; 01

146 14 0
                                    


Chris mengatakan padanya bahwa ia akan merasa baik— atau bahkan lebih baik ketika menghubungi nomor yg ia berikan karena ia merasa Jisung benar-benar membutuhkannya.


Ini adalah salahnya. Ia benar-benar bingung ketika ia tidak bisa menyalahkan siapapun saat Chris memergokinya sedang berganti baju dan membiarkan beberapa goresan merah diatas lengan yang ia buat dua hari lalu tertangkap oleh matanya.

Chris terlihat panik dan seperti ingin menangis karena ia adalah satu dari seribu orang netral lainnya, hangat dan lembut bahkan kepada pecundang seperti Jisung. Ia mengatakan itu sangat buruk dengan pupil bergetar dan menyentuh luka miliknya dengan dinamika halus penuh hati-hati, dan Jisung tidak bisa berkata tidak untuk malaikat sepertinya.

Yang kemudian ia memaksa Jisung menelpon nomor asing yang ia kirimkan lewat pesan teks sembari berkata dengan canggung,

‘kamu tahu layanan darurat ini? Dia menyediakan konseling pencegahan uh—bunuh diri, dengan gratis. Hubungilah di jam makan malam, temanku bekerja disana sebagai relawan. Dia akan membantumu’



Nyatanya, tidak.


Chris tidak tahu. Dan tidak akan pernah tahu. Karena orang seperti Chris tak akan merasakannya.

Seberapa berat membicarakan masalahnya kepada orang lain.

Seberapa jijik ia dengan dirinya. Hingga ia benci membicarakan itu. Membuat semua orang hanya akan terbebani dengan kisahnya.






“Oh, Han Jisung. Hai”

Ia kembali bertemu Chris di depan loker dan sungguh ia merasa ingin pergi sekarang juga karena Chris pasti akan membicarakan kejadian kemarin dan Jisung merasa itu tidak perlu dibicarakan.

“Kau uhm— temanku, bagaimana? Sial, maaf. Maksudku, kamu sudah menghubungi nomor yang kuberi?” Chris tergagap karena suasana mereka begitu canggung dan wajah Jisung terlihat tidak bersahabat.


Jisung melirik kearah lain, berusaha mencari kata yang pas untuk menjawab, “Itu tidak berakhir baik”


Shit. Aku minta maaf, dia pasti mengacaukannya. Dia orang bodoh, aku akan menyampaikan tamparanmu untuknya”


“Tidak perlu, itu bukan salahnya”


“Kamu serius? Aku bisa menyuruhnya minta maaf kalau kamu mau”


“Akan lebih baik jika kamu tidak bertanya apapun kepadanya”

Dan Chris mengerti, itu adalah kode etik perusahaan swasta untuk tidak membocorkan hasil percakapan konseling.


“Uhm, baiklah— Oh! Apa kamu mau datang ke pesta dirumahku?”


Jisung berniat pergi namun langkahnya terhenti saat kata2 itu keluar dari mulut Chris “Aku? Pesta apa?”


“Aku mengadakan pesta kecil untuk ulang tahunku malam ini, aku mengundang semua temanku.”


“Uh.. Akan ku pikirkan”


“Baiklah, aku akan senang kalau kamu datang. See ya!”

Kemudian Chris pergi lebih dahulu. Dan Jisung benar-benar bingung karena mereka sama sekali bukan teman.

Jisung hanya bertemu dengan Chris beberapa kali saat Chris memimpin acara besar di kampus dan ia yakin pestanya akan sangat padat karena Chris mengatakan ia mengundang seluruh temannya yang berarti ia mengundang seluruh dunia untuk datang.

Itu akan sangat ramai, ia tidak suka keramaian. Dan ia tidak akan datang.



Jisung adalah introvert menyedihkan tanpa seorangpun teman.

Itu terlihat saat kelas dimulai dan tidak ada satu orang yang duduk dibarisan kursinya. Atau saat pembagian kelompok dan sang profesor mengatakan untuk memilih pasangan sendiri, dan disitulah Jisung harus mengerjakan tugasnya sendirian. Tanpa bantuan siapapun.

 


Ting!


Jisung meraih ponselnya melihat nama Jooyeon— adik laki-lakinya tertera pada layar ponsel.




Han Jooyeon

| Kapan kamu akan pulang? Ibu memasak ayam kalkun kesukaan kita untuk makan malam.




Ah, benar. Ini adalah peringatan pernikahan ibu dan ayahnya. Senyum kecil terangkat dari bibir Jisung, sebelum akhirnya ia menuju toko bunga.


Cassia.



Itu adalah bunga kesukaan Ibunya beberapa tahun lalu sejauh ingatan Jisung. Ibunya adalah penyuka bunga, terlalu banyak bunga di rumah sehingga sulit untuk Jisung memilih— dan menghabiskan 40 menit berada di toko yang berakhir dengan cassia kuning indah ditangannya.



Jam menunjukkan pukul 7 malam. Ia berharap Jooyeon belum menghabiskan kalkunnya karena sungguh ia merutuki jalanan macet yang mengakibatkan ia terlambat.

“Kamu pulang?” Tanya Jooyeon dengan sumringah ketika melihat Jisung membuka pintu.

Dan dia bisa mengatakan kalau ia terlambat karena Ibu, Ayah, dan Jooyeon sudah berkumpul di meja— menyantap makanannya.


“Ya, dan aku membeli ini dijalan.” Ucap Jisung tersenyum menatap Ibunya seraya menaruh bucket bunganya di meja kecil.


“Cassia? Ibu tak suka baunya. Membuat Ibu ingin muntah.”


“O-Oh...” Gerakan Jisung terhenti.


“Aku akan menaruhnya diluar” Lanjut Jisung tetap tersenyum sebelum akhirnya berjalan keluar, menaruh bunganya dan duduk dimeja makan.



“Apa yang kamu lakukan?”

Tanya Ibunya ketika Jisung memasukkan satu potongan kecil ayam ke mulutnya sembari menjawab, “Ya?”


“Aku memasak itu bukan untukmu. Kenapa kamu masih tak paham? Apa yang sudah kamu lakukan sehingga kamu pikir kamu layak untuk makan makanan itu?”

Dan Jisung merasa tercekik, kata-kata itu mencelos pada hati Jisung dalam waktu singkat membuat jantungnya berhenti barang sedetik, sebelum akhirnya meletakkan sendoknya pada meja.

Suasana menjadi hening selama beberapa saat.



“Kalau tidak bisa memperhatikan nilaimu— perhatikanlah penampilanmu. Wanita mana yang akan suka dengan pria gendut?”




Ah.


Ibunya sedang marah.


Ini pasti karena ia menemukan hasil kuisnya minggu lalu dengan nilai C terpampang diatas kertas.




“Ibu mengatakan ini karena Ibu menyayangimu.”



Jisung harus mencoba percaya, meski air mata menggenang di pelupuk mata.


Karena di dunia ini, ia hanya memiliki Ibunya.




to be continue.

how far is it to heaven? ーminsung.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang