Merasakan hawa dingin menyebar di seluruh tubuhnya, pelan-pelan Varen membuka kelopak matanya. Saat kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya Varen bertanya-tanya dalam hati. Sedang di manakah dirinya saat ini? Dilihat dari bantal dan guling di atas kasur, ini bukanlah kamarnya.
Varen hendak bangun dari baringnya, tapi baru saja ia mau bergerak, seluruh tubuhnya terasa remuk dan sakit semua. Pinggulnya sakit, bagian belakangnya juga sakit. Jangankan untuk turun dari atas tempat tidur, bergerak sedikit saja semua terasa nyeri. Varen bingung apa yang terjadi dengan dirinya semalam. Yang dia ingat semalaman dia pergi ke pesta ulang tahun teman Dimas di club malam.
Saat Varen sedang mengingat-ingat kejadian semalam tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.
"Oh, kamu sudah bangun?"
Secepat kilat Varen menoleh, dan ia pun tersentak kaget. Kedua matanya terbelalak lebar saat melihat Gyan dengan hanya mengenakan handuk melilit di pinggangnya keluar dari kamar mandi.
"Apa ini? Aku ada di mana? Kenapa kamu bisa ada di sini?" brondong Varen dengan wajah bingung.
"Kita lagi ada di hotel, semalam kita menginap di sini," jawab Gyan tenang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
"Apa? Hotel? Menginap di hotel sama kamu?" ulang Varen tak percaya dengan jawaban Gyan barusan.
"Iya, benar kita di hotel, kamu lupa sama apa yang kita lakukan semalam? Kok bisa sih lupa, padahal kamu menikmati banget loh."
Kepala Varen rasanya langsung mendidih. Beraninya laki-laki di depannya itu berkata kurang ajar padanya lagi. Varen bermaksud hendak memberi perhitungan ke Gyan atas ucapannya yang tidak sopan itu, tapi saat ia menyibak selimut, baru Varen menyadari akan sesuatu. Ternyata dia telanjang bulat, alias tidak mengenakan sehelai kain pun. Varen dengan cepat menutup kembali selimut. Lalu melempar tatapan membunuh ke Gyan.
"Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan?!" Varen bertanya dingin, kedua tangannya mengepal erat dan gigi bergemeletuk. Matanya menatap Gyan nanar.
Sebenarnya Varen tidak bodoh, dengan melihat keadaannya saat ini, ia bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi semalam. Hanya saja Varen berharap laki-laki di depannya itu mengatakan hal yang berbeda dari apa yang ia pikirkan.
Selesai berpakaian Gyan mendekati Varen. Disentuhnya dagu pemuda itu lalu ia tarik mendekat ke wajahnya. Sambil tersenyum Gyan bersuara, "Kita melewati malam yang panas, apa kamu masih enggak ngerti juga? Liat ini." Gyan menarik kerah bajunya, memperlihatkan tanda merah kebiruan di sekitar dadanya.
"Ini perbuatanmu. Masih tidak ingat? Atau jangan-jangan kamu pura-pura lupa. Kalau begitu aku akan mengingatkanmu," ujar Gyan seraya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
Saat ini dada Varen rasanya seperti mau meledak. Seluruh tubuhnya menjadi tegang. Matanya memerah dan mulai berair. Perasaan benci, marah, jijik dan sakit hati bercampur menjadi satu.
"Bajingan kamu!!" Varen berteriak murka. Menepis tangan Gyan dari dagunya. Rasa jijik melihat wajah Gyan membuatnya ingin muntah.
Mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya, Varen segera beranjak dari atas tempat tidur, memunguti pakainya yang berserakan di lantai lalu dikenakannya dengan tergesa-gesa. Ia kemudian segera pergi meninggalkan kamar hotel. Tidak mau membuang waktu walau untuk menghajar Gyan. Meremukkan tulang-tulang laki-laki jahanam itu.
Tidak! Sekalipun dia membunuh bajingan itu, tidak ada yang akan berubah, tubuhnya sudah kotor. Mencium bau badannya sendiri saat ini perut Varen terasa mual. Di tengah pikiran kalut Varen teringat ke dua orangtuanya. Mereka pasti bingung karena dia tidak pulang semalaman. Untuk itu Varen segera merogoh ponsel dari saku celana. Dengan tangan gemetar Varen memeriksa ponselnya, dan ada 100 panggilan tak terjawab dari Nara. Rasa bersalah dan perih menjalar di seluruh hati Varen saat membaca nama kekasihnya.
"Mas Nara ...." Varen meremas ponselnya. Sedikit lebih kuat barangkali layar ponsel itu bisa retak.
Bibir Varen bergetar dan pucat. Dadanya naik turun karena menangis terisak-isak. Pak sopir yang duduk di depan melihat Varen dari kaca spion tengah, meski tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat Varen menangis tersedu, Pak sopir membatin, pasti masalah yang dihadapi pemuda itu sangat berat sampai menangis tidak bersuara seperti itu. Pak sopir memilih diam, tidak bertanya ada apa? Dia fokus menatap jalan di depan sana.
Tak lama terdengar notifikasi baru pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Sebuah pesan Video. Varen segera menekan video itu. Beberapa detik kemudian seluruh tubuh Varen terasa beku, untuk sekian detik jantungnya seperti berhenti berdetak. Varen langsung lemas gemetar. Mulutnya terbuka menganga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebuah Vidio memperlihatkan dirinya bertelanjang dada sedang rebah di atas kasur kamar hotel. Mengulurkan tangan memanggil nama kekasihnya. Sampai di situ Varen buru-buru menghentikan video itu berputar dan dihapusnya dengan segera.
Namun, tak berapa lama ada pesan masuk lagi dari nomor yang sama.
"Itu Vidio bercinta kita semalam. Lihat, kamu liar banget di atasku."
Varen menjatuhkan ponselnya lalu menginjak benda segi empat itu dengan keras. Bunyi krak, terdengar bersamaan dengan layar ponsel yang langsung pecah dan tak lama berubah gelap.
"Pak cepat dikit," kata Varen dengan suara serak, ia menutup matanya dengan satu lengannya, supaya pak sopir tidak melihatnya menangis.
"Iya, Mas." Seperti mengerti akan kondisi Varen, Pak sopir tancap gas.
Selang beberapa menit mobil taxi berhenti di tepi jalan depan rumah tingkat dua bercat warna biru. Setelah membayar, Varen bergegas turun dan langsung masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu Varen berpapasan dengan ibunya. Wanita itu membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tapi bibirnya kembali mengatup saat Varen berjalan cepat melewatinya.
Varen masuk ke kamar, mengunci pintu rapat. Lalu dengan langkah cepat Varen menuju kamar mandi. Melucuti seluruh pakaian yang ia kenakan. Mengguyur tubuhnya dengan air shower. Menggosok-gosok seluruh badannya, seolah dengan begitu jejak tangan Gyan ditubuhnya bisa menghilang.
Namun, sekeras apa pun Varen menggosok tubuhnya, sebanyak apa pun air dingin membasuh badannya. Varen tetap merasa kotor. Bayangan kejadian semalam terus berputar-putar di kepalanya. Hampir satu jam Varen berada di bawah guyuran air. Tubuhnya mulai menggigil dingin, tapi Varen enggan untuk segera beranjak keluar dari dalam kamar mandi.
Setelah itu Varen tidak keluar kamar seharian. Ia mengurung diri. Membuat orangtua dan adiknya jadi bingung.
"Varen kenapa, Bu?" tanya Nara dengan raut wajah khawatir saat baru datang.
Karena cemas akan keadaan anaknya, ibu Varen menghubungi Nara. Siapa tahu dengan dibujuk kekasihnya Varen mau keluar kamar.
"Ibu, enggak tahu, semalam dia enggak pulang. Terus pagi-pagi sekali dia pulang, tapi keadaannya kacau banget," jawab ibu Varen sembari jalan bersama Nara ke lantai atas.
"Memangnya dia pergi ke mana? Kok tumben enggak bilang sama aku, Bu. Aku telpon puluhan kali enggak diangkat juga."
"Ke acara ulang tahun teman Dimas."
Nara tidak menyahut lagi saat mereka telah sampai di depan pintu kamar Varen. Di situ sudah ada ayah juga Rere. Melihat kedatangan Nara mereka menjauh dari depan pintu kamar Varen.
"Tolong bujuk dia keluar kamar, dan tanyakan ada apa? Ayah khawatir," kata ayah Varen sebelum pergi meninggalkan Nara seorang diri.
Setelah semua orang pergi Nara mulai mengetuk pintu kamar kekasihnya.
"Sayang ... buka pintunya dong," bujuk Nara dengan lembut.
"Sayang ...."
Tidak ada sahutan dari dalam. Nara menarik napas dalam kemudian mencoba memanggil lagi.
“Sayang ....”
Masih belum ada tanda-tanda Varen akan membukakan pintu.
"Ya udah, kalau enggak mau buka pintu, aku tunggu di depan kamarmu, sampai kamu keluar."
Di dalam kamar Varen masih betah membisu.
Nara sungguh-sungguh dengan ucapannya. Pria itu tidak beranjak dari depan pintu barang sebentar. Ia merosot duduk, menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Satu kakinya ditekuk, sedangkan kaki satu lagi selonjor lurus di lantai.
"Sayang ... Varen ... aku nungguin loh, buka pintunya yang ...."
Hingga hampir satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda Varen akan membuka pintu. Dan Nara terancam melewatkan jam makan siangnya. Karena sebentar lagi jam istirahat kantor segera berakhir.
"Varen sayang ...." panggilnya lagi dengan sabar. Jika soal sabar, kesabaran yang dimiliki Nara itu seakan tanpa batas. Dia pria dewasa, penyayang. Dan Varen adalah kesayangannya. Jadi bukan masalah menunggu Varen membuka pintu meski harus mengorbankan jam makan siangnya.
Tidak lama kemudian sebuah kertas ke luar dari bawah pintu. Nara buru-buru memungut kertas itu dan membaca pesan yang ditulis Varen.
"Mas Nara pergi aja, aku lagi mau sendiri."
Selesai membaca itu Nara bangkit berdiri menghadap ke pintu.
"Buka pintunya dulu, aku mau liat kamu sebentar aja. Aku kangen, dari kemarin kita enggak ketemu."
Kertas yang sama ke luar lagi dari celah bawah pintu.
"Besok saja Mas, aku baik-baik aja, aku cuma mau sendiri dulu. Mas Nara pergi aja."
Membaca itu Nara menghela napas.
"Ya udah, kalau enggak mau ketemu. Aku balik kantor dulu ya." Tidak mau memaksa, Nara memilih memberi waktu Varen untuk sendiri dulu. Mungkin Varen sedang ada masalah dengan teman kuliah atau teman dari pesta ulang tahun semalam.
Soal pesta ulang tahun semalam, sebenarnya Nara bertanya-tanya dalam hati. Belum pernah sebelumnya, Varen pergi bersama temannya tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Apalagi semalam Varen sangat susah dihubungi. Sekarang Varen bersikap aneh, tidak mau keluar kamar, tidak mau bertemu siapa pun. Sedikit banyak Nara curiga dengan pesta semalam. Ia pun berencana akan bertanya pada Dimas nanti.
"Bagaimana, Nara?" Saat melihat Nara turun dari lantai atas ibu Varen buru-buru menghampiri Nara dan bertanya.
"Varen tetap enggak mau buka pintu, Bu."
"Duh, anak itu kenapa sih ... pulang dari pesta kok jadi begitu. Varen enggak pernah begini lho," ujar ibu Varen cemas seraya meremas-remas tangannya sendiri.
"Enggak apa-apa, Bu. Tadi Varen ngasih pesan dia cuma mau sendiri dulu. Kita kasih dia waktu, nanti sore atau nanti malam, Varen pasti keluar kamar," terang Nara mencoba menenangkan calon ibu mertuanya.
"Benar kata Nara, kita kasih Varen waktu. Mungkin dia lagi bertengkar sama temannya," kata ayah Varen menimpali.
"Tapi Mas Varen kata Ibu belum makan dari pagi," Rere yang sejak tadi diam ikut bicara, terlukis jelas dari matanya gadis itu juga mencemaskan kakaknya.
"Bawa aja makanan ke atas, kamu bujuk dia, kalau masih gak mau buka pintu, letakkan aja di bawah pintu. Aku harus kembali ke kantor, nanti sore aku ke sini lagi. Hubungi aku kalau ada apa-apa, Re."
"Iya, Mas," jawab Rere sambil mengangguk.
Nara kemudian berpamitan kepada ayah dan ibu Varen dan kembali ke kantor tanpa sempat makan siang.
Di dalam kamar Varen tidur meringkuk di lantai. Sepanjang hari pemuda itu hanya menangis sampai mata bengkak. Varen merasa bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang.
Apa yang harus dia katakan pada keluarga juga kekasihnya. Haruskah dia tutup mulut dan menyimpan semuanya sendiri? Karena Varen terlalu malu jika harus memberitahu orang lain tentang kejadian semalam. Tentang dia yang diperkosa. Tentang video senonoh itu.
Dada Varen kembali teras sakit saat kata 'perkosa' melintas di kepalanya. Wajah kekasihnya Nara langsung terbayang, dan perasaan bersalah menusuk-nusuk hatinya. Andaikan saja semalam dia tidak pergi ke club malam, pasti malapetaka itu tidak akan terjadi.
Sekarang Varen hanya bisa meratapi nasib dalam penyesalan, bergulung dengan rasa malu, jijik dan sakit hati.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST HAPPINESS (Mpreg)
General FictionVaren memiliki kehidupan yang sempurna. Dia berasal dari keluarga yang berkecukupan dan juga harmonis. Tidak hanya itu, Varen juga memiliki seorang tunangan yang sempurna dari segi apa pun di matanya. Sampai pada suatu hari, satu kejadian merenggut...