebuah dekapan hangat.

Bawa Nismara menjauh, dekap Nismara erat-erat agar tak terjatuh, balut tubuh Nismara dengan kain yang hampir tanggal sempurna.

Meredam isaknya dalam bingung di kepala, siapakah tuan berbadan besar ini? Siapakah ia yang membawanya menjauh dari keramaian kaum tak berakal barusan?

Beberapa menit menenggelamkan wajahnya pada dada bidang sang tuan, tubuh Nismara diturunkan pada sebuah alas empuk 'nan nyaman. Lalu raga sang tuan menjauh, beberapa langkah berdiri tegap di depan Nismara yang mendesis bingung.

"S-siapa?" Nismara merutuki kebodohannya dalam hati, entah mengapa bisa-bisanya ia percayakan tubuhnya dibopong oleh tuan asing ke tempat antah-berantah ini.

"Jean, saya Jean!"

Pandangan Nismara langsung menegak kala vokal sang lawan bicara mengudara, membalut hangat telinganya yang kini disambut oleh suara berat dengan aksen non-lokal, terdengar seperti bukan pribumi bagi Nismara.

Benar saja, pandangan mereka bertemu manakala Nismara memberanikan diri untuk mendongak, jemput tatap hangat yang pertama dalam beberapa waktu yang telah ia habiskan bersama sang tuan.

Torsonya yang akbar, tatapannya penuh adikuasa, menelan seluruh tetap hati Nismara yang memang tersisa secuil. Namun alih-alih merasa terintimidasi, Nismara justru rasakan aman yang belum pernah terasa ketika berada di luar rumah.

Memejam ia sebagai tanda tubuhnya menerima ketika sepasang kuasa yang sama seperti yang menolongnya tadi membalut raga dengan kain putih bersih hingga menutupi ujung kaki.

"Mengapa tidak melawan?" pertanyaan retoris yang mengundang cibiran Nismara terlontar dari pria bule bernama Jean.

"Menurutmu aku bisa?" Satu dari dua bingkai penghias mata Nismara naik, sedikit 'tak percaya dengan pertanyaan yang Jean ajukan.

"Saya sempat mengira kamu wanita." Jean mengambil bangku kayu yang dicat plitur dan memposisikan benda tersebeut tepat di hadapan Nismara.

"Seluruh manusia yang 'tak mengenal saya juga mengira begitu. Tuan sendiri? Kenapa menolong saya?"

"Panggil Jean, saya bukan tuanmu."

Tawa Nismara mengalun merdu, menarik tangannya 'tuk menutup belah bibir yang terbuka lebar. "Yah, benar. Untung saja saya adalah pria, kalau tidak mungkin saya sudah dihabisi oleh tuan di sini bukan?"

Sang tuan terdiam, utarakan rasa bingung dengan kerutan dahi. "Apakah saya terlihat seperti itu di kepalamu?"

Tuk!

Dahi Nismara disentil kuat, sisakan jejak kemerahan pada permukaan hipertemi milik yang cantik. Mengaduh seolah hal yang baru saja tuan tersebut lakukan begitu menyaktikan hingga respon yang Nismara keluarkan tampak sedikit berlebihan.

"Jadi bukan?"

Jean menggeleng cepat. "Saya tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu, saya datang kemari atas permintaan ayah saya."

Lalu sang tuan berdiri dan mengulurkan tangan kanannya, tersenyum seolah baru saja menemukan permata dunia, binar matanya 'tak bisa berbohong, si Pria bule jelas merasakan ketertarikan pada si anak gundik.

"Saya Jean Van Carpentier, kamu?"

Nismara terdiam, pandangi lamat-lamat telapak tangan milik Jean yang menggantung di depan wajahnya. Bingung, memang ia harus melakukan apa saat ini?

Pria bertubuh besar di depannya mendesah berat, mengambil telapak tangan Nismara yang beku mati ditelan bingung. Membawa tangan Nismara dan dinaik-turunkan sebagai tanda perkenalan.

"Perkenalkan, saya Jean Van Carpentier. Usia saya 25 tahun."

Dua mata Nismara memicing, kepalanya memiring ke arah samping. "lalu?"

Jean tersenyum tipis. "Sebut nama dan usiamu, saat ini saya mengajakmu berkenalan, tuan."

Bibir Nismara membentuk aksara O, ia tertawa kecil ketika sadar jika dirinya terlampau bodoh untuk memahami apa yang dimaksud Jean.

"Saya Nismara, usia 18."

"Hanya Nismara?"

Nismara mengangguk antusias. "Benar, hanya Nismara."




Dengarlah wahai dengar
Kata tanah angin bersuka ria
Kata angin air menggelora
Kata air api penuh gembira

Dengarlah wahai dengar
Si Lelaki berparas permata
Aduhai mata sang adam terpana
Bidik senyum buai derana

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pungguk dan Bulan (Taekook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang