Best seller
21+
Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Ex Slave ready di google play book ya. Yang biasa beli ke sana cuz😇 ___***___
Friska menyuapi Marcell yang kini sudah mulai punya selera makan. Adiknya itu kini sudah tampak segar dan tidak pucat lagi. Marcell bahkan sudah bertanya kapan bisa sekolah lagi, dan tentu saja masih memerlukan waktu yang agak lama karena masa penyembuhan. Friska tidak mau kecolongan seperti kemarin, kali ini ia akan benar-benar mengawasi Marcell hingga adiknya itu sembuh total.
Dokter Salman mengatakan, Marcell bisa pulih total asalkan mau menuruti semua saran dokter. Termasuk tidak beraktifitas melelahkan dulu sementara waktu. Meskipun terlihat mengangguk-angguk dan menurut pada dokter Salman, tetap saja Friska tidak bisa percaya sepenuhnya karena Marcell terkadang mencuri-curi kesempatan seperti kemarin.
"Kak, setelah pulang dari rumah sakit apakah aku boleh segera sekolah?" Tanya Marcell penuh semangat, membuat Friska tersenyum hangat sambil mengelus rambut adiknya itu.
"Kamu dengar kata dokter tadi, belum boleh capek."
"Tapi, Kak. Setelah pulang dari sini aku pasti sudah sehat. Sekarang aja aku sudah sehat banget. Nggak sesak napas kayak kemarin."
"Iya, tadi kakak tanya dokter lagi. Paling nggak satu minggu kamu harus istirahat total di rumah. Lalu, setelahnya boleh sekolah, tapi belum boleh ikut kegiatan ekstrakulikuler apapun. Kalau udah satu bulan dan perkembangannya bagus, baru boleh beraktifitas normal."
"Yaaaaah, kok lama banget."
"Kalau kamu membandel, nanti malah bakalan lebih lama penyembuhannya. Makanya nurut, biar sembuhnya juga cepat."
"Iya deh, Kak. Tapi, nanti kalau udah benar-benar sembuh, Marcell bisa main sepak bola kan Kak?"
"Boleh, yang penting sembuh dulu."
Marcell mengangguk kemudian segera meminum obatnya. Friska mengambilkan air kemudian menyuruh Marcell tidur usai meminum obat. Ia berpamitan pada Marcell karena harus kuliah dan mengajar les privat.
"Jika ada yang kurang nyaman, panggil suster. Mengerti?"
"Mengerti Kak."
Friska mencium kening Marcell kemudian keluar dari ruang inap adiknya. Ia berdoa dalam hati, mudah-mudahan Marcell sembuh total dan tidak lagi harus kembali ke tempat mengerikan ini.
**
"Bagaimana keadaan Marcell, sudah baikan?" Tanya Rafael saat ia dan Friska makan siang berdua di restoran mewah.
"Sudah, Raf. Marcell sangat senang karena sudah tidak sesak napas lagi. Ia juga bersemangat ingin segera sekolah. Mudah-mudahan setelah ini Marcell sembuh total."
"Itu pasti. Jika Marcell menuruti semua perkataan dokter, aku yakin dia bisa sembuh total. Aku sudah memberitahu dokter untuk memberikan pengobatan terbaik. Semua biayanya aku yang menanggung, jadi kau tidak perlu memikirkannya lagi." Ucap Rafael sambil mengiris steak-nya. Pria itu menikmati setiap kunyahannya dengan hati senang.
"Sekali lagi makasih, Raf. Aku nggak tahu lagi harus gimana kalau nggak ada kamu. Terimakasih udah peduli sama aku dan Marcell."
"Sayang, kau ini bicara apa. Aku sangat mencintaimu. Sebentar lagi kamu akan menjadi milikku. Jadi, uang berapapun tidak ada artinya untukku jika menyangkut dirimu dan Marcell." Rafael benar-benar ingin muntah mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya ia bingung, dari mana ia belajar rayuan memuakkan seperti itu.
Friska meletakkan pisaunya. Ia membenarkan kacamatanya kemudian menatap Rafael dengan tatapan bingung. Sebenarnya Friska ingin berkata bahwa ia belum siap, namun mengingat semua bantuan Rafael untuk Marcell, Friska mengurungkan niatnya untuk bicara seperti itu.
"Kenapa murung? Ada sesuatu yang kau pikirkan?" Tanya Rafael sambil memegang tangan Friska. Membuat wanita itu segera menggeleng pelan, lalu tersenyum lembut pada Rafael.
"Kalau begitu, setelah ini kita ke apartemenku. Aku punya kejutan untukmu."
"Apa, ke apartemen."
"Iya, kenapa? Ada masalah? Bukankah kau sudah sering ke sana?"
"Iya, tapi, aku____"
"Nanti saja. Jangan bicara sekarang. Kita makan, kemudian langsung ke apartemenku."
Mau tidak mau Friska akhirnya mengangguk. Ia memang sudah berjanji pada Rafael saat pria itu membantunya. Rasanya tidak adil jika Friska mengingkarinya sekarang. Lagi pula, ia sangat mencintai Rafael dan pria itu juga sangat mencintainya. Jadi, apa lagi yang membuat Friska ragu menyerahkan dirinya? Tidak ada bukan.
**
Rafael menuntun tangan Friska di sepanjang koridor apartemen. Pria itu bersiul sambil sesekali memainkan kunci mobilnya. Tidak menyadari Friska yang ada di sampingnya sudah panas dingin. Wanita itu ingin lari, tapi tidak bisa, ia takut dituduh tidak menepati janji.
Rafael membuka pintu apartemen dan mereka berdua masuk ke dalamnya. Tidak lupa, pria itu menguncinya lalu menyuruh Friska duduk di sofa. Friska menurut seperti orang bodoh. Tidak membantah apapun perkataan Rafael.
"Aku mandi dulu. Kau boleh melakukan apapun yang kau inginkan. Di dapur juga banyak makanan. Makanlah apapun yang kau sukai." Friska mengangguk, ia termenung menatap Rafael yang berjalan menuju kamarnya.
Jantung Friska tidak berhenti berdebar-debar setiap detiknya. Ia menghembuskan napas berat, kemudian mengeluarkannya kembali. Begitu seterusnya hingga ia tidak menyadari Rafael sudah ada di hadapannya dengan hanya memakai bathrobe saja.
"Kenapa melamun?" Rafael duduk di sofa, kemudian mengambil air mineral yang ada di meja dan meminumnya.
"Nggak apa-apa kok. Cuma kepikiran Marcell aja." Jawab Friska sambil tersenyum kikuk. Rafael tersenyum miring ketika Friska menunduk, gadis itu gugup, tapi berpura-pura tegar. Rafael tidak peduli, sesuai perjanjian mereka, Friska akan menjadi miliknya malam ini, suka atau tidak.
"Kemarilah, ikut denganku."
"Eeeh, kemana Raf?"
"Ikut saja, kau akan tahu nanti."
Friska berdiri, kemudian pasrah saat Rafael menuntunnya ke dalam kamar milik lelaki itu. Meskipun Friska kerap wara wiri di apartemen ini, namun membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti, sontak membuatnya gugup sekaligus takut.
Rafael menutup pintu kamarnya kemudian menatap Friska yang menunduk di hadapannya. Pria itu tersenyum miring, kemudian meraih dagu Friska agar wanita itu mendongak.
"Kenapa menunduk? Tidak usah malu, hari ini, aku akan memberikan kejutan untukmu." Rafael meraih sesuatu dari saku bathrobe-nya. Sebuah cincin, membuat Friska sedikit terkejut.
"Ini bukan cincin pertunangan. Ini cincin pengikat. Dengan memakai cincin ini, kau menjadi milikku, ini tandanya. Tidak ada yang bisa merebutmu dariku."
Friska tampak menutup mulutnya dengan tangan. Air mata wanita itu mengalir, terlihat sangat terharu. Rupanya saran Fano boleh juga, wanita itu akan semakin yakin padanya jika memberikannya cincin murahan ini.
Ya Tuhan, konyol sekali. Tapi, tidak ada salahnya seperti ini. Perempuan itu semakin percaya padanya dan tampak terharu saat Rafael memasangkan cincinnya.
"Raf, aku ___"
"Huuuus, jangan mengatakan apapun." Rafael mencium punggung tangan Friska, kemudian mencium bibir wanita itu.
Friska tampak kaku, namun berusaha rileks agar Rafael tidak jijik padanya. Rafael begitu mencintainya, memberikan cincin pengikat padanya. Apa yang membuat Friska masih ragu? Tidak ada sama sekali.
Setelah beberapa saat berciuman, Rafael mengangkat tubuh ringan Friska, kemudian membawanya ke atas ranjang. Pria itu terus mencium Friska sambil satu persatu melepaskan pakaian wanita itu.