Di dalam kamar dengan ukuran yang tidak besar itu terdapat dua laki-laki yang masih terlelap dalam tidurnya. Mereka berdua terlihat masih sangat pulas dengan tidurnya, membuat Aminah tak tega untuk membangunkannya.
Disentuhnya lengan Jena dan Jaeshi secara bergantian. Membuat keduanya terusik dan akhirnya membuka matanya secara perlahan. Hal pertama yang Jena lihat adalah wajah teduh Aminah dengan seukir senyuman hangat yang tercipta di bibir wanita itu.
"Bangun anak-anak bunda, kalian harus sekolah kan?" Ucap Aminah secara halus, dan tak lupa ia juga menggerakkan tangannya agar Jena dapat mengerti ucapannya.
"Iya bunda, Jaeshi udah bangun kok. Tapi gak tau kalau Abang udah bangun atau belum, Jaeshi nggak bisa lihat soalnya," ucap anak itu dengan pandangan yang tak tentu itu.
Aminah tersenyum sambil menoel hidung mungil anak ketiganya itu. "Abang juga udah bangun, Jaeshi."
Sedangkan Jena, ia hanya bisa diam karena ia tak dapat mendengar apa yang saudara dan bundanya ucapkan. Terkadang ia selalu memimpikan sebuah mukjizat. Mukjizat dari Tuhan agar ketika dirinya terbangun dari tidur ia bisa mendengar dan berbicara.
"Kak Renald udah bangun, Bunda?" Tanya Jena kepada sang Bunda.
"Udah sayang. Cepetan mandi terus kita sarapan bareng."
Tanpa menunggu lama, Jena dan Jaeshi pun bangkit dari atas kasur. Sedangkan Aminah langsung keluar dari kamar kedua putra kembarnya.
Jena bangkit terlebih dahulu dari Jaeshi, lalu ia membantu Jaeshi berjalan menuju kamar mandi.
"Makasih, bang," ucap Jaeshi, walaupun sebenarnya ia tahu bahwa saudara kembarnya itu tak dapat mendengar ucapannya.
••••••
Aminah dengan telaten menaruh nasi ke atas piring yang saat ini berjajar di meja makan, tak lupa juga menaruh lauknya.
"Mereka berdua belum selesai siap-siapnya?" Tanya Renald yang sudah sejak tadi menunggu kedua adiknya dengan duduk di kursi roda.
"Belum, sepertinya sebentar lagi. Anak bunda udah lapar ya?"
Renald menggelengkan kepalanya. "Enggak kok, Bund."
"Selamat pagi," sapa Jaeshi yang saat ini tengah berjalan dengan dituntun Jena.
Aminah dengan segera mendekati kedua putranya dan menggapai tangan Jaeshi untuk membantunya duduk di kursi.
"Pagi anak bunda, duduk ya, kita sarapan."
Jaeshi dan Jena duduk bersebelahan, sedangkan Aminah duduk di samping Renald.
Jena meraih piring yang berada di atas meja tepat di depan tubuh Jaeshi. Tanpa menunggu lama, Jena menyuapi Jaeshi dengan telaten.
"Terima kasih, Abang," ucap Jaeshi. Ini sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Setidaknya dengan keterbatasan yang mereka miliki, mereka masih bisa membantu satu sama lain.
Jena hanya mengangguk kala ia melihat pergerakan bibir saudaranya itu.
Aminah yang sedari tadi melihat interaksi putra kembarnya merasa sedih sekaligus senang. Ada satu harapan yang selalu ada dipikirannya, yaitu melihat ketiga anaknya hidup seperti orang normal pada umumnya.
Ia ingin anaknya bisa melihat dirinya, ia ingin melihat anaknya bisa berjalan dan berlari dengan bebas, dan ia juga menginginkan agar anaknya bisa mendengar dan berbicara dengannya.