Satu hari setelah kejadian dimana si jago merah melalap seluruh rumah kecil beserta kedua orang tua nya pun Digta terlihat masih berdiam diri di puskesmas untuk menemani sang adik yang sempat shock akibat kejadian tersebut sehingga mengharuskan si kecil Acel di rawat beberapa hari di puskesmas, itu pun hanya di rawat seadanya karena Digta tak punya uang untuk membayar biaya pengobatan sang adik di puskesmas ini, untuk membeli obat sang adik pun Digta tidak sanggup, ia hanya mengandalkan belas kasihan para tetangga dan orang-orang di sekitarnya. Beruntunglah puskesmas tersebut masih mau menampung adiknya.
Lalu bagaimana dengan rumah kecil dan kedua orang tuanya? Rumah satu-satunya tempat bernaung untuk Digta dan Arsel terbakar habis, begitu juga dengan orang tua mereka yang tak selamat. Warga bilang kedua orang tuanya sudah di makam kan dengan layak kemarin dan sekarang ini Digta hanya perlu fokus untuk kesembuhan adik kecilnya, begitulah kata orang-orang.
"Adik bangun, kita harus pergi dari sini secepatnya.." gumam Digta lirih seraya tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan yang lebih kecil darinya.
Ya saat ini Digta sedang was-was, orang-orang yang bersimpati padanya dan juga sang adik nyatanya akan membawa Digta dan juga Arsel ke panti asuhan agar ada yang bisa merawat mereka. Sebenarnya itu merupakan hal yang bagus, namun sayangnya mereka akan di kirimkan ke panti asuhan yang berbeda, jelas saja Digta menolak hal tersebut lantaran ia enggan berpisah dengan sang adik. Digta ingat, dulu ia pernah berjanji pada ayah dan ibunya bahwa ia akan menjaga Arsel dengan baik, Digta berjanji akan menjaga dan melindungi Arsel, ia juga janji tidak akan pernah meninggalkan Arsel sendirian, dan tentu Digta tak ingin mengingkari janjinya pada mendiang ayah dan juga ibunya. Digta tak ingin kedua orang tuanya kecewa dan juga Digta terlalu menyayangi adik kecilnya lebih dari dirinya sendiri.
"Adik bangun.. adik gapapa 'kan? Kenapa adik bobonya lama, bangun adik kakak takut, adik jangan tinggalin kakak juga.." air mata mengalir begitu saja di kedua pipi Digta, ia takut adiknya ini kenapa-napa padahal dokter sudah mengatakan bahwa Arsel baik-baik saja tetapi tetap saja Digta belum bisa bernapas lega karena adiknya belum bangun juga.
Hingga tak lama dari itu akhirnya kedua netra fox Arsel pun perlahan mulai terbuka.
"K-kakak.." panggil Arsel pelan.
Mendengar suara adiknya, Digta buru-buru menyeka air matanya.
"Adik bangun! Kakak disini adik!" seru Digta seraya menunjukan senyum lebarnya.
"Kakak hiks.. ayah sama ibu di dalam kak, api nya besar, Acel takut hiks.." isak Arsel yang kembali teringat kejadian tragis kemarin. Buru-buru Digta pun membawa tubuh sang adik ke dalam dekapannya.
"Stttt adik jangan takut, ada kakak disini. Ayah sama ibu emang udah ga ada, Allah udah panggil mereka. Tapi adik tenang aja ada kak Digta disini, kakak janji akan selalu menjaga dan melindungi adik, jadi adik jangan takut ya," ucap Digta bak orang dewasa yang pada nyatanya ia hanya bocah 10 thn yang juga sama takutnya dengan sang adik juga masih butuh perlindungan orang dewasa.
"Kakak jangan pergi ya, jangan tinggalin Acel hiks.."
"Kakak janji, kakak ga akan ninggalin Acel. Sekarang lebih baik kita pergi dari sini, Acel udah ga apa-apa kan?"
Arsel menggeleng pelan, "pergi kemana kak?"
"Kemana aja yang penting ga disini, orang-orang mau misahin adik sama kakak jadi kita harus pergi dari sini ya.."
•
Hari semakin larut namun hujan masih senantiasa mengguyur kota besar ini. Terlihat ada dua anak kecil yang masih berkeliaran menyusuri jalan di bawah kolong jembatan. Kedua kaki mungil mereka terus melangkah tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ya, siapa lagi kedua anak tersebut kalau bukan Digta dan sang adik Arsel.