05

6.6K 500 1
                                    

Hppy reading

.

.

.

.

.

Siang itu, di belakang SMK Bhayangkara, suasana sepi. Hanya ada suara angin yang sesekali berdesir, menyapu halaman kosong di sekitar gedung olahraga. Kenzo berjalan dengan langkah mantap, matanya mengedarkan pandangan, mencari sosok yang mengirim pesan untuk bertemu di sini. Namun, sialnya, bukannya melihat teman, yang ia dapati malah sosok Arga sedang bersandar santai di dinding, sebatang rokok terselip di antara giginya.

Arga melihatnya dengan malas dan ekspresi dingin, jelas-jelas tidak terintimidasi. Penampilannya santai, namun aura percaya dirinya terasa kuat. Kenzo mengerutkan keningnya. “Ga biasanya anak Garuda dateng ke sini kecuali buat cari tawuran,” pikirnya, penuh waspada.

Tanpa ragu Kenzo menghampiri Arga, emosinya langsung naik begitu melihat orang yang membuat babak belur malam itu. “Ga puas lo udah bikin gue babak belur, kemarin malem?” suara lantang, nada bicara yang tinggi menuntut penjelasan.

Arga hanya menghela nafas pelan, lalu dengan gerakan yang tenang, ia mengulurkan sebuah plastik putih berisi snack ke arah Kenzo. “Buat lo,” ujar Arga datar, menghilangnya tetap dingin, meski di dalam hati ada debaran tak biasa yang ia coba abaikan.

Kenzo menatap plastik putih yang diulurkan Arga, ekspresi berubah kaku. Dengan cepat, ia menggeleng dan mendorong plastik itu kembali. “Gue ga butuh simpati lo,” ucap Kenzo dingin, sorot matanya penuh persetujuan.

Namun, Arga tidak bergeming. tatapannya berubah tajam, seperti elang yang mengawasi mangsanya, dan ia kembali menyodorkan plastik itu tanpa berkata apa-apa. Keseriusannya membuat Kenzo sedikit terintimidasi, meski ia berusaha menutupinya.

“Ambil aja. Gue gak suka ngulang dua kali,” ujar Arga dengan nada tegas, masih menyorongkan plastik itu ke arah Kenzo.

Kenzo merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman. Ia menatap plastik itu, lalu kembali menatap Arga. Kali ini, menampilkan Arga begitu intens, membuatnya sulit menolak lagi. Dengan perasaan enggan dan jengkel, Kenzo akhirnya meraih plastik itu, hanya untuk mengakhiri menusuk yang membuatnya resah.

Setelah mengambil plastik itu, ia terdiam pelan, mencoba mempertahankan sikap dinginnya, “Jangan kira ini berarti gue suka sama lo, Anak Garuda.”

Arga hanya tersenyum tipis, tidak menjawab, lalu mematikan rokoknya dan berbalik pergi. Namun, di dalam hati, ada rasa puas yang muncul—bukan karena berhasil memberikan snack, tapi karena berhasil menembus tembok keras kepala Kenzo, meski hanya untuk sesaat.


K

enzo menatap plastik putih di tangannya, masih sedikit kesal sekaligus bingung. “Dia ke sini cuma buat kasih gue ini? Ga guna banget,” batinnya dengan nada jengkel. Namun, di balik kekesalannya, ada perasaan lain yang membuatnya sedikit salah tingkah.

Pandangan Kenzo mengikuti sosok Arga yang mulai menjauh. Ia mendapati dirinya tak bisa lepas dari pikiran tentang mengapa anak Garuda itu bersusah payah datang ke wilayahnya hanya untuk memberinya camilan. Sebuah perasaan aneh yang mengganggu mulai muncul, membuatnya sedikit risih.

Sambil mendesah pelan, Kenzo menatap plastik itu lagi. “Sok baik banget…” gumamnya pelan, tapi tanpa sadar, ujung bibirnya terangkat sedikit, seakan ada secercah senyum yang ia coba sembunyikan.

Arga berjalan meninggalkan area belakang SMK Bhayangkara, langkahnya santai namun hati penuh kepuasan. Tanpa ia sadari, senyum tersungging di wajahnya, senyum yang entah berasal dari mana dan tak jelas tujuannya. Senyum itu terus bertahan di wajahnya, membuatnya merasa sedikit konyol. Ia bahkan tertawa kecil, seolah sedang menikmati lelucon yang hanya ia sendiri yang mengerti.

"Kok gue jadi senyum-senyum sendiri sih? Kayak orang gila aja," gumam Arga sambil menggaruk bagian belakang kepalanya, mencoba menenangkan pikiran yang berdebar aneh. Di dalam hati, ia tahu bahwa pertemuan dengan Kenzo pertemuan—betapapun singkat dan menegangkannya—membawa kesenangan tersendiri.

Arga menghela napas panjang, menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini hanyalah kejadian biasa. Tapi senyuman itu tak juga hilang, tetap bertahan di wajahnya, seolah menolak pergi.

Arga menyadari bahwa tindakan mengganti snack Kenzo bisa menjadi masalah besar jika diketahui oleh Raka dan Bima. Mereka berdua paling anti dengan anak-anak Bhayangkara, apalagi kalau tahu snack itu khusus untuk Kenzo, ketua STM Bhayangkara.

Arga kembali meneguk minumannya, berusaha menggigil ketakutan. Tapi, sedikit ketakutan mulai muncul di pikiran—bagaimana kalau Raka dan Bima tahu? Dalam hati, Arga tahu reaksi mereka takkan main-main. Kedua teman saja bisa menganggap tindakannya sebagai suatu kelemahan, bahkan mungkin mengira telah berpihak pada musuh.

“Nggak mungkin mereka tahu,” gumam Arga pelan, menenangkan dirinya sendiri. Lagi pula, siapa yang akan curiga kalau Arga, anak paling tangguh di Garuda, memilih untuk melakukan sesuatu yang kelewat “baik” kepada musuh bebuyutan mereka?

Arga memasang ekspresi datar, mencoba menghapus sisa-sisa senyuman yang tadi tak sengaja muncul. Ia menghela napas, lalu menyalakan motornya dan melaju kembali ke tempat nongkrong, berpikir kalau urusan dengan Kenzo hari ini sudah selesai. Dalam hati, ia berharap Raka dan Bima tak curiga atau menganyainya lebih jauh.

Setelah sampai, ia mendapati kedua temannya sudah menunggu, tampak santai sambil ngobrol di bawah pohon. Arga turun dari motor dengan sikap tenang, menyimpan semua kegelisahan dan perasaan aneh yang sempat muncul.

“Dari mana aja, Ga?” tanya Bima dengan nada santai tapi penuh selidik.

Arga hanya mengangkat bahu. “Ada urusan bentar. Biasa, muter-muter,” jawabnya tanpa ekspresi. Ia berusaha sebisa mungkin agar Raka dan Bima tau

Sementara itu, di kamar Kenzo, ia meletakkan plastik snack yang diberikan Arga di atas meja belajarnya. Tidak lama setelah itu, kedua temannya, Xavier dan Hazel, muncul di pintu kamar. Mereka memandang plastik snack itu dengan penuh selidik, membuat alis Kenzo sedikit terangkat.

“Dari mana, Zo?” Xavier menyenggol bahu Kenzo, pandangannya tertuju pada tumpukan snack di atas meja. “Jajan banyak banget, abis menang slot ya?” godanya, senyum jahil terlukis di wajahnya.

Hazel, yang berdiri di sebelahnya, tertawa kecil. “Iya, biasanya kalo snack sebanyak itu pasti ada yang nggak beres. Lo lagi ngerayain apa nih, Zo?”

Kenzo menghela napas, mencoba mengabaikan tatapan ingin tahu teman-temannya. “Bukan urusan kalian, oke? Gue nggak abis menang apa-apa oke?” jawabnya datar, mencoba menutupi rasa canggung. Padahal, dalam hati, ia sendiri masih bertanya-tanya kenapa Arga, anak Garuda yang biasanya jadi musuh bebuyutannya, tiba-tiba datang hanya untuk memberikan snack.

--TBC--






Yang Katanya Rival? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang