Seorang Wanita dan Buku Tak Bertinta

2 1 0
                                    

Pada suatu waktu, hiduplah seorang wanita di tengah lebatnya hutan yang rimbun. Jauh dari keramaian manusia, bersama dengan para burung yang terkadang datang menjenguk. Ia tinggal di dalam rumah yang cukup mewah, tempat di mana ia terbangun dan tertidur setiap harinya, tanpa pernah menginjakkan kaki keluar pagar. Meskipun begitu, wanita itu tidak mengharapkan perubahan. Ia nyaman dengan hidupnya di tengah kesunyian alam.

Wanita itu senang menulis, pun senang membaca. Ia hidup ditemani oleh buku-buku yang dikoleksinya. Beberapa ditulis oleh orang yang tak ia kenal, namun beberapa merupakan ciptaannya. Setiap kali ia bosan, akan diambilnya sebuah dan dibacanya dengan tenang. Dan setiap kali ia mendapatkan cahaya, akan diambilnya sebuah bersama dengan pena yang akan menorehkan tinta pada kertasnya.

Tak ada yang aneh dalam hidupnya, atau begitu pikirnya hingga ia menemukan sebuah keganjilan.

Di suatu malam yang sunyi, wanita itu mengambil sebuah buku yang belum pernah dibacanya dari dalam lemari. Sampul luarnya berwarna hitam pekat, berbeda dari buku-buku lainnya yang dipenuhi ornamen emas. Tak ada tulisan terukir pada sampulnya, di baliknya, pun halaman awalnya. Ia bahkan tak ingat pernah menaruh buku ini di sana.

Rasa penasarannya membuat ia memindai keseluruhan bagian dalam buku itu. Aneh, batinnya ketika semua yang dilihatnya merupakan kertas bersih tak bertinta. Dengan jelas diingatnya bahwa lemari dihadapannya dikhususkan untuk buku bercetak, bukan buku kosong yang lambat laun akan diisi olehnya. Kini ia mempertanyakan sendiri ingatan yang semula dibanggakannya.

Wanita itu tak mempermasalahkan hal itu lebih lanjut. Dibawanya buku bersampul hitam itu menuju meja di samping jendela, tempat dimana ia biasanya bekerja. Ia pun mencoba menorehkan tinta di atasnya, namun tak bisa. Ia coba lagi dengan cara yang sama, tetap tak bisa. Begitu pula saat ia mencoba dengan alat tulis lainnya, tetap tak ada yang muncul di permukaan.

Buku apa ini? Pikirnya kebingungan.

Wanita itu tak tahu jawaban dari pertanyaannya barusan. Ia menyerah untuk berpikir dan berniat untuk menyelesaikan harinya segera. Ia kembalikan buku itu ke tempat semula agar dapat dilihatnya lagi di lain waktu, tanpa ia tahu bahwa buku itu akan menjadi awal dari goncangan dalam hidupnya.

***

Gasp!

Keringat mengucuri dahi dan menetes ke atas selimut, membanjiri seluruh bagian dalam baju hingga menempel pada kulit, membasahi rambut hingga helainya menempel satu sama lain, dan rembesannya pun membekas pada bagian yang tersandari.

Napasnya tersengal cepat. Udara yang keluar dari rongga hidung dan mulutnya terasa panas. Dengan kuat ditariknya kembali oksigen dari udara agar tubuhnya cepat tersadar. Sayang, baru saja ia terbangun namun sudah merasa lelah lagi karenanya.

Tangannya terjulur lemah, tampak bergetar dengan sendirinya. Tremor tampaknya, sebuah kejadian yang tak dapat ia kendalikan. Ia bolak-balikkan keduanya yang juga lembab berkeringat, untunglah tak ada dari mereka yang terasa baal. Sungguh, hal ini bukanlah sesuatu yang umum terjadi padanya.

Glek. Glek. Air dalam gelas dari meja samping ranjang dihabiskannya dalam satu waktu.

Ia duduk di tepi kasur, dengan tangan terkumpul di hadapan saling menenangkan satu sama lain. Masih terputar di kepalanya kejadian yang baru saja disaksikannya tadi.

Seseorang, dengan rantai mengikat leher dan keempat ekstremitas. Tak dapat bergerak, maupun berpindah tempat. Jika memaksa, akan dihukum dengan hebat. Semakin lama ia berada di sana, semakin panas dadanya terasa. Sayang, mulutnya tak bisa berteriak dan suara pun tak bergema.

Wanita itu segera bangkit menuju meja, mengambil sebuah buku catatan miliknya beserta pena dan tinta, lalu mulai menuliskan hal-hal yang masih dapat diingat olehnya sebelum terlupa.

"Ugh ... Ugghhh! Urkk!!! Lepaskan rantai ini! Lepaskaaan!" teriaknya berulang kali.

Matanya beralih menuju ujung rantai yang mengikat. Tampak terpasang kuat, namun sedikit lebih longgar dibanding sebelumnya. Dengan ini sudah jelas bahwa usahanya melarikan diri tidak begitu sia-sia. Meskipun perlu ribuan kali mencoba, ia pasti dapat terlepas dari rantai yang mengikat apabila ia terus berusaha.

Sayangnya, rasa sakit dari listrik yang menyerang tetap tidak berkurang. Berkali-kali ia menggeliat, kali yang sama pula ia kembali ditundukkan. Seperti ada mantra yang menahannya untuk keluar, entah apa alasannya. Orang itu tetap tidak menyerah, terus menarik kaki dan tangannya agar rantai segera terlepas. Namun, rasa sakit di jantungnya itulah yang membuat koneksi mereka terputus sepihak, ketika wanita itu sudah tak tahan lagi atas rasa nyeri yang diterimanya.

Ia kembali duduk bersandar pada punggung, melihat bulan dari balik jendela kamar yang disembunyikan oleh awan hitam gelap.

Ia kembali terlelap tanpa sadar.

"Ugh ... Ugghhh! Urkk!!! Lepaskan rantai ini! Lepaskaaan! Gyaaa!!!" teriaknya untuk kesekian kali.

Aliran listrik itu lagi-lagi menusuk jantung. Rasanya tetap sakit, meskipun sudah berkali-kali dialami. Namun, rasa sakit ini tak akan mencegahnya untuk lari, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh pemilik tubuh ini.

Matanya terbuka lebar, senyum tipis tergambar pada bibirnya saat mengetahui bahwa salah satu tangannya terkulai sedikit lebih lemas. Diliriknya salah satu ujung rantai yang perlahan mulai longgar. Bagus! 100 kali lagi dan aku akan terlepas! batinnya. Entah darimana ia mendapatkan hitungan tersebut, namun hal itu cukup untuk menjaga determinasinya agar tetap kuat.

Ia menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk menggeliat.

"Ugh! Urgh! Urrkkk!!! Lepaskaaan!" teriaknya keras dengan tangan dan kaki yang ditariknya kuat. Sebagai hasilnya, rantai sisi kanan sedikit melonggar.

"Lagi!" teriaknya menyemangati diri. "Ugh! Urrrghh!!! Urrkk– Kyaaa!!!"

Aliran listrik menghentikannya. Napasnya terhenti sesaat. Tanpa menghabiskan banyak waktu, ia kembali menarik kaki dan lengannya secara paksa. "Le-pas-kaaannn! Kyaaa–!"

Jantungnya berhenti. Wanita itu kembali.

Ia terbangun di atas kursi. Dibanjiri keringat, tangan yang bergetar, dan detakan cepat dari jantung yang dapat terdengar di telinga. Ia sangat terganggu dengan hal yang baru saja dialaminya. Buru-buru ia tuliskan hal tersebut pada buku yang sama di atas meja, yang lambat laun diketahui bahwa ia mengalami mimpi yang persis sama dengan sebelumnya, bahkan terbangun pada momen yang sama pula.

Tak hanya kisah alam bawah sadarnya saja yang sama, pemandangan di luar pun masih tampak sama. Langit berwarna gelap dengan gemerlap bintang menghiasi malam, beserta bulan yang cahayanya sedikit tertutup awan. Malam masih panjang.

Wanita itu bangkit dari kursi, berniat untuk mengambil cairan pelepas dahaga beserta camilan-camilan ringan dari tempatnya tersimpan. Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar, ketika ia mendengar gemerincing halus dari tempat yang tak wajar. Bunyi itu berasal dari dalam lemari buku yang telah ditutup rapat.

Tak sulit untuk menemukan asal sumber suara, sebuah buku bersampul hitam kini memancarkan sinar emas dari salah satu lembarannya.

***

Ingatkah ia tentang buku tak bertinta? Entahlah, sudah lama buku itu tak dipegangnya. Tidak ada yang bisa dilakukan kepadanya, sehingga tak ada alasan baginya untuk memeriksanya ulang. Wajar bila ia tak tahu sesuatu telah berubah.

Kini, sebuah halaman terbuka lebar. Satu kalimat sederhana yang entah apa maksudnya telah tercetak di atasnya. Tak ada yang tahu kapan terjadinya, juga tak ada yang tahu apa pencetusnya. Satu-satunya petunjuk adalah tulisan yang kini sudah bisa dibaca.

"Ia mencoba untuk bebas," begitu katanya.

End.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seorang Wanita dan Buku Tak BertintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang