Ketika Tuhan menciptakan suka dan duka, dunia ikut menyertai lahirnya semesta. Semua yang dicipta pasti mengambil dua sisi berbeda.
Bulan berpendar kepada matahari, membutuhkan sinar untuk menyinari, agar kegelapan tidak mengambil alih. Alih-alih seperti matahari, bulan memancarkan suramnya cahaya, redup ditelan kegelapan.
Tak ada yang bisa menyamai cahaya matahari, walaupun bulan berusaha menandingi, layaknya Candra ingin seperti Bagaskara walaupun ia tak sempurna mengimbangi.
Usahanya belum seberapa dengan prestasi Bagaskara, lelahnya belum seberapa dengan kekecewaan mama dan papa, sedihnya belum seberapa dengan malunya mama dan papa mempunyai anak sepertinya. Fisik yang tak sempurna, ditambah nilai yang tak pernah memuaskan orang tua.
Hanya Bagaskara yang selalu ada di sisinya, suka dan duka ia rangkul bersama, mengisi kekosong didalam hati Candra.
Namun Candra menjadi takut jika kakak Bagaskara menjauh darinya, tidak ada bahu untuknya bersandar, melepaskan semua luka ia tahan sendiri. Sekarang menjadi nyata, seolah menyudutkan Candra jatuh dalam kesendirian.
Setelah keributan di ruang makan, Bagaskara mengacuhkan Candra begitu saja, mengabaikan Candra mendekatinya, menolak ajakan yang biasanya Bagaskara iyakan. Candra benar-benar takut dibenci Bagaskara, tak pernah Bagaskara semarah ini kepadanya.
Candra hanya bisa melihat Bagaskara dari kejahuan, memperhatikannya tertawa lepas dengan temannya. Candra rindu tawa itu, Candra rindu tatapan lembut itu.
Candra memijit pelipisnya, merasakan pusing beberapa hari belakangan, andaikan Bagaskara tahu ia sedang sakit, apakah Bagaskara peduli padanya?
Dengan berjalan sempoyongan, Candra berjalan keluar dari gedung olahraga, ia butuh isitirahat sebentar di UKS.
Tak jauh dari sana, Bagaskara yang pura-pura tidak tahu keberadaan Candra, bingung melihat kembarannya pergi begitu saja. Biasanya Candra mengekorinya untuk sekedar meminta maaf soal kejadian kemarin.
“Itu kembaran lo tumben nggak nyamparin lo?” tanya Ali sahabat Bagaskara.
Bagaskara hanya mengedikkan bahu, seakan tidak peduli. Kembali mengambil bola basket, memantulkannya sebelum ia masukkan ke dalam ring.
“Lagi berantam, ya?” tanya Ali lagi, membuat Bagaskara terdiam.
Ali menggangguk paham, menepuk pundak kanan Bagaskara. “Ternyata bisa marahan juga sama kembaran. Gue kira lo nggak tegaan gitu sama Candra.”
Bagaskara memilih duduk, meluruskan kakinya. “Gue lama-lama muak sama dia,” ucapnya menghela kasar.
Kening Ali mengerut. “Seorang Bagaskara yang terkenal sayang sama Candra, bilang muak sama kembarannya? Sakit bro?”Ali menempelkan punggung tangannya ke dahi Bagaskara.
“Apaan sih lo!” Bagaskara menghempaskan tangan Ali, menatap jengkel sahabatnya itu. “Gimana gue nggak muak, dia cuma diam aja saat disalahkan, dia cuma diam aja saat direndahkan.”
Ali menggelengkan kepalanya. “Gas, Candra itu udah rendah diri, nggak percaya diri melakukan sesuatu apalagi menyuarakan apa yang mengganjal hatinya. Lo tau sendiri bagaimana tatapan orang kekembaran lo, seharusnya lo rangkul dia, bukan kayak gini, yang ada lo jauh dari dia,” ucapnya memberi nasehat.
“gue yang capek lihatnya,” keluh bagaskara.
“Lo aja capek, apalagi dia, pasti lebih capek yang tiap hari harus memenuhi keinginan orang lain.”
Bagaskara tersentak bahwa apa yang Ali benar. “Jadi gue salah, ya, jauhin dia?”
Ali tersenyum. “Itu udah tau, pergi sana, susul kembaran lo. Kayaknya lagi sakit deh, tadi mukanya keliatan pucat gitu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...