Akhir-akhir ini Adhira terlalu fokus pada seseorang, selalu mengamatinya dalam kondisi apapun. Dia lupa bahwa dirinya juga perlu diperhatikan, apakah senang dalam kegiatannya? Apakah dirinya lelah? Apa sedihnya terlalu mendalam?
Karena demi apapun, saat sedih Adhira pendam sendiri, marah dia telan sendiri, lelah dia selalu bangkit sendiri. Jadi, saat kondisi jiwanya sedang berantakan, dia bahkan masih tidak berhenti untuk terus mengejar yang tidak pasti.
Walau hatinya selalu dipatahkan lagi dan lagi, tapi tubuh ini selalu bergerak mencari sosoknya yang paling mencolok. Walau terkadang air matanya mengalir terus-menerus, namun tidak memungkiri tatapnya memendar untuk selalu menemukan objek yang dicari.
Adhira lupa kapan terakhir dirinya sebahagia ini, kapan terakhir senyumnya terbit secerah ini. Dibawah oranye dan indahnya mega di sore hari, dia ditarik ke bibir pantai oleh Riana. Merasakan malu-malunya ombak menerpa kakinya yang mulus.
Memandangi terbenamnya matahari diujung lautan, Adhita merentangkan tangan dengan angin yang menerpa wajah. Rambutnya yang sepunggung dan tergerai beterbangan, matanya yang semula memandang matahari kini terpejam. Kapan terakhir kali Adhira merasa setenang ini?
Semua masalah yang memenuhi kepala seketika tersingkirkan oleh rasa tenang dan nyaman. Tidak ada bayangan Yasa yang membuatnya selalu berharap saat mereka sedang bersama, tidak ada Mira yang membuatnya merasa tersaingi. Tidak ada. Semuanya tentram dan damai.
Jauh dari hiruk pikuk kota, udara yang Adhira sedang hirup itu terasa jauh lebih segar saat memasuki dadanya. Ketenangan seolah menyelusup, hadis di sana untuk menghapuskan berbagai macam kesedihan.
Hidup seperti ini yang selalu dirinya damba, ketenangan ini yang harus dia bawa saat kembali ke kota. Senyum itu tidak pudar saat menyaksikan terbenamnya matahari dengan menyisakan indahnya senja. Wajah itu terpancar oleh redupnya senja. Dari belakang, Riana memotret dengan sengaja, sepupunya sangat cantik dan dia mengakui itu.
Adhira menoleh kebelakang, menyaksikan Riana yang sedang memotret pemandangan indah di depan mereka. Gulungan ombak terlihat sangat cantik berlatarkan garis-garis oranye abstrak.
Sudah mulai petang, Adhira kembali menuju selembaran kain yang dibawa Riana dan dibentangkan di atas pasir sebagai alas tempat duduk mereka. Ada keranjang rotan di atasnya, berisi beberapa cemilan yang mereka beli sebelum datang ke sini.
"Gimana?" Tanya Riana saat Adhira baru saja duduk.
Adhira menoleh. "Apanya?"
Riana mengambil wafer, memakannya dengan santai. "Udah tenang? Lo ada masalah, kan?"
Adhira terdiam sebentar, Riana memang yang paling tau dirinya. Sedikit saja Adhira memperlihatkan gelagat aneh, maka gadis dengan suara merdu itu pasti akan mencurigainya. "Gak terlalu rumit kok."
"Yasa, lagi?"
Lagi? Iya, bukan pertama kalinya mereka seperti ini. Sebelumnya, Adhira sudah sering mengajak Riana healing tiba-tiba. Seperti biasa, untuk menenangkan pikirannya dari rasa sakit yang cowok itu torehkan.
Adhira cemberut, matanya sudah berembun, air berdesakan keluar. Lalu, bibirnya memulai cerita, dia memberitahu segala hal yang dialaminya saat camping kemarin. Dari keraguannya untuk ikut, sampai dia satu tenda dengan gebetan crushnya sendiri. Semua Adhira ceritakan dengan baik, tangisnya sudah tumpah ruah. Dia menahannya sejak tadi, tapi terlalu malu pada Riana.
Riana mengerti, dia menepuk-nepuk pundak sepupunya. Kisah cinta tragis yang dialami Adhira sangat menyakitkan bagi gadis yang tidak pernah pacaran. Adhira pertama kali jatuh cinta sosok sosok yang sulit di gapai, tidak, harusnya mudah. Eh, tapi Riana tidak tau sih.
Namun, keputusan Adhira yang memilih untuk menyimpan rapat-rapat perasaannya itu salah menurut Riana. Untuk apa, menyakiti diri sendiri kaya gini? Gumam Riana dalam hati. Jika memang jatuh cinta, ya ungkapkan. Bukan tidak mungkin kita akan mendapat balasan cinta yang sama, namun jika tidak ya tidak masalah, kan?
Silahkan menangis, tapi setelah itu selesai. Move on dan cari yang baru. Tidak seperti Adhira yang selalu tersedu-sedu tiap kali crushnya memiliki gebetan baru. Yang membuat Riana heran adalah, kenapa Adhira betah sekali menyimpan perasaanya. Apa cewek itu tidak lelah? Lagipula, mengungkap perasaan tidak sesulit menolong korban sunami, kan?
Apalagi yang mau dipertimbangkan?
Soal ditolak, itu urusan belakangan. Yang penting kan sudah berani menyertakan cinta, itu sudah lebih cukup kalau menurut Riana. Dirinya yang hobi sat-set urusan cowok, merasa lelah sendiri melihat tingkah Adhira.
Lelet!
Udah gitu, cengeng!
"Yang sabar aja, pilihan Lo juga kan untuk menjadi secret admirer. Terima sendiri konsekuensinya, udah tau Yasa Deket tinggal gapai loh Dhi. Apa susahnya sih, heran?!"
Riana jadi emosi sendiri, bagaimana tidak, Adhira dan Yasa selalu sekelas dari kelas X sampai kelas IX ini. Tapi, yang selalu Riana dengar adalah keluhan dari Adhira yang tiada habisnya. Yasa dekat dengan cewek inilah, cewek itulah. Riana mau memberi solusi juga tidak akan diterima mengingat kekeraskepalaan sepupunya ini.
Adhira mengusap sisa air matanya dipipi, dia melihat langit yang sudah sepenuhnya gelap. Lampu-lampu yang menghias disepanjang pantai terlihat sangat cantik, matanya melirik ponsel yang menyala. Pesan Ibu Mela terlihat di sana, menyuruhnya untuk segera pulang.
***
Adhira merebahkan diri di kasur, dia telah selesai melakukan ritual malamnya-mandi, sikat sikat gigi, dan skincarean. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya, sesak didadanya sudah sirna walaupun masih menyisakan rasa sedih.
Harapannya pada Yasa terlalu tinggi, jadi saat jatuh sangat terasa sakitnya. Dan Adhira menyesali itu. Sikap baik yang kerap kali Yasa tunjukkan padanya, bukankah itu wajar dilakukan seorang teman?
Membantunya menyiapkan jagung untuk dibakar, apa yang spesial? Soal tangannya yang dilingkupi tangan Yasa itu karena dirinya terlalu lemah, sehingga harus dibantu. Pemberian bunga Tulip kuncup yang sekarang sudah sepenuhnya layu itu? Itu juga tidak aneh, Yasa sudah memberikannya terlebih dahulu pada gadis yang cowok itu sukai. Lalu ditolak, wajar Yasa memberikan itu padanya karena sayang kalau dibuang.
Lalu, hal romantis apa yang Yasa lakukan padanya? Menyelipkan bunga ke telinganya? Itu juga tidak aneh, dirinya bahkan sering mendapati teman kelasnya melakukan yang sama sebagai bentuk candaan.
Sebego apa sih dirinya memaknai sikap Yasa selama ini? Padahal kalau dipikir-pikir, semuanya wajar dilakukan teman pria ke teman wanita. Biasa saja harusnya, tidak usah baper.
Sial, emang gue yang terlalu berharap. Maki Adhira dalam hati.
****
13-2-2024
KAMU SEDANG MEMBACA
ADHIRA (Revisi)
General Fiction"Walaupun menyukaimu secara diam-diam sangat menyakitkan, tapi mengutarakan perasaan justru membuat hatiku seperti dipukul palu godam." -Adhira Kusumaputri *** "Tolong katakan jika Lo lelah, karena gue siap menjadi vitamin yang membuat Lo kembali be...