Pertengahan bulan Oktober tentunya sudah memasuki musim penghujan, hampir setiap hari hujan mengguyur tanpa peringatan. Seperti hari ini, hujan terus saja turun dari dini hari hingga sore ini masih saja belum ada tanda-tanda untuk berhenti. Jangan tanya apa yang aku kerjakan seharian ini, tentu saja hanya berbaring dengan secangkir coklat hangat ditemani dengan laptop yang menyala yang menampilkan layar putih tampilan dari Microsoft Words yang belum terisi apapun.
Entah sudah berapa lama aku hanya dapat menatap layar laptop yang terbuka tanpa melakukan hal lain selain sesekali mengecap coklat hangat yang sebenarnya sudah terasa tidak hangat lagi. Sebenarnya rencanaku hari ini adalah membuat transkripsi audio sebuah pidato menjadi text sebuah pekerjaan sampingan yang harusnya telah aku selesaikan kemarin sore, namun entah bagaimana aku terus saja perasaanku sedikit terganggu dan tidak dapat berkonsentrasi untuk mengerjakannya.
Lamunanku buyar saat terdengar dering panggilan masuk dari handphone yang berada tepat di sampingku, segera kuangkat panggilan tersebut.
"Hallo!" sapaku.
"Hi! Masih ingat denganku?" tanya seseorang di seberang sana dengan suara berat yang cukup familiar di telingaku.
Dengan segera ku periksa nomor yang tertera di layar handphone yang kupegang. Ternyata tak nampak Namanya tertulis di sana. Oh, benar aku lupa ternyata Namanya sudah ku hapus dari daftar kontak sejak 4 tahun yang lalu.
"Hm, ya" jawabku singkat dengan suara tercekat.
"Kamu apa kabar sekarang?" tanyanya dengan lembut. Suaranya yang lembut serta tutur katanya yang halus masih sama, masihlah dapat membuat hatiku bergetar.
"Baik, seperti biasa. Kamu sendiri gimana?" tanyaku basa-basi. Bibirku terasa kelu, rasanya otak pun tak dapat bekerja dengan baik.
Beberapa tahun yang lalu sering sekali rasanya aku membayangkan hal ini, ia yang telah pergi jauh hadir kembali mengisi hari-hari. Dulu yang aku bayangkan rasanya akan terasa menyenangkan. Tapi kini setelah bertahun-tahun berlalu, dan ia hadir kembali ternyata perasaanku tidak semenyenangkan yang aku bayangkan dahulu.
"Syukurlah kalau baik, pun kabarku juga baik" jawabnya.
Ada jeda cukup lama ditengah percakapan kami. Baik dia maupun aku tak ada yang mencoba untuk langsung menyambung percakapan yang terhenti selama lebih dari 5 detik. Ada hela nafas yang kurasakan dari seberang sana di jeda pembicaraan kami. Aku tahu hal yang akan dibicarakan bukanlah sesuatu yang mudah untuk diucapkan juga mudah untuk didengarkan olehku.
"Kamu masih ingat dengan Lea, seseorang yang pernah aku ceritakan dahulu?" tanyanya.
Ingin rasanya segera aku tutup panggilan ini saat kudengar nama yang tidak asing itu. Nama yang membuat kami menjadi asing. Aku tahu tidak seharusnya aku membenci nama itu, namun aku masih saja tidak dapat berdamai dengan nama itu.
"Aku tahu tidak seharusnya aku menghubungimu tiba-tiba seperti ini. Walaupun aku mungkin saja tahu bagaimana perasaanmu sekarang, tapi aku berharap kamu sudah baik-baik saja" ucapnya setelah dia merasakan tidak ada tanggapan yang aku berikan.
Jujur saja aku merasakan otakku membeku, tak ada kalimat maupun kata yang terlintas untuk menjawab ucapannya. Tak perlu ditanya lagi bagaimana perasaanku sekarang, hatiku rasanya seperti tertusuk jarum-jarum kecil.
"Ya, aku ingat. Kenapa?" tanyaku.
Aku merasakan suara yang aku ucapkan terasa sedikit bergetar. Berbagai macam perasaan berkecamuk di hatiku, aku terus-menerus membayangkan hal yang sangat ingin aku hindari. Hal yang sama sekali tidak ingin aku dengar.
"Jadi minggu depan kami berencana untuk melangsungkan pernikahan" jawabnya dengan cepat.
"Lalu?" tanyaku singkat, berusaha untuk terdengar seperti biasanya.
Mereka bilang bahwa waktu dapat menyembuhkan luka, namun ternyata seiring berjalannya waktu aku sadar kalimat itu hanyalah sebuah penghiburan saja. Karena seiring berjalannya waktu yang kurasakan masihlah sama.
"Aku berharap kamu bisa datang ke nikahan ku nanti. Kalau kamu memang ada waktu aku berharap kamu bisa datang untuk memberikanku restu"
"Aku coba usahakan, tapi aku gak janji. Hmm, aku masih ada pekerjaan yang harus cepat diselesaikan. Jadi apa masih ada yang mau kamu sampaikan?"
"Entah kenapa aku merasa kamu masih terus menghindariku. Apa aku pernah melakukan kesalahan, sampai kamu terus-terusan menghindariku?"
"Enggak, gak ada. Aku hanya sedang sibuk akhir-akhir ini" elakku. Suaraku terasa mulai serak, tubuhku sedikit bergetar mencoba untuk sebisa mungkin menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk kedua mataku. Jelas saja aku tidak ingin mulai terisak dan terdengar olehnya.
"Tapi aku rasa kamu seperti ini sudah sejak lama. Aku kenal kamu dari kita masih kanak-kanak, dan kita sudah berteman lama sekali. Tapi aku bahkan tidak bisa menghubungimu sejak kamu pergi bekerja di luar kota 3 tahun lalu."
"Satya, aku benar-benar sibuk sekarang. Aku minta maaf tapi aku harus segera menutup teleponnya jika tidak ada hal penting lainnya yang ingin kamu sampaikan"
Aku jelas saja tak sanggup untuk tersambung melalui panggilan dan terus berbincang tanpa melepaskan air mata yang makin menggenang dan mempertahankan nada suaraku tetap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.
"Baiklah, aku berharap kau bisa datang. Aku tutup telponnya kalau begitu" ucapnya diiringi dengan bunyi 'tut' tanda panggilan berakhir.
Air mata yang terbendung tak dapat kutahan lagi, langsung mengalir melewati pipi dan terjatuh ke pangkuan setelah sampai di dagu. Tubuhku bergetar menahan emosi yang berkecamuk, terlintas sebuah bayangan indah saat dahulu tersenyum dan berbagi kisah bersama. Senyum getir melintas di wajahku, andai saja aku lebih terbuka mengenai perasaanku, akankah cerita kami berbeda?
Ya andai saja.. Hanya kata itu yang dapat menjadi penghiburan hatiku kini.
YOU ARE READING
LOST
Short StoryLost merupakan kumpulan kisah pendek tentang kehilangan. Kehilangan, tak seorangpun pernah terlepas dari dekapannya. Entah ketika kita masihlah menjadi anak-anak, remaja bahkan ketika kita mulai beranjak dewasa dan kemudian dewasa. Kehilangan selal...