Eps. 2

571 442 101
                                    

Toxic warning ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Toxic warning ⚠️

•••••••

Pada hari pertama aku masuk sekolah setelah beberapa hari libur, aku benar-benar merasa gugup akan semua. Takut terkena masalah saat di jalan atau di sekolah. Ternyata benar saja, saat aku berangkat ke sekolah, aku hampir menabrak orang lain. Entah siapa yang salah, aku tidak peduli dan yang terpenting sampai di sekolah.

“Nape lu? Baru bangun?” tanyaku pada Letta yang berada di sampingku. Mereka berdua akan menyeberangi jalan raya untuk menuju ke dalam area sekolah. “Kebiasaan banget, deh.” Aku menghela napas panjang.

“Alarm gue nggak bunyi, tolol. Males gue,” jawab Letta kesal. Kemudian, saat mereka berada di gerbang, Letta hanya menghela napas pasrah.

“Dah, ya! Jangan bangun kesiangan lagi.” Aku melambaikan tangan ke arah Letta.

Sejatinya kita berdua menduduki kelas yang berbeda. Jarak antara keduanya dari ujung ke ujung. Semenjak kita berdua duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, kita berdua tidak pernah duduk di kelas yang sama, di ruangan yang sama. Rasanya, keadilan tidak berpihak padaku dan Letta.

Tidak menunggu lama—setelah aku sampai dan duduk di depan kelas bel masuk berbunyi, sebagai tanda kelas akan dimulai. Suasana begitu ramai karena angkatan adik kelas sedang mengadakan upacara. Begitu bel berbunyi, aku langsung bangkit dari duduk dan masuk ke dalam kelas. Aku langsung duduk di kursi kelas dan menunggu yang lain datang.

Tiba-tiba Reyna membawa seorang Guru lagi. Tetapi, kini dirinya membawa sang wali kelas kita. Semua orang memanggilnya dengan sebutan Emak, panggilan itu berarti memanggil seorang Ibu-Ibu yang mulutnya berbicara tanpa jeda. Emak benar-benar cocok untuk dipanggil sebagai Emak. Sifatnya benar-benar membuat seluruh siswa kesal padanya.

Alice menghela napas kesal. “Kali ini dia membawa Emak,” bisiknya pada aku yang duduk di sampingnya. Kedua matanya tertutup dam tubuhnya menyandar ke belakang kursi dengan wajah yang pasrah. “Tidak bisakah Emak libur satu hari saja demi kepentingan bersama untuk masa depan yang cerah?” tanyanya heran.

”Sabar. Orang sabar pasti dicium Reyna,” balasku pada Alice, aku menahan tawa yang membuatnya kesusahan bernapas. Tawa itu hanya napas yang bersuara, bukan suara yang berasal dari pita suara.

“Tidak, terima kasih.”

Sedangkan Reyna yang berjalan menuju ke kursinya menatap aku dengan tatapan mata yang tajam. Sepertinya, Reyna ingin menjadikan aku sebagai samsak tinju. Kebiasaan buruknya selalu menimpaku. Namun, hal itu terjadi semenjak kita duduk di kelas dua, sudah dua tahun lamanya.

Jam pelajaran pun berlangsung beberapa jam. Pelajaran yang diajarkan oleh sang Guru dengan panggilan Emak sangat rumit untuk dipahami. Selama itu, kita satu kelas diminta ini dan itu oleh Emak. Reyna yang menjabat sebagai sekertaris tentu dibuat sangat sibuk oleh Bu Ratih. Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya jam pelajaran Emak telah usai.

Parkojon. [ Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang