Jisung tak percaya ia benar-benar datang.
Rumah putih dengan lampu warna-warni keluar dari sela-sela jendela, serta suara musik bergema bocor hingga keluar rumah membuatnya semakin ragu untuk melangkah.
Tak terpikir olehnya ini adalah pesta kecil yang dimaksud Chris.
Ah, seharusnya dia tidak disini.
Namun sejatinya ia tidak merasa ia ingin pulang. Berada di rumahnya membuat dia sesak dan tercekik. Menjadikannya pergi segera setelah makan malam terkutuk itu berakhir.
Dan ia tak punya pilihan lain selain undangan Chris karena dia pun tak memiliki tempat lain untuk di singgahi dan Jisung tidak ingin mati kedinginan diluar sana.
“Datang untuk Chris?”
Suara itu membuat Jisung menoleh kaget— dihadapkannya dengan pria dengan jaket kulit hitam dan segera setelah ia menatap pria itu, aroma woody tercium begitu jelas masuk kedalam hidungnya. Begitu harum dan menenangkan.
Dia pasti adalah satu dari satu juta teman Chris.
“Uh.. Ya”
“Tidak masuk?” Tanya pria itu sekali lagi dan Jisung tak dapat memiliki kata yang tepat hingga hanya diam, mencoba menghindari bertatapan.
“Ah, ya. Aku paham. Aku juga benci pesta. Bau rokok dan muntahan alkohol membuatku sesak. Jika bukan untuk Chris— aku tak sudi datang kesini.”
Seperti dapat membaca pikiran, atau memang pria itu terlampau peka untuk membaca mimik wajah sebelum mengulurkan tangannya dengan cengiran lebar tertera pada wajah,
“Lee Minho, jurusan psikologi tahun ketiga.”
Oh. Psikologi.
Itulah sebabnya ia begitu pandai menilai orang.
Yang kemudian Jisung membalas uluran tangannya dengan ragu dan menjawab, “Jisung”
“..Jisung? Jisung saja?”
“Kamu.. bisa memanggilku seperti itu. Kenapa?”
Pemuda itu— Minho, menatapnya selama beberapa detik. “Oh, bukan apa-apa. Kamu mengingatkanku dengan seseorang”
Masih menjabat tangan Jisung, Minho kembali tersenyum sebelum melepaskan tangannya dan berkata,
“Kamu tidak akan pulang sebelum bertemu Chris, 'kan? Mau ikut denganku? Aku tahu tempat bagus. Kamu tidak akan menyesal.”
Minho berjalan didepannya, dan Jisung menaikkan alis sebelum akhirnya mengikuti seolah tak menaruh kecurigaan sama sekali. Alih-alih membawanya masuk melalui pintu depan, Minho menuntunnya melewati sisi rumah.
“Oh— wow.”
Rumah kaca dibelakang rumah Chris adalah tempat bagus yang ingin Minho tunjukan. Dan Jisung dibuat kagum karena itu terlampau indah— azalea, marigold, lily of valley, bahkan cassia yang baru saja ia hadiahkan untuk ibunya tertanam cantik. Dan yang lebih baik adalah, tidak ada orang lain disini.
“Sebenarnya masuk lewat dalam akan lebih cepat, tapi melewati kerumunan bau itu akan menyebalkan.”
Ia tak mendengarkan. Netranya sibuk mengamati, dan pemandangan itu membuat Minho terkekeh sembari mengikuti kemana Jisung pergi.
“Kamu sangat menyukai bunga, huh?”
“Tidak. Ibuku menyukainya”
“Ibumu?”

KAMU SEDANG MEMBACA
how far is it to heaven? ーminsung.
Fanfiction; i want to dieー no, i don't want to. but i don't want to live like this either. ⚠️ sensitive content. 20.07.23