Mendengar Suara Layang-layang

21 7 5
                                    

Sekitar tiga bulan yang lalu aku baru menyadari bahwa tempat itu bukan sekedar Pondok Pesantren. Tempat itu adalah rumah. Rumah ke sekian ku.

Memang di sana banyak hal yang membatasi kesenangan kami sebagai seorang remaja. Dilarang keluar -meski aku sebenarnya juga jarang keluar rumah, lebih suka menonton tv, itu sebelum  memerlukan set top box - dilarang memegang hp kecuali Jumat itu pun antreannya mengular panjang, dilarang membaca novel dan komik, dilarang ini dan itu.

Belum lagi beberapa kewajiban mengikat jiwa muda kami yang lagi susah-susahnya diatur. Wajib sholat berjamaah, setor bacaan Al-Qur'an ke Pengasuh dua kali sehari, tadarus dua juz setiap selesai sholat Magrib, kadang puasa sunnah tertentu saja wajib atas kami (para santri), huh.

Aku tak akan membahas apa yang akan kami dapat di kemudian hari setelah taat kepada semua hal. Toh, aku pribadi kadang melanggar satu-dua peraturan. Aku hanya akan berterima kasih atas segala hal menyenangkan dan lucu selama di sana. Aku punya banyak teman. Aku bertukar cerita hampir di setiap malam. Kalau besoknya tanggal merah malah bisa sampai dini hari. Padahal tepat pukul sepuluh malam seksi keamanan akan menekan bel, bel persiapan istirahat. Lima belas menit kemudian bel ke dua, bel bisu, sesuai namanya kita tidak boleh bicara kecuali sambil ngabab¹. Oh ya,
sebagian besar dari kami punya pas foto entah selebritis idola atau crush, bahkan ada yang sampai punya album photo, yang biasanya dilihat bergilir sepondok. Bagaimana lagi kami tidak bisa membuka Instagram sewaktu -waktu.

Semua itu begitu manis dikenang. Bahkan hal-hal menyedihkan, melelahkan, menegangkan, memantik emosi, semuanya, manis dikenang.

Sore tadi aku resmi meninggalkan Pondok Pesantren itu, alias rumah ke sekian ku. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri bahwa akan mengunjunginya saat libur kuliah. Ada beberapa janji pada mereka yang belum akan tetapi masih bisa untuk ditepati.

Sekarang aku di sini. Di kamar ku (yang sesungguhnya). Sibuk dengan pakaian-pakaian yang aku bawa dari Pondok Pesantren. Saat mengemasnya tadi aku memang sedikit buru-buru, asal lipat sambil mengobrol dengan teman-teman, meski rapi namun tidak sesuai dengan ukuran lipatan pakaian yang ada di lemari kamar ini.

Omong-omong soal pakaian, aku mendapat dua kerudung motif, sarung batik, dan baju kain katun dari teman-teman Pondok ku. Bukan barang baru memang, tapi masih sangat layak dipakai, dan poin pentingnya adalah sebagai kenang-kenangan.

Aku juga sempat memberikan beberapa barang ku ke pada beberapa teman di sana. Sebut saja beberapa buah hanger, sepatu sekolah ku, dan dompet —kebetulan aku punya dompet baru, sovenir acara pernikahan teman SD ku, iya, sedini ini ia telah menemukan jodohnya. Semoga meksi bukan barang-barang baru lewat perantara itu mereka sering mengingat ku. Berhubung tidak semua orang mendapatkan barang dari ku maka aku juga berdoa semoga semua yang ada di sana tetap mengingat ku, kalau perlu sesekali merindukan ku.

Ibu masuk kamar. Aku bingung harus mempersilakan duduk di mana. Lihat, ranjang tidur ku dipenuhi pakaian, beberapa puluh detik lalu memutuskan mengeluarkan seluruh pakaian yang ada di lemari. Menata ulang sekalian memilih mana yang bisa ku pakai selama di perantauan nanti —selain baju-baju baru.

“Kamu sedang apa?”

Aku menoleh kemudian mengerutkan dahi, apalagi yang akan ku lakukan, Bu?

“Kenapa semua baju kamu keluarkan dari dalam lemari?”

“Diang menata ulang semua. Sekalian memilih mana yang akan Diang bawa kuliah.”

“Bagus. Ada yang bisa Ibu bantu?”

“Tidak, Bu. Terima kasih."

Ibu pun keluar —karena mau duduk di mana juga.

Dua jam berlalu aku baru selesai. Setengah sepuluh malam. Aku belum mengantuk. Di Pondok Pesantren aku biasa tidur pukul setengah sebelas. Tapi tidak masalah. Aku bersiap tidur.

Hai, Saya DiangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang