3. Stigma Masyarakat dan Harapan Jena

36 6 0
                                    

💚💚💚




Kring kring.......

Suara lonceng sepeda terdengar dari luar rumah. Aminah yang berada di dalam rumah bersama dengan Renald langsung keluar menemui Jena dan Jaeshi yang baru saja pulang sekolah.

Penampilan keduanya sedikit acak-acakan. Entah apa yang terjadi kepada mereka, namun yang pasti baju yang mereka pakai terdapat noda kotor seperti tanah, ditambah keringat yang mengalir dari badan keduanya.

"Anak-anak Bunda udah pulang," sambut Aminah sambil mendorong kursi roda Renald.

Matanya memicing melihat penampilan keduanya.

"Kalian habis dari mana? Kenapa baju kalian kotor seperti ini? Ini juga, keringatnya kenapa banyak sekali?" Tanya Aminah.

Jena dan Jaeshi yang barus saja turun dari sepeda langsung mendekat ke Aminah. Tentu Jaeshi dibantu oleh Jena.

"Nggak dari mana-mana kok, Bun. Kebetulan tadi waktu dijalan nggak sengaja kecipratan genangan air yang dilewati mobil." Jawab Jaeshi.

Lalu Aminah memandang Jena. Meminta kepastian dan kejujuran darinya. "Benar apa yang dibilang Jaeshi?"

Jena hanya mengangguk.

Aminah menarik nafas pelan, lalu mengelus rambut Jena dan Jaeshi bergantian.

"Ya sudah, kalo gitu sekarang kita masuk, kita makan bareng. Tapi kalian ganti baju dulu." Ucap Aminah. Lalu setelahnya mereka masuk ke dalam rumah.

Setelah mereka masuk ke dalam rumah, Aminah langsung menuju dapur untuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Jena dan Jaeshi menuju kamar mereka untuk berganti baju. Renald, laki-laki berusia 15 tahun yang masih berada di kursi rodanya, duduk di ruang tengah, pikirannya langsung tertuju pada kedua adiknya. Walaupun dia sendiri tidak dapat melihat keadaan Jena dan Jaeshi seperti apa, namun di hatinya ia merasa sedikit resah. Ia rasa ada yang ditutupi dari kedua adiknya kepada Aminah dan juga dirinya.

"Kalian kenapa sebenarnya? Aku tahu pasti ada sesuatu yang terjadi." Ucap Renald saat Jena dan Jaeshi datang menghampirinya.

Jena dan Jaeshi saling terdiam sejenak.

"Nggak usah khawatir bang, Ren. Ini bukan hal besar kok. Kami hanya... ya, sedikit kesulitan di jalan."

"Bicara yang jujur sama kakak, Jaeshi." Peringat Renald.

"Kita nggak mau bikin Bunda khawatir, bang. Tadi di sekolah, beberapa anak jahil mulai mengganggu lagi. Mereka bilang hal-hal buruk tentang kita, dan kita sempat jatuh di jalan waktu mereka kejar-kejar kita." Ucap Jaeshi lirih, takut sang Bunda mendengarnya.

Renald mengepalkan tangannya, terlihat marah meski tidak bisa melakukan banyak.

"Aku benci mereka selalu mengganggu kalian. Mereka nggak punya hak memperlakukan kita seperti itu. Kalau aku bisa jalan, aku nggak akan biarkan mereka menyentuh kalian."

Jena menepuk pundak Renald dengan lembut. "Abang udah cukup kuat dengan cara Abang sendiri. Jangan pikirkan kita, ya, bang. Kita hanya perlu bertahan. Bunda udah cukup khawatir dengan keadaan kita bertiga, dan kita nggak boleh dan jangan sampai menambah beban pikiran Bunda." Ucap Jena dengan suara gagapnya yang masih bisa dimengerti oleh Renald dan Jaeshi.

Mendengar perkataan adiknya, entah mengapa perasaannya menjadi sedih. Ia merasa gagal dan tak berguna menjadi seorang kakak. Dirinya hanya bisa duduk di kursi roda tanpa bisa berjalan layaknya orang normal. Matanya terlihat sedikit berkaca, namun sebisa mungkin ia tahan agar tidak pecah.

Di tengah percakapan itu, Aminah muncul dari dapur, membawa sepiring makanan untuk diletakkan di meja.

"Ayo makan, anak-anak. Kalian pasti lapar."

Ketiganya tersenyum kecil, meski beban di hati mereka masih berat. Mereka duduk bersama di meja makan, berusaha menciptakan suasana yang hangat meski bayang-bayang perlakuan tidak adil dari orang-orang di luar masih menghantui pikiran mereka.

Aminah tidak bisa mengabaikan perasaan khawatir yang terus menghantui dirinya. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh anak-anaknya, tetapi ia memilih untuk tidak mendesak mereka lebih jauh saat ini. Dia hanya bisa berharap anak-anaknya tetap kuat menghadapi dunia yang tidak selalu adil bagi mereka.


💚💚💚💚

Malam hari. Sekitar pukul delapan malam, Jena terduduk seorang diri di panggok depan rumah. Sesekali ia menggerak-gerakkan kakinya untuk mengusir nyamuk-nyamuk yang tengah usil mengecup kulitnya.

Rambut lebatnya sedikit terombang-ambing akibat hembusan angin. Ia tak merasa dingin sedikitpun walaupun suhu di luar saat ini agak menurun.

Hembusan nafasnya terdengar berat. Laki-laki berumur 14 tahun itu terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Jadi anak yang berguna sedikit! Udah bisu, tuli, nyusahin lagi!"

"Kasihan si Aminah, dipaksa keadaan mengurus anak-anaknya yang kekurangan semua."

"Kalo saya jadi si Aminah, lebih baik saya buang kalian ke panti asuhan. Nggak sudi mengurus anak cacat, nyusahin, nggak berguna kaya kalian."

"Liat doang aja udah najis. Apalagi sampe ngurusin. Setiap hari lagi!"

"Anak pembawa sial emang mereka tuh, itu si Kusworo meninggal kan juga gara-gara mereka!"

Jena menggelengkan kepalanya untuk mengusir suara-suara jahat yang bersarang di otaknya.

Tadi, sepulang sekolah, Jena dan Jaeshi tiba-tiba saja dihadang oleh segerombolan ibu-ibu yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Dengan teganya mereka menghina Jena dan Jaeshi layaknya hewan yang tak punya harga diri. Ia tak kaget, bahkan ia sudah sangat kebal dengan berbagai makian yang terlontar dari mulut tetangganya.

Ditambah lagi dengan penampilan keduanya tadi sepulang sekolah. Seragamnya yang kotor akibat bully-an teman-temannya di sekolah, semakin menambah topik hinaan untuk mereka.

"Anak Bunda," usapan lembut di pundak Jena membuatnya sedikit terperanjat.

Aminah tersenyum kala Jena memandangnya dengan tersenyum.

"Enggak dingin emangnya malam-malam di luar? Angin nya lumayan kencang loh ini, masuk yuk, besok kan juga harus sekolah. Bunda nggak mau kalo Jena sampai sakit akibat kelamaan duduk di luar seperti ini. Masuk yuk," Aminah berucap begitu halus, sangat-sangat halus.

Jena mengangguk lalu turun dari atas panggok. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah.

Selang beberapa saat, Jena sudah berada di dalam kamar. Ia duduk di pinggir kasur. Di sampingnya ada Jaeshi yang sudah tertidur lelap dengan sedikit suara ngorok khas orang tidur.

Jena bangkit, dan berjalan ke arah meja belajar yang di atasnya terdapat beberapa buku dan juga tas. Dengan perlahan ia membuka tasnya, lalu mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. Ia memandang uang tersebut sebentar.

"Semoga dengan aku menabung, aku bisa ngebeliin tongkat buat adek dan juga alat pendengar buat aku." Ucapnya dalam hati, lalu ia mengambil sebuah celengan ayam yang ia simpan di dalam lemari. Ia sedikit mengintip isi dari celengan tersebut. Sudah agak penuh, namun ia rasa itu belum cukup. Ia harus bersabar lebih lama lagi.

💚💚💚

Like, komen💚

DIFABELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang