Selasa, 2 April 2019
Kamar ini rapi, bahkan terlalu rapi. Sofia yakin, bukan Aira yang merapikan. Anak itu, selalu meninggalkan selimutnya menjuntai, dan beberapa buku yang menyembul dari kolong tempat tidur. Meja belajar dengan lampu menyala, dan lemari terbuka. Dan dia tidak mau ada yang merapikan hingga dia pulang sekolah. Rapi, membuat dia tidak bisa menemukan barang-barangnya. Itu alasannya.
Mungkin, Mama sudah membuatnya berubah dalam enam bulan ini. Kalau itu benar, itu sangat hebat. Mengingat Mama sangat jarang di rumah, dan tak pernah peduli dengan urusan sepele semacam merapikan kamar. Semua urusan rumah adalah urusan Mak Munah, pembantu rumah tangga sejak Sofia masih kecil. Sekarang, karena Mak Munah sudah sepuh, beberapa tugasnya digantikan oleh anak perempuannya, Sila.
“Sila yang merapikan.”
Sofia mengangguk mendengar ucapan Mama di belakangnya. Sofia tahu, Mama menghindari Sofia mencecar dengan beribu pertanyaan, jadi dia memberikan jawaban lebih dulu.
Dan Sila, bersiaplah kau mendapat murka Aira bila dia sudah masuk ke kamarnya. Sofia menggumam dengan wajah muram.
“Beberapa barang dibawa polisi. Aku mencatatnya.”
Mama menuju meja belajar Aira. Mengambil secarik kertas yang diselipkan di ujung deretan buku yang tertata rapi berdasarkan ketinggian. Terasa aneh melihat meja belajar Aira serapi itu. Tangan Mama gemetar ketika menyerahkan kertas itu pada Sofia. Sofia menelisik wajah Mamanya, dan Mama menunduk menghindari tatapannya.
“Mama sudah cek gula dan kolesterol pekan ini?” tanya Sofia penuh selidik. Sofia tahu, Mamanya tidak menyukai gaya bertanya seperti ini. Tapi, kali ini Sofia merasa berhak menginterogasinya dengan beribu pertanyaan dengan gaya apapun.
Karena Sofia yang kehilangan.
“Sudah. Semuanya normal.”
Sofia berharap Mama tidak berbohong. Mama sudah pernah membohonginya tahun lalu, ketika sahabatnya mengabari bahwa Mama terkapar di UGD. Kolesterol 600. Jadi, bila kolesterolnya normal, berarti gemetarnya tadi karena dia merasa bahwa ini semua kesalahannya? Sebaiknya begitu.
Sekilas membaca tulisan Mama, Sofia merasa ada yang luput dari perhatian polisi. Mereka hanya membawa beberapa buku catatan pelajaran di hari terakhir Aira sekolah berikut tasnya, sebuah baju yang belum dicuci—mungkin untuk anjing pelacak, dan gelas untuk mengambil sidik jari.
“Polisi hanya membawa ini? Mama yakin?”
Mama mengangguk, sembari memindai ruangan. Sofia yakin Mamanya berusaha mengingat kembali apa saja yang sudah dilakukan polisi di kamar Aira, sebelum Sofia datang. Sofia sudah meminta agar polisi datang setelah dia sampai di rumah. Namun kepanikan Mamanya, mengalahkan permintaan Sofia. Dan orang seperti Mama bisa mendatangkan polisi kapan saja, meski hanya untuk menurunkan kucing dari atas pohon. Tidak tanggung-tanggung, bisa-bisa Kapolres Mandal sendiri yang turun tangan.
“Polisi tidak membawanya, jadi barang itu pasti masih di sini,” gumam Sofia, terdengar jelas oleh Mamanya.
Sofa bergegas membuka lemari baju Aira. Baju-baju tersusun dalam lipatan yang rapi. Tidak ada yang menjuntai atau tergulung. Juga deretan seragam, baju putih abu-abu, baju olah raga dan pramuka yang tergantung rapi. Tidak ada yang melorot dari gantungan. Deretan kotak sepatu di bawahnya, tidak tumpang tindih dengan hasduk atau kaos kaki.
Ini terlalu rapi, Sofia tidak akan bisa menemukannya. Rasanya Sofia mulai seperti Aira. Tidak bisa menemukan benda yang dicari di tempat yang rapi.
Sofia gemetar sembari membolak balik tumpukan baju, merasakan sebuah harapan yang tiba-tiba menjulang ke langit ke tujuh. Harapan yang nyaris musnah ketika sebelum naik bus, Mama menelpon mengabari bahwa tak ada satupun petunjuk dari sekolah.
Benda itu, pastilah petunjuk utama untuk menemukan Aira. Sofia yakin barang itu pasti masih di sini. Aira tidak mungkin membawanya keluar dari kamarnya.
“Mama, tolong Sila suruh ke mari!” seru Sofia setelah beberapa menit membongkar isi lemari Aira dan dia tidak berhasil menemukan benda yang dicarinya. Sofia berharap Sila yang sudah menemukan benda itu lebih dulu, dan merapikannya entah di mana.
Sila masuk kamar dengan wajah pucat. Wajah Mama yang berdiri di belakangnya tidak kalah pucat. Dua wanita itu berdiri di hadapan Sofia dengan tegang, kini siap diinterogasi. Suhu sudah mulai memanas di ruangan ini.
“Kapan kau membereskan kamar Aira?”
“Tadi, mbak. Setelah semua polisi pulang.”
“Kenapa kamu bereskan? Bukankah kamu tahu kalau Aira tidak suka barang di kamarnya disentuh?”
“Semuanya berantakan, Sofia, “ bela Mama, “mereka mengacak-acak kamar Aira. Jangan salahkan Sila. Kamar ini seperti kapal pecah setelah polisi datang.”
Oke. Sofia memutuskan untuk tidak boleh ikut panik seperti dua wanita di hadapannya. Sofia harus lebih tenang dari mereka, atau masalah ini akan tetap jadi masalah. Mereka berdua harus bekerja sama dengannya. Aira bersama mereka enam bulan, jadi mereka yang tahu apa saja yang sudah dilakukan Aira selama ini. Membuat mereka panik, akan membuat mereka takut. Takut menjadi tertuduh, Sofia yakin itu.
“Saat kamu merapikan, apa kamu menemukan barang kecil, tipis segini, lebih panjang dari hape. Tulisannya Sony,” ucap Sofia menurunkan nada bicara, sambil memposisikan kedua tanganku seukuran benda yang dimaksud.
“Aira tidak punya android, “ sahut Mama.
“Bukan ponsel, bukan android. Voice Recorder. Perekam suara. Hadiah dari kakaknya.”
Sila tampak mengingat sesuatu. Dia lalu melongok ke dalam kolong tempat tidur. Menjulurkan tangannya, lalu menyerahkan benda itu pada Sofia yang menyambutnya dengan mata terbelalak.
“Apa ini, mbak? Kemarin waktu saya ganti sprei, jatuh ke kolong. Saya kira obat nyamuk listrik. Jadi saya taruh lagi di kolong.”
Sofia meraih Voice Recorder itu dalam dekapan sembari mengulas senyum..
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Pride
Teen FictionAira menghilang. Petunjuk pertama setelah kebuntuan penyelidikan polisi selama beberapa hari akhirnya ditemukan Sofia. Sebuah voice recorder milik Aira. ~ Beep ~ Ini catatan harian Kapten Aira. Earth Date 30052018. Aku yakin tidak diterima. Rangking...