Bebek dan Telur

11 0 0
                                    

Seperti yang ku bilang. Hukum relativitas waktu.

Setelah mengetahui informasi PBAK maju tujuh hari dari rencana awal, hari terasa bergulir cepat. Tepatnya begitu cepat. Sekarang bahkan telah berlalu lima hari sejak aku membaca informasi itu. Tanggal enam Agustus. Itu artinya besok aku harus pergi ke ibukota provinsi. Besok tepat seminggu sebelum PBAK, sesuai himbauan Kating Rahmat.

"Mbak!"

Adik memecah lamunan ku.

"Eh. Apa?"

"Mbak ambil jurusan apa, Hukum Keluarga Islam? Itu apa sih? Belajar apa?"

Aku sejak empat puluh menit yang lalu berada di Pondok Pesantren tempat adik ku menimba ilmu. Bukan Pondok Pesantren yang sama dengan ku. Letaknya mungkin hampir sembilan kilometer barat daya rumah. Kalau Pondok Pesantren ku selisih satu kilometer lebih dekat, tapi ke arah barat laut.

Ini ide Ibu. Meski juga terbesit di benakku. Aku mengantar ibu sambang Adik di Pondok Pesantren nya, perpisahan kecil dengannya karena aku hendak merantau, yah meskipun sejak aku mondok empat tahun lalu kami sudah akrab dengan jarak. Satu lagi, sekaligus merayakan ulang tahun ku. Tepat hari ini.

"Mbak belum tahu pasti, Dek."

"Lulus kuliah jurusan itu kerja apa? Eh, e, bukan maksud ku bilang kalau kuliah itu untuk cari kerja. Tapi kan alangkah baiknya kalau kita bekerja di bidang yang betul-betul kita kuasai. Kan di kuliah belajar suatu ilmu secara spesifik."

Adik ku terdengar buru-buru membenahi kalimatnya. Aku tersenyum melihatnya. Lihat, dia sudah cukup matang dalam berpikir. Walau sekedar mengungkapkan pendapatnya bahwa kuliah memang bukan untuk mencari kerja, tapi perantara kuliah kita bisa menjadi spesialis dalam suatu bidang, maka akan sangat bijaksana bila kita bekerja pada bidang yang kita kuasai ilmunya, matang kan berpikirnya.

Ibu sedang tidak bersama kami. Lima menit lalu pergi ke kamar mandi, belum kembali. Mungkin sebentar lagi. Maka dari itu tidak ada yang mengomel saat Adik kedapatan bicara sebelum sekotak nasinya habis, sekalipun yang di mulut sudah tertelan sempurna tetap saja pantang bicara dulu.

"Bisa bekerja di KUA, sama apa ya, aku kurang paham."

"Terus kenapa ambil itu?"

"Aku tahu dari salah satu guru ku, di HKI belajar Ilmu Mawaris. Aku tertarik. Lagian nama jurusannya se-bersahabat itu sih. Aku tertarik lah. Seolah nanti semua lulusannya punya keluarga Islami yang rukun, dan damai. Berangkat dari keluarga mereka sendiri bergerak memperbaiki tatanan keluarga masyarakat di sekitar nya agar sama-sama Islami, rukun, dan damai. Tidak ada lagi broken home di dunia ini."

Adik ku dengan polosnya bilang aamiin, aamiin, dan aamiin.

Adik ku siap entah menimpali, bertanya, atau bercerita, aku menyadari karena mulutnya mulai terbuka. Stop! Aku memberi isyarat, menaruh telunjuk tangan kanan ke bibir ku sendiri. Aku melihat Ibu sekitar seratus meter di belakang punggung Adik. Mengarah ke kami. Sudah selesai buang hajat.

Adik memahami kode ku. Ia lanjut makan. Kali ini gerakan menyendok nya lebih teratur. Bukan sebatas mengelabui ibu, masakan ibu kali ini selain enak -seperti biasa- juga spesial karena nasi kuning, siapa pun akan lahap.

Sudah jadi adat keluarga kecil kami, tiap kali salah satu anggota berulang tahun ibu memasak nasi kuning. Termasuk ketika Ibu sendiri yang berulang tahun.

"Kasihan aku, aku memasak nasi kuning ulang tahun ku sendiri. Sementara Ayah, Mbak, Adik, saat kalian ulang tahun aku memasakkan nasi kuning untuk kalian."

Ibu pernah bergurau demikian. Tepatnya saat ulang tahun ke-37 Ibu. Saat itu aku masih kelas lima, sementara Adik kelas TK A. Ayah, meski tidak penting betul menyebut usia beliau saat itu, tetap akan ku sebut, 39 lebih tiga bulan tepat. Itu jika orang tua Ayah tidak asal pilih tanggal dan bulan. Ayah kan tinggal di desa, tahun 1975 orang desa mana peduli tanggal dan bulan lahir anaknya dalam kalender Masehi, yang penting adalah mencatat hari dan pasaran, tahun (hanya tahun) Masehi nya, dan tentunya tanggal dan bulan berdasarkan kalender Hijriah nya. Maka saat pemerintah mulai melakukan tertib administrasi dalam banyak hal, termasuk data kelahiran penduduk (mencakup tempat dan tanggal lahir dalam kalender Masehi), penduduk desa pun mengarang tanggal dan bulan lahir mereka, juga anak-anak mereka. Meski dengan tanggal bulan Hijriah yang mereka catat mereka bisa mengonversikan ke tanggal versi kalender Masehi, sih, ah tapi mana mau ribet-ribet menghitung. Mungkin ada yang mau. Satu dari seribu.

Jadi panjang kan urusannya. Kembali ke gurauan Ibu di hari ulang tahun ke-37 beliau.

"Itu adil. Kan saat Adik memecahkan piring dimarahi Ibu, saat Mbak memecahkan piring dimarahi Ibu, saat Ayah memecahkan asbak dimarahi Ibu, saat Ibu sendiri yang memecahkan piring atau benda lain tidak ada yang berani memarahi Ibu. Ini balasan kecil kami."

Adik ku tanpa dosa menimpali demikian. Bukannya marah ibu tertawa. Ayah juga. Aku? Jelas ikut tertawa, terpingkal-pingkal malah. Sampai-sampai sedikit hilang kendali, menyenggol piring ku, beberapa butir nasi bewarna kuning jadi tercecer di lantai. Untung piring tak sampai pecah, kalau tidak bisa kena marah Ibu sesuai perkataan Adik barusan.

Omong-omong soal nasi kuning dan perayaan ulang tahun, hitungan mundur Ibu juga akan berulang tahun, sayang sekali itu bukan besok, dan sayang sekali yang kedua besok aku sudah pergi ke ibukota provinsi. Tepatnya Ibu berulang tahun pada tanggal kelipatan tujuh yang ke tiga dihitung dari angka enam (tanggal lahir ku). Jawabannya dua puluh tujuh. Menarik sekali. Tahun ini aku berulang tahun hari Minggu pertama bulan Agustus, maka persis tahun ini Ibu berulang tahun hari Minggu terakhir bulan Agustus. Tahun besok, karena tahun kabisat hari ulang tahun ku loncat dua hari. Maka tahun besok aku akan berulang tahun pada hari Selasa awal bulan Agustus, sementara Ibu, tahun besok akan berulang tahun di hari Selasa akhir bulan Agustus.

"Mbak sudah berusia dua puluh tahun lho, Dik."

Ibu telah kembali bergabung bersama kami. Mengulang salah satu dialog sebelum pergi ke kamar mandi. Jika tadi adik pura-pura bertanya, "iya?" sekarang ia cuma manggut-manggut.

"Dua puluh tahun. Angka dua seperti bebek, dan nol seperti telur. Kamu sudah pada usia di mana bebek bertelur sebiji. Tabiat bebek tak seperti ayam, Ding. Bebek tidak mengerami telurnya. Mungkin itu gambaran bahwa di usia dua puluh tahun, setelah suatu impian yang remaja kandung nampak hilalnya ia malah melangkah pergi, berjalan sembarang, tersuruk tanpa arah, bilang kalau salah cita-cita, berdalih tidak sesuai dengan pasion.

Urusan tersebut, mendadak ingin banting setir, bilang salah haluan dan sebagainya adalah wajar untuk masa-masa remaja menuju dewasa. Kalau kata orang sedang mencari jati diri. Toh ketika kau yang diibaratkan bebek meninggalkan salah satu dari sekian mimpi yang hampir saja kau raih yang diibaratkan sebagai sebutir telurnya si bebek, akan ada pihak lain yang merawat mimpi itu. Kalau kau memang berjodoh dengan mimpi itu, kau akan kembali padanya, layaknya induk bebek yang membiarkan sebutir telurnya kedinginan, dirawat pihak lain, lalu saat telur itu telah menetas, menjadi bebek kecil yang lucu, induk itu kembali padanya, merayunya agar ikut bersamanya dan kawanannya, perlahan tapi pasti kalian bersama lagi."

"Ah, Ibu. Memang terdengar masuk akal pengibaratan ini. Tapi Bu, akan sangat banyak kemungkinan yang terjadi. Misal, telur itu diambil pemilik bebek untuk dijadikan telur asin seperti ini, eum, enak sekali."

Adik menggigit telur asin, salah satu pelengkap nasi kuning buatan ibu. Nasi dan lauk lain sudah habis, tersisa telur asin yang masih utuh bulat, padahal sudah dikupas cangkangnya sejak tadi. Mungkin sengaja ia jadikan penutup karena ia suka telur asin.

"Atau bebek itu mati terlindas sepeda motor."

"Adik!"

Aku dan ibu spontan berseru. Yang sedang dianalogikan seperti bebek adalah aku. Maka kalimat itu menjadi seratus kali lebih sensitif. Aduh, aku bahkan tak membayangkan mati terlindas sepeda motor.

Adik dengan ekspresi wajah serba salah buru-buru minta maaf. Aku pura-pura mencubit pipinya.

Aku dan Ibu pamit pulang lima menit kemudian. Tidak lupa salam perpisahan aku hendak merantau. Tidak jauh benar memang ibukota provinsi dari kota kami. Namun itu tetap sepuluh kali perjalanan dari rumah ke Pondok Pesantren ini bagi Ayah dan Ibu yang semakin tua. Bagi jiwa muda adik mungkin ibukota provinsi dekat, tapi seandainya saat ia libur sementara aku tidak ia tidak bisa berangkat sendirian ke sana demi bertemu aku. Ia baru kelas sembilan SMP, masih terlalu dini bagi keluarga kami.

**

Surabaya, 08 Agustus 2023
22.00 WIB

salam

belanganyaasamgaram

catatan kecil (terlepas penting atau tidak bagi kalian) :

-setelah dua bab gak dikasih salam belanganyaasamgaram, karena lupa, sekarang ingat, aku ketik deh

-aku bukan orang Surabaya, ya, cuma rantau aja ke sini

Hai, Saya DiangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang