2 0 0
                                    

Dua minggu sudah berlalu, tetapi tidak ada tanda-tanda aku akan dijemput untuk pulang ke rumah bunda dan ayah. Kepalaku berputar untuk mencari kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.

Akankah aku dijemput besok?

Kenapa bunda tidak menelpon sama sekali.

Apa ayah dan bunda masih bertengkar?

Semua pikiran negatif yang terlintas di benakku membuatku terjaga selama dua hari belakangan ini. Aku sudah menutup mataku dan berusaha untuk mengosongkan pikiranku. Tetapi hatiku tetap merasa resah. Sejak kecil aku selalu membayangkan segala kemungkinan negatif yang bisa terjadi saat aku melakukan sesuatu. Meskipun seringkali tebakanku salah, tapi kadang tebakanku benar. Ini membuatku merasa takut, "Apa ayah sama bunda udah nggak sayang aku ya, makanya aku ditinggal disini," aku berkata pada diriku sendiri.

Semakin aku berusaha untuk tidur, semakin besar juga dorongan hatiku untuk bangun dan tetap berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan negatif itu. Setelah lebih dari 3 jam aku memutarbalikkan tubuhku dan tetap tidak bisa tidur, maka aku memutuskan untuk turun dan mencari udara segar. Aku bangun dan mencoba berdiri, tetapi sebelum aku bisa melakukannya, aku kembali terjatuh ke ranjangku.

Rasa pusing perlahan-lahan menguasaiku. Aku dengan cepat memejamkan mataku dan mengangkat tanganku sendiri untuk memijat jembatan hidungku. Kepalaku serasa berputar dan pandanganku menjadi kabur. Panas tubuhku juga terasa meningkat. Samar-samar aku mendengar suaraku dipanggil. Awalnya aku menghiraukannya.

Mungkin cuma denger-dengeran aja.

Tetapi, namaku kembali terpanggil untuk yang kedua dan ketiga kalinya. Dengan menghiraukan pusing dan kepalaku yang berdenyut, aku lagi-lagi berdiri dan mencoba untuk menstabilkan tubuhku. Setelah aku bisa berdiri dengan tegap, barulah aku mulai berjalan perlahan. Langkah demi langkah kuambil dengan perlahan dan hati-hati. Meskipun begitu, aku selalu merasakan hembusan angin yang menembus bajuku, membuatku merinding. Lama-lama hembusan angin itu terasa makin kencang.

Perasaan tirainya nggak gerak sama sekali padahal anginnya kencang gini. Tapi kok badanku dingin banget ya.

Akupun mengacuhkan pikiranku lagi. "Mungkin indraku jadi lebih sensitif kalo malam," dengan itu aku melanjutkan jalanku menuju ruang tamu di lantai satu.

Sesampainya aku di bawah, aku langsung melihat lampu di kamar orang tuaku menyala. Karena penasaran aku memutuskan untuk mendekat dan bermaksud melihat apa yang mereka lakukan.

Sekarang ini jam tiga pagi, dan lampu kamar mereka masih nyala?! WOW! Mereka tipe yang suka "ngelakuin" malam menjelang subuh ya. Tapi kok nggak ada suara tepukan ataupun desahan?

Belum sampai aku di depan kamar mereka, aku mendengar lagi namaku disebut. Kali ini dengan lebih jelas karena aku berada di lantai bawah. Aku membutuhkan waktu lima menit sendiri untuk berjalan dari tengah ruang tamu ke depan kamar orang tuaku. Meskipun jaraknya tidak lebih dari 3 meter, tetapi akulah yang merasa capek dan terengah-engah. Sebelum melanjutkan misiku, aku menyandarkan punggungku ke tembok lalu menghirup udara untuk menenangkan tubuhku.

"Fraya sudah kelihatan nggak betah disini Ton." Aku mendengar papaku berbicara dan diakhiri dengan helaan nafas. Aku bisa merasakan rasa sedih yang bercampur dengan kecewa di nada bicara papaku.

"Lebih baik Fraya tinggal disana lebih lama, Gal. Temperamen Labita masih tidak stabil. Hari ini dia memecahkan dua piring setelah tahu aku tidak membawa pulang Fraya," ucap ayahku melalui speaker.

Apa maksud ayah? Bunda masih marah ya?

"Tapi Ton, sudah dua hari Fraya tidak tidur. Setiap pagi, dia akan pergi ke meja makan dengan kepala yang tertunduk. Tapi aku bisa melihat ekspresinya, dia tidak suka berada disini."

"Gal aku minta tolong ke kamu, jangan buat anakmu untuk lebih benci padamu. Jika Fraya kembali sekarang, Labita akan semakin menggila dan ada kemungkinan dia tidak akan pernah melepaskan Fraya lagi." Aku berusaha mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh papa dan ayahku mengenai bundaku. "Kenapa bunda nggak mau melepaskan aku, maksud ayah aku dibuat benci apa?"

"Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan Labita, Ton?" Akhirnya aku mendengar suara mamaku. Dia berbicara sangat lembut, tapi rasa khawatir tersirat pada nadanya.

"Untuk saat ini tidak ada yang bisa menggantikan Fraya untuk obsesinya, aku tahu kamu menitipkan Fraya ke kami agar Labita tidak semakin gila dan mengakhiri hidupnya sendiri. Tetapi aku rasa sudah cukup pengorbananmu Gali, aku tidak tahan melihat Labita yang setiap hari berusaha untuk menjauhkanmu dari anakmu sendiri." Tidak lama kemudian, ayah berpamitan, tepat sebelum dia menutup telepon aku bisa mendengar teriakan bundaku, Labita yang memanggil namaku. Aku langsung menolehkan kepalaku, sehingga pusing kembali mendapatiku lagi, tetapi kali ini dibarengi dengan rasa mual. Aku merasakan panas di area perut bawahku. Nafasku menjadi tak terarah, ditambah perutku yang terasa semakin panas, perasaan gundah yang sedari kemarin tertutup rapat-rapat dalam kepalaku meledak layaknya petasan menyerbu seluruh organ tubuhku.

"Ma, apa yang harus kita lakukan. Fraya sudah terlanjur membenci kita." Saat ini aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku sendiri tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku duduk meringkuk di depan pintu kamar orang tuaku, membenamkan kepalaku dalam kedua tanganku.

"Mama juga nggak tahu pa harus apa. Kita pikirkan besok aja ya, hari ini mama capek sekali."

"Oke ma, besok kita bicarain lagi," aku mengangkat wajahku dan mendapati papaku yang menarik selimut lalu menyelimuti mamaku serta dirinya. Kemudian ia mematikan lampu, meninggalkanku dengan kegelapan yang menyelimuti. Butuh waktu satu jam bagiku untuk menenangkan diriku dan menyeret kakiku untuk kembali ke kamar.

Sesampainya aku di kamar, tubuhku sudah menjadi sangat lemas. Tidak butuh waktu lama untuk aku menutup mata dan menjelajah dunia mimpi.

Dalam mimpi itu aku melihat diriku yang sedang bermain layangan dengan ayahku dan bundaku. Senyum lebar terpampang di mukaku, dan terlihat jika aku sangat menikmati waktu yang kuhabiskan bersama mereka.


RenjanaWhere stories live. Discover now