'Pilar yang katanya harus kokoh, pundak yang diinginkan harus kuat'
Satu minggu berlalu begitu saja, sejak terkahir aku mengobrol dengan kak
Lala perihal masalah yang dia hadapi. Hanya secuil kecil yang aku tahu. Tentang bagaimana semua manusia menahan beban di pundak, sesak di dada dan luka di hati. Tidak ada obat pasti untuk menyembuhkan.Hari ini sudah jumat lagi, hari yang berulang terus berjalan begitu saja. Hari bertemu hari, minggu bertemu minggu, rutinitas yang bisa ditebak alur ceritanya. Aku bekerja di shift sore hari ini, tidak banyak yang aku harapkan terjadi maupun tidak terjadi. Jika aku berharap sesuatu, resah yang dirasa. Berpikir apakah kali ini Tuhan akan mengabulkannya? Jika itu tidak terjadi, maka kecewa yang aku dapat.
Aku adalah wanita yang suka berimajinasi, menggambarkan cerita indah dikepala untuk diriku sendiri yang mana aku berharap Tuhan akan mencontek itu dan menulis ceritaku begitu. Cerita indah yang terjadi pada orang kebanyakan dan hal yang biasa untuk orang lain. Yang tak mereka tahu jalan cerita yang mereka anggap biasa adalah bagian indah yang aku harapkan terjadi padaku. Menjalin hubungan romantis contohnya.
Aku berangkat seperti biasa, bekerja seperti biasa, menyumpah serapah manusia dalam diam seperti biasa. Dan lalu pulang, mendapati keluarga yang sedang duduk serius di ruang tengah
Aku masuk kedalam, mengernyitkan dahi. Adikku duduk di depan ibu, menundukan kepala seperti merasa bersalah atas sesuatu. Sedangkan ayah hanya duduk santai memperhatikan mereka. Udara terasa sedikit berat disini. Apalagi yang dimulai?
"kenapa semua serius begini" tanyaku masuk kedalam ruang tengah. Hawa yang sangat tidak aku sukai terasa mengepung
"enggak, Ibu cuma ngasih tahu Dino. Kalau dia sudah besar, sudah harus memikirkan dirinya dan masa depannya. Sudah harus mencari kerja" Jawab Ibu, punggungnya kini menempel di sandaran sofa. Tidak lagi duduk tegap, tanda dia sudah melepaskan rasa ingin mendominasi
Aku memperhatikan adikku, apa yang dibilang Ibu tidak salah. Dino sudah lulus dari sekolah menengah atas, dia sudah lepas dari masa pengawasan dan dianggap dewasa. Difasilitasi untuk belajar kejenjang yang lebih tinggi, di perguruan yang dia mau dengan jurusan yang dipilih sendiri. Di bebaskan semua keputusannya. Kami memang tidak pernah dituntut secara langsung untuk memenuhi ekpektasi mereka, tidak pernah dituntut untuk dapat nilai bagus atau tumbuh jadi anak pintar. Tapi bukan berarti kami tumbuh bebas dari perbandingan dengan anak tetangga yang katanya lebih rajin dan berbakti. Yang mereka mau, kami jadi seseorang di hidup ini, jadi orang yang tidak diinjak orang lain. Hidup serba berkecukupan dan baik. Tidak dituntut jadi dokter, hanya dituntut hiduplah dengan baik. Yang menurutku lebih berat. Tidak ada spesifikasi standar yang bisa ditemui, penjabaran yang terlalu luas.
Aku masuk ke kamar, diam tanpa komentar. Aku tau sulitnya ada di posisi adikku sekarang tapi Ibu tidak salah. Orang sepertiku, Adik dan Ayah adalah orang-orang tanpa ambisi. Yang berpikir cukup, ketika hidangan sudah ada di meja untuk hari ini tidak memikirkan bagaimana besok atau lusa. Sedangkan Ibu berbeda, jika hari ini sudah ada, besok, lusa, minggu depan juga dananya harus siap hari ini.
Rumah kami tidak besar, jadi semuanya berada dalam ruang lingkup yang dekat. Suara TV mulai terdengar dari ruang tengah, yang artinya suasana kembali mencair. Dino duduk sendiri di teras, bermain Hp. Pikirannya mungkin sedang ramai sekarang tentang ketakutan dan keinginan untuk mengambil langkah. Aku duduk disebelahnya, memandangi ikan yang dipeliharanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku yang Kusut
Teen FictionDunia berjalan begitu saja, ditengah-tengah kadang ada kejutan yang tak terduga Yang dikira membawa bahagia ternyata menantang luka Yang dikira berbeda berakhir tidak terduga --------------------------------------------------------------- 'Hidup gak...