TIGA

42 6 0
                                    

Angkringan Mpok Lala yang letaknya di pinggiran kota nampak begitu ramai didatangi anak-anak muda yang kebanyakan masih mengenakan seragam sekolah. Selain sedap, harga yang dipatok sangat amat sesuai dengan kantong para pelajar. Meski begitu, di malam hari banyak orang-orang kantoran datang mengisi perut.

"Gimana? Sudah dapat kabar dari pihak produksi belum?"

Dara mencomot setusuk sate jeroan, makanan kesukaannya sejak masih orok. Diperhatikannya wajah sendu Cemara yang duduk berhadapan dengannya. Gadis itu seketika berubah lesu ketika Dara menyinggung perihal dating show yang sepertinya akan gagal ia bintangi.

"Belum ada sms, telepon, bahkan e-mail masuk. Kayaknya gagal lolos verifikasi berkas. Mereka pasti cari talent yang punya kerjaan keren, yang wajahnya cantik atau ganteng berkat perawatan mahal. Lah gue? Udahlah sehari-hari pakai skincare murah, pengangguran lagi."

Cemara mengaduk-aduk limun jeruknya yang masih penuh dengan putus asa. Benar apa yang Bapaknya katakan, kalau jadi aktris itu butuh yang namanya hoki— selain cantik dan punya koneksi. Teman SD-nya yang dahulu sering membintangi sinetron sebagai anak protagonis tiba-tiba menghilang dari layar kaca. Sewaktu reuni, ia berkata bila tak ada satupun sutradara yang mengontaknya setelah usianya melewati angka dua belas.

"Yah ... sepertinya harus diikhlaskan, Ra. Nanti gue kabari lagi kalau ada info casting dari Gemma. Namanya bukan rezeki, jadi gak usah dibawa sedih."

Rasanya sayang bila Cemara tak dapat menggenggam dating show yang akan tayang di Netflix ini. Sepengetahuannya, semua dating show garapan platform streaming merah selalu sukses besar. Contohnya, Single Inferno dari Korea Selatan.

"Eh, Rinjani serius mau menikah? Gue kaget bukan main pas denger kabarnya."

Dara mendengar kabar Rinjani yang akan segera menikah dari suaminya, camat sekaligus atasannya Dito. Malam itu, Alam—suami Dara—bercerita bila salah satu bawahannya ada yang hendak melepas masa lajang. Betapa terkejutnya saat Alam bilang bila adiknya Cemara adalah calonnya.

Cemara mengangguk, dua kali lebih lesu dari sebelumnya. "Lo tahu, Dar? Kata Bapak, sebenarnya Ardi— eh Dito, niatnya mau dijodohin sama gue. Tapi, karena Jani suka sama Dito, jadi mereka berdua yang dinikahkan," jelasnya.

"Memangnya si Dito-Dito itu juga cinta sama Jani? Awas loh ... jangan main nikah-nikah saja. Banyak pernikahan yang gagal karena perjodohan."

"Udah gue peringati, tapi yah ... lo tau sendiri gimana keras kepalanya Jani."

Disaat keduanya tengah asyik berbincang, membahas pernikahan Rinjani yang terkesan mendadak, tiba-tiba ponsel Cemara berbunyi nyaring. Suara cempreng Donald bebek mengundang atensi para remaja yang duduk tak jauh dari mereka.

"Lo belum juga ganti ringtone hape?"
"Lupa, Dar."

Cemara melihat jejeran angka di layar ponselnya. Tak bernama, berarti keduanya tak saling kenal. Biasanya, nomor-nomor asing ini kebanyakan milik komplotan penipu. Terakhir kali ia menerima panggilan dari seorang bandit yang mengaku sebagai polisi, memberi informasi bila anaknya ditahan karena kasus narkoba.

"Siapa?"

"Gak tahu. Nomornya gak gue simpan. Huh, ini mah pasti penipu. Kapan sih aparat memberantas semua tukang tipu di Indonesia?"

Cemara mengabaikannya. Alih-alih menerima panggilan, tangannya justru meraih satu tusukan sate telur puyuh. Belum habis sate dalam genggaman, ponselnya lagi-lagi berbunyi. Suara Donald bebek yang khas itu kembali terdengar.

Sebatas REKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang