prolog

21 2 0
                                    

"Himeru, bagaimana keputusanmu?"

"Sudah kuputuskan. Aku... Memilih hidup bersama Nenek."

.

Musim panas, Juni, perceraian, perpisahan, keputusan. Ah, apa lagi ya yang membawa Himeru pada keputusan itu?

Jika Himeru tidak salah ingat, semuanya bermula di awal bulan April. Siapa sangka pernikahan yang telah menginjak dua puluh tahun dapat berakhir begitu saja? Entah karena idealisme yang tak lagi sejalan atau masalah-masalah kecil tak terselesaikan kembali ke permukaan bagaikan Godzilla yang terbangun dari hibernasinya. Meluluh lantahkan hubungan Ayah dan Ibunya. Merusak kedamaian hidup Himeru yang dengan penuh upaya dibuatnya.

"Himeru, Kazuha, maafkan Ibu dan Ayah. Kita mungkin hidup berpisah, tetapi kasih sayang Ibu dan Ayah tidak akan pernah berubah. Keputusan ada di tangan kalian. Akankah ikut Ibu atau Ayah, kami tidak akan memaksa. Apapun pilihannya kami akan selalu menyayangi kalian."

Begitulah Ibu membuat Himeru dan kakaknya Kazuha untuk memutuskan. Kala itu, Kazuha tak kuasa membendung air matanya. Sedangkan Himeru masih setia mempertahankan wajah tenangnya. Well, dibanding kakaknya Kazuha, Himeru memang lebih pandai mengontrol emosinya. Ia hanya akan memperlihatkan emosi sesuai kehendaknya. Tak ada celah. Ketika menangis, maka Himeru lah yang memperbolehkan dirinya. Hal itu berlaku untuk semua jenis emosi. Akan tetapi, bohong jika Himeru sama sekali tidak merasakan apapun. Lebih dari itu semua, Himeru berpikir bahwa ada yang salah dari cara pandang Ibunya.

Mengapa anak baru boleh memutuskan ketika orang tua telah lebih dahulu menetapkan perceraian? Mengapa tidak melibatkan Himeru dan Kazuha sejak awal? Mengapa ketika semuanya sudah terlanjur rusak, Himeru dan Kazuha baru boleh memutuskan?

Himeru memikirkan banyak hal. Ia mencoba mengerti segalanya dari berbagai perspektif. Sedari dulu Himeru memang lambat mengambil keputusan, itu karena ia memikirkan segalanya matang-matang. Ada banyak kemungkinan yang terjadi dalam berbagai pilihan. Himeru harus memikirkan apa yang akan mungkin terjadi pada tiap pilihannya. Akhirnya, Himeru memutuskan.

Jalan tengah.

Ya, tidak memilih Ayah maupun Ibu.

Walaupun sempat terjadi pertentangan, di sinilah Himeru berakhir. Di sebuah desa tempat tinggal Neneknya. Sejauh mata memandang, memang tidak banyak hal menarik atensinya. Himeru memang merasa kehidupan kota tidak cocok dengannya. Ia ingin mencari kedamaian.

Biarlah jika tempat itu adalah sebuah desa dekat pantai dengan segala akses seadanya. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang tempat Ayah maupun Ibunya. Memilih antara Ayah dan Ibu? Jangan konyol. Dari awal, seharusnya pilihan itu tidak pernah ada. Makanya ketimbang memilih satu di antaranya, lebih baik Himeru akan membuat pilihannya sendiri. Itu adalah hal yang ideal bagi Himeru.

Menepis pemikiran yang ia bawa dari Seoul, Himeru ditarik kembali oleh realita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menepis pemikiran yang ia bawa dari Seoul, Himeru ditarik kembali oleh realita. Ia terlalu banyak berpikir hingga lupa memikirkan apa yang terjadi sekarang. Setidaknya sudah satu jam lebih Himeru menahan panasnya terik matahari di halte bus. Ia baru saja sampai menggunakan kereta api dan memutuskan untuk menunggu bus dekat stasiun. Entah bagaimana, bus di desa ini sepertinya memang jarang melintas. Mungkin karena jarang orang yang hendak repot-repot menempuh perjalanan hanya untuk datang ke desa ini. Jika asumsinya benar, tamatlah sudah riwayat Himeru.

Summer Boy | JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang