7 0 0
                                    

"Aya bangun sayang," sentuhan lembut di pundakku membuatku terbangun. Beberapa kali aku mengerjapkan mataku sebelum akhirnya cahaya matahari memancar tepat di depan mataku. "Bunda, kenapa dibuka tirainya?" dengan cepat aku menarik selimut yang tadinya sudah tergulung di ujung ranjang untuk menutupi seluruh wajahku. Bunda kemudian kembali mendekat ke arahku dan menarik selimutku, "Bunda sudah buat sandwich tuna kesukaan kamu buat sarapan, ayo cepat turun, sebelum dingin sandwichnya." Aku hanya mengerang sebagai balasan dan membalikkan tubuhku membelakangi bunda. "5 menit lagi ya bun," ucapku sebelum kembali tertidur.

Maaf bunda, tapi tidur tetap jadi prioritas pertamaku! Lagian kalau udah dingin kan bisa dihangatin lagi sandwichnya.

Tidak lama kemudian terdengar suara namaku terpanggil lagi. Tetapi kali ini dari sumber dan dengan nada yang berbeda. "Aya! Kalau kamu nggak makan sekarang, sandwich kamu ayah bakal makan juga!"

AYAH! Perasaan nggak sampai 5 menit aku tidur udah dipanggil lagi.

Aku kembali membuka mataku dan langsung duduk di ranjangku. Aku menghiraukan rasa pusing yang ada di kepalaku akibat bangun terlalu cepat dan langsung keluar kamar. "Aya kan minta tidur 5 menit lagi sih, masa baru sebentar udah dibangunin lagi!" ucapku kesal sambil menarik kursi dan duduk. "Hei, 5 menit darimana Fraya, tadi bundamu udah bangunin kamu jam 7, terus sekarang lihat ini sudah jam berapa!" jawab ayah dengan senyum yang terpaksa. Aku menoleh dan melihat jika jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.50. "Hehehe," aku terkekeh pelan dan perlahan memakan tuna sandwich yang diberikan bunda kepadaku.

Tidak sampai 5 menit, tuna sandwich buatan bundaku habis. Kemudian aku mengusap mulutku dan meminum susu coklatku.

"Gimana sandwichnya? Enak nggak masakan bunda?" Aku hanya menganggukkan kepalaku dengan cepat. "Lebih enak masakan bunda atau masakan mamamu?" tanya bunda lagi.

Mendengar nama itu membuatku memutar bola mataku karena kesal. Aku menaruh gelas susuku yang masih tersisa setengah dengan keras. "Ya pasti enakan masakan bunda lah! Mama seringnya masak telur sama nugget aja di rumah," jawabku geram. "Mama kan kerja sayang, makanya dia jarang masak di rumah," bunda mengelus tanganku.

"Ya udah tahu sibuk, terus ngapain selalu ambil aku pulang. Kurang kerjaan itu namanya, mana di sana nggak dirawat baik-baik. Lebih enak Aya tinggal di sini," ucapku dengan nada yang semakin meninggi.

"Aya!"

Aku terkejut melihat ayahku yang ikut meninggikan suaranya. "Kamu jangan kurang ajar sama orang tua kamu sendiri!" lanjut ayahku. Aku duduk terdiam karena merasa takut. Tatapan ayah sangat tajam sehingga bulu di sepanjang kulitku berdiri. "Aya minta maaf yah," ucapku pelan sambil memandangi gelas susu di depanku, berusaha menghindari tatapan tajam yang diberikan ayahku.

Belum sempat ayah menjawab, bunda tiba-tiba ikut berteriak "Kenapa kamu ngebentak Aya, dia nggak salah, memang di sana dia kayak nggak dipeduliin kan, makanan juga cuma nugget sama telur doang, nggak ada gizinya sama sekali!"

Ayahku hanya memandangi bundaku tanpa bicara sepatah katapun. Bunda juga sama, hanya berdiam dan memberikan tatapan sinis ke ayah. Ini bukan kali pertama ayah dan bunda bertengkar karena aku yang komplain tentang mama papaku. Tetapi setiap mereka sudah mulai meninggikan suara, seketika itu juga aku menyesali semua perkataan burukku tentang orang tuaku. Karena jika mereka sudah saling berdiam diri seperti ini, maka besoknya aku akan dipulangkan ke rumah orang tuaku.

Dan itu adalah hal paling terakhir yang aku inginkan.

Ayahku lalu pergi meninggalkan ruang makan. Tidak lama kemudian bunda juga pergi, meninggalkan aku sendiri. Aku memandang gelas susu di depanku dan menggenggamnya erat untuk menahan air mata yang sudah dari tadi bertengger di pucuk kelopak mataku. Setelah itu ayah kembali ke ruang makan.

"Besok, kamu pulang, ayah yang antar."

"Yah, Aya minta maaf, Aya nggak mau pulang, baru minggu lalu Aya pulang, masa Aya harus pulang lagi."

"Ayah bilang pulang. Besok pagi ayah antar sekalian berangkat kerja."

"Ayah!" tangisku pecah.

Aku tidak mau pulang! Mereka tidak pernah menyayangiku cuma bunda saja yang sayang sama aku. Aku benci papa mamaku. Tiap kali mereka ada di topik pembicaraan, semuanya pasti akan berakhir buruk, benar-benar pembawa sial.


RenjanaWhere stories live. Discover now