Abad Badruzaman
16 tahun
Biasanya hari ulang tahun sekolah dirayakan sewajarnya, pertemuan antara dewan yayasan dan juga pemerintah daerah. Tahun lalu sekolah ini berhasil
mengundang menteri pendidikan untuk sekedar menyampaikan pidato singkat diakhiri dengan pameran ekstrakurikuler di lapangan pusat.Ulang tahun kali ini,entah siapa yang mencetuskan malam gemilang, seperti
pentas seni dengan tampilan utama yang akan menjadi inti acara itu. Lebih sial nya lagi, Saka yang harus mengisi acara inti, tentu saja bukan sebagai motivator.
Tentunya dengan seleksi atau entahlah gue ngga pernah tau gimana prosesnya, pada akhirnya Saka yang terpilih dan sekarang mengharuskan gue menunggu manusia satu itu selesai gladi karena tadi pagi gue berangkat sekolah bareng Saka.Gue kenal saka dari tk atau bisa jadi sebelum itu, karena rumah Saka cuma berjarak seratus meter dari rumah gue, dan gue selalu menjadi korban kekonyolan
manusia satu itu.Banyak tawaran yang dateng buat gue
bergabung di band musik yang sekarang jabatan tertinggi dipimpin oleh Saka, tentu saja gue nggak mau berurusan
dengan hal hal yang bisa membuat gue mencolok.Sekitar tiga puluh menit lagi latihan Saka selesai kalau sesuai jadwal, mungkin ada tambahan pengarahan lima belas menit dan gue bisa pulang. Cuaca hari ini panas, padahal hampir menjelang sore dengan langit kelabu.
Dari tegukan pertama minuman kaleng ini, tanpa disengaja pandangan gue menangkap seorang perempuan berambut pendek, dia duduk di bangku panjang, menatap kosong ke arah panggung.
Dia memakai seragam SMP sebelah yang masih satu yayasan dengan sekolah gue, padahal di sekitar tempat perempuan itu duduk bisa dibilang sangat berisik, tapi
dia sama sekali tidak terganggu, kakinya mengayun pelan, tali sepatu kiri terlepas atau mungkin sengaja di lepas, satu buku berukuran tebal ia letakkan di sampingnya, mungkin karena pundak kecil itu keberatan
jika harus membawa beban buku tambahan di tas sekolahnya.“Kalau mau ketemu Saka lewat panggung bagian kiri, sekitar empat puluh lima menit lagi selesai”.
Gue duduk tanpa dipersilahkan, ucapan gue tidak juga mengundang perhatian perempuan itu, dia masih melakukan gerakan yang sama.
“Makasih, tapi aku nggak pengen ketemu siapapun”.Dia merespon ucapan gue dengan datar.
“Suka musik?”.Lidah gue yang biasanya penurut dan
nggak banyak bicara, kali ini bergerak sesuka hati.
“Mungkin”
“Harusnya jawab aja iya”
“Kenapa?”
“Karena musik mengalahkan buku”.Gue menatap buku disampingnya, itu buku karya Bernard Werber yang baru
saja rilis beberapa bulan lalu. Dari tampang kecilnya dia tidak terlihat seperti orang yang senang membaca, terlebih dia membaca dalam versi asli tanpa terjemahan.
“Nope, aku baru saja selesai. Sedang mempraktikkan penglihatan kucing, gagal!”
Gue tersenyum tipis hampir tidak bisa dilihat oleh siapapun.“The Cats tomorrow. Bukan itu artinya”
“Nanti aku ulangi sekali lagi”
“Abad”.
Gue memperkenalkan diri dengan menyebut panggilan gue.
“Claira, huruf c sama l nya nggak usah dibaca, Aira!”
“Kenapa enggak? Claira artinya yang bercahaya, itu bagus”
“Kata eyang Aira dalam bahasa sansekerta adalah yang selalu berlimpah, not bad. tapi lebih gampang aja, toh ujung ujung nya cuma dipanggil ra”
Gue gagal menyembunyikan senyuman gue, Aira sekilas melihat gue kemudian kembali menatap panggung.
“Abad aja? atau Abadi?”
“Abad Badruzaman”
“Itu keren menyatukan dua kata yang berhungungan”
Aira mengangguk angguk, seolah baru saja memahami hal baru, sebagian rambutnya diterpa angin, menyapu tipis wajah kecil itu, cepat cepat ia menyingkirkan.“Kalau belum tau, judul lagunya one dance. Kesukaan Saka, seharusnya tidak dinyanyikan saat ulang tahun sekolah”
Aira tersenyum menatap gue, tatapan yang susah diartikan.
“Kamu bakal datang di malam gemilang?”
“Mungkin”
“Orang akan datang karena menyukai sesuatu”.Gue berbicara apa yang sedang gue pikirkan tanpa tujuan apapun, lagi lagi Aira menatap gue.
“Kalau kamu berbicara dengan keramaian jawabannya iya, kalau kamu berbicara kepada aku jawaban nya
tidak”
Gantian gue yang menatap dia lamat. Sebentar lagi Saka selesai, jangan sampai dia yang datang kesini dan menghancurkan mood gue buat ngomong sama orang
lain.
“Aku duluan, kapan kapan kalau kita bertemu lagi aku tunjukkan buku yang lebih bagus”
Aira mengangguk. Gue berjalan menuju tempat sekiranya Saka akan muncul. Seperti dugaan, tidak lama setelah itu Saka muncul dengan seragam super berantakan.
“Gue aja yang nyetir”.
Ini Saka dalam mood baik karena
latihan nya berjalan dengan lancar.
“Kesambet apa lo bad?”.Dahinya berkerut sementara
tangan nya masih membersihkan lensa kaca mata dengan ujung baju, hal yang sering ia lakukan meskipun sudah dilarang banyak orang.
“Setan pohon arbei”.
Gue menjawab asal.
“Tumben banget muka lo nggak suram, besok besok lo disana terus biar nggak cepet tua”
Sore berlalu sewajarnya, tanpa senja, diiringi dengan langit kelabu.