Pagi yang tak hangat

80 20 13
                                    

"Makannya bisa lebih cepat sedikit? Kita bisa terlambat kalau kalian makannya lama," kata Aluna yang sibuk menyiapkan bekal kedua anaknya.

"Bunda nggak bangunin kita," gumam Rena dengan nasi di mulutnya.

"Sudah, Sayang. Kalian tetap nggak bangun."

"Bunda kurang keras banguninnya," tambah Reno yang kini tengah minum susu. "Cepet, Rena. Nanti kita telat terus dihukum." Reno menggoyang paha Rena.

"Ini udah cepet, Abang!"

"Bisa makan di sekolah saja? Bekal kalian sudah bunda tambah dua kali lipat. Jadi, ayo berangkat sekarang!!"

"Bolos aja gimana, Bun?" rayu Rena dengan wajah polos.

"Yang mau jadi pramugari ndak boleh bolos. Nanti penumpangnya rewel di pesawat gimana?" Aluna mencolek hidung Rena yang cemberut.

"Naik pesawat enak. Kenapa mereka rewel?" tanya Rena kebingungan.

"Mungkin penumpang kamu mabuk udara."

"Seharusnya dia tidak naik pesawat," kesal Rena turun dari kursinya dan menerima tas yang diberikan Aluna.

Ketiganya berjalan menuju teras dan Aluna berjalan ke garasi mengambil motornya. Memberikan helm pada keduanya. Keningnya menyatu saat ia mendorong motor dan terasa berat. Mencoba mendorongnya lagi dan tetap berat.

Aluna menghembuskan napas kasar saat melihat ban motornya kempes. Menutup mata sambil memijit pelipis yang berdenyut, Aluna mencoba berpikir jernih dan tenang. Jam sekolah anak-anak sudah mepet. Jika berangkat mungkin akan terlambat. Namun, jika tidak sekolah Farel akan semakin marah dan benci pada keduanya. Pilihan sulit.

Menatap dua wajah kebingungan di depannya, Aluna tidak punya pilihan lain. Segera ia mengambil ponsel dan memesan taksi online. Aluna tidak akan  tenang jika ia tidak ikut di dalam mengantar.

"Kenapa kalian belum berangkat?"

Gerakan jari Aluna berhenti saat mendengar suara Farel. Wanita itu mendongak dan menemukan suaminya sudah siap berangkat kerja. Memakai jas dan baju yang ia siapkan tadi pagi sebelum sarapan.

Aluna tidak tahu berapa persen kemungkinannya, tapi ia akan tetap mencoba. "Eh, kamu, Mas."

"Kenapa kamu tidak mengantar mereka sekolah?" Farel menolehkan wajah dari anak-anak jadi sepenuhnya menatap Aluna. "Kamu mau memboloskan mereka?"

"Nggak lah, Mas!!"

"Terus?"

"Ban motorku kempes. Anak-anak boleh--"

"NGGAK!!"

Aluna bergerak mundur karena kaget atas jawaban Farel. Wanita itu memegangi dadanya terkejut. Tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menolak dengan nada suara yang tinggi. Aluna melirik anak-anaknya yang menunduk saling bergandengan tangan.

"Mas, mereka akan telat."

"Aku nggak peduli. Pesankan mereka ojek online." Farel berjalan menuju mobilnya. Memasukkan kunci.

"Kalau begitu kita akan naik taksi online," jawab Aluna cepat. Tangannya kembali mengutak-atik ponsel untuk memesan taksi.

"Pesankan mereka ojek online, Luna!! Biaya taksi online mahal."

"Mas, mereka masih terlalu kecil untuk naik ojek. Kalau mereka kenapa-kenapa bagaimana? Dan, tidak mungkin kita berboncengan empat orang," sahut Aluna cepat. Otaknya sedang berpikir keras dengan sikap Farel.

"Siapa bilang kamu naik ojek? Kamu naik mobil bersamaku. Mengikuti mereka dari belakang. Kalau mereka sudah sampai sekolah, kamu aku antar pulang. Dan aku telponkan orang bengkel."

Rumah di Ujung JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang