15. Dari Jauh

760 89 2
                                    

"Den Satya, nggak mau pindah ke kamar aja tidurnya?"

Satya terbangun mendengar suara panggilan lembut dari Bibi Irmah. Perlahan dia mulai mengerjapkan matanya. Kepalanya masih bertumpu pada lengannya yang dia letakkan di atas meja pendek ruang belajar. Menyadari bahwa dia ternyata ketiduran, Satya langsung menarik tubuhnya ke posisi duduk tegak.

Dia menghisap napas tajam saat serangan rasa sakit menusuk bagian rusuknya karena pergerakan cepat tersebut. Kepalanya terasa seperti baru saja diputar-putar. Wajahnya mengernyit seraya dia menahan rasa sakit yang sontak menyebar ke seluruh tubuhnya. Matanya terpejam erat. Dia terdiam di posisi yang sama selama beberapa detik sampai dia dapat bernapas dengan normal lagi.

Satya melihat sekitarnya. Dia masih berada di ruang belajar. Namun Nara...

Nara tidak ada di sana.

Dengan panik, dia langsung menoleh ke arah Bibi Irmah yang memperhatikannya dengan wajah cemas.

"Bi, Nara... Nara di mana?" tanyanya terburu-buru.

"Non Nara udah pulang 2 jam yang lalu," jawab Bibi Irmah. "Katanya dia nggak enak ngebangunin Den Satya. Tapi Non titip salam kok."

Satya memejamkan matanya dan menarik napas dalam.

Dia tertidur? Bisa-bisanya.

Dia mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja. Tangan satunya lagi terus memegangi rusuknya yang masih menyisakan sedikit rasa perih. Melalui layar ponselnya, dia melihat pesan dari Nara.

Narami

| Sat, makasih buat hari ini!
| Buku soal lo gue pinjem yah
| Maaf pulang nggak pamit :")
| Gue nggak enak bangunin lo
| Jangan lupa jaga kesehatan ya!
| Ngambis boleh banh, tp jgn
sampe sakit okeh?

Satya tersenyum kecil membacanya. Seketika dia merasa sedikit lebih tenang karena Nara ternyata tidak merasa kesal.

"Den Satya, sebaiknya saya obati dulu, ya? Kalo nggak, nanti makin parah," kata Bibi Irmah, khawatir.

Satya ingin menolaknya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuhnya sedang berteriak sakit dan Bibi Irmah memang benar. Jika tidak diobati, lukanya akan semakin parah. Punggung dan rusuknya adalah area yang paling rawan. Setelah lama menimbang, dia pun akhirnya setuju dengan tawaran Bibi Irmah.

Keduanya pindah ke kamar Bibi Irmah di lantai bawah tempat sang bibi biasa menyimpan segala peralatan medis.

Satya dipersilakan untuk duduk di tepi kasur wanita itu.

"Mama udah pulang?" tanyanya.

Bibi Irmah mengangguk. "Udah. Baru aja beberapa menit yang lalu. Den Sean seneng banget kayaknya."

Mata Satya langsung berbinar. Dia tersenyum tipis. "Sean pasti ketemu temen-temen terapinya lagi, ya?"

"Tau aja, Den." Bibi Irmah tertawa. Wanita itu sudah membawa box medis di atas kasur. "Bajunya dibuka dulu ya."

Satya melakukan apa yang dimintanya. Kaos lembut lengan panjang berwarna biru tuanya pun dia lepas.

Itu bukan pemandangan yang layak dilihat. Bukan hanya satu, namun tiga memar biru besar dan lima kecil. Luka goresan hasil cambuk lidi yang tipis tertera pada bagian dalam tangannya seperti cakaran harimau. Beberapa di antaranya sudah sembuh dan tinggal bekas, namun beberapa lainnya baru diterimanya beberapa hari yang lalu sehingga masih segar. Bagian punggungnya adalah yang paling sering menjadi sasaran cambukan ayahnya.

Bahkan kenyataannya, kemarin malam dia baru saja menerimanya lagi.

Satya sendiri tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya-menahan rasa perih dan nyeri sepanjang sekolah. Ada satu atau dua waktu di mana dia kesulitan untuk fokus, namun sisanya, dia menutupinya dengan baik.

To the Moon and Back [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang