02. Mixed Signals

171 14 2
                                    

Sembari menunggu jadwal mata kuliah berikutnya sekitar 1 jam lagi, Meisya dan Namira kini berada di kantin mahasiswa yang terletak di gedung C4. Keduanya sedang berdiskusi mengenai projek angkatan mereka dimana kebetulan posisi Namira adalah sebagai kepala divisinya Meisya.

"Lusa ya, Sya. Kita meet lagi sama dokter Rini buat fiksasi teknis. ToR nya udah dikasih kan ya? Kayaknya beliau mau breakdown satu-satu jadi kalau ditanya siap-siap aja." Jelas Namira sambil menunjukkan kembali timeline dan beberapa notes penting untuk persiapan acara hari-H kegiatan pengabdian masyarakat tersebut.

"Oke oke, paham, Mir." Jawab Meisya sambil mengangguk pada setiap penjelasan yang tertutur dari mulut temannya itu, "Btw, Mir, surat perizinan ke desa dari dekanat udah turun 'kan? Itu kapan dikasihnya? Berarti kita harus kesana lagi ya?"

"Nah itu, Sya. Kayaknya lusa juga deh. Soalnya kan minggu depan kita udah masuk ujian. Pasti anak-anak juga gak mau diganggu gak sih? Gue pengennya kalau bisa urusan humas tuh udah kelar minggu ini. Tinggal itu doang 'kan, ya?"

"Iya, hm, besok kita full banget. Gini berarti, paginya kita meet dulu sama dokter Rini, habis itu kita ke desa?" Tanya Meisya memastikan.

Namira menghela nafasnya dan berpikir sejenak, "Kalau gue aja yang ke Desa sama Zio gimana? Lo meet sama dok Rini ditemenin anak acara. Jadi kalau dokter nya nanya-nanya lebih jelas juga karena 'kan mereka juga yang pasti lebih paham sama alurnya." Penjelasan temannya itu membuat Meisya merasa tidak enak, pasalnya Namira sebagai kepala divisinya itu selalu terjun langsung mengurusi semua hal. Kalau gitu buat apa dibentuk divisi kalau dia handle sendiri coba?

Meisya tahu Namira memang orangnya 'tidak enakkan' tapi bukan begitu juga caranya hingga hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab staf nya malah perempuan itu tangani sendiri.

"Ih, Mir. Lo tuh merasa overwork gak sih? Kalau semuanya lo yang handle, nanti anak-anak lain malah semakin seenaknya. Gue tahu lo kadiv tapi bukan berarti semua bebannya lo tanggung sendiri Namira." Tegur Meisya terdengar seperti menceramahi, tentu saja yang diomeli hanya tertawa cengengesan sambil menatapnya.

"Iya, Sya. Gue tahu. Thanks ya karena lo udah concern sama hal ini."

"Yaelah gue serius."

"Apakah muka gue ini terlihat seperti bercanda? 'Kan engga,  ya. Tapi ya, gimana? Bukannya mau terlihat mendominasi. Lo tahu sendiri, di grup aja jarang ada yang respon. Mentok-mentok lo lagi, Zio lagi. Gue PC juga ada aja alasannya. Kalau nunggu ngandelin mereka mah kapan kelarnya?"

"Mir, gue kalau jadi cowok, lo udah gue pacarin, Mir."

"Ah bisa aja kamu. Yang harusnya lo pacarin mah Razan tuh."

"Eh apa sih kok jadi Razan?!"

Namira melirik ke arah pria yang sedang berjalan menuju mereka, kemudian menggoda temannya yang sudah kesal karena Namira selalu memojokkan Meisya tentang kedekatannya dengan pria itu, "Tuh Razan."

"Razan!" Panggil Namira , "Zan, sini-sini." Sapa Namira hangat segera menyuruh pria itu untuk bergabung dengan meja mereka.

"Btw Zan, jadi kan temenin Meisya meet sama dokter Rini?" Pertanyaan yang baru saja Namira lontarkan berhasil membuat Meisya membelalakkan mata dan mencubitnya pelan.

Baru saja perempuan itu akan menjalankan aksi untuk menghindari Razan, setelah mendengar rumor dari seseorang bahwa pria itu menyukainya selama ini. Meisya dan Razan sama-sama satu kelompok untuk kelas tutor dan segala tugas diskusi mereka, ya karena NPM nya yang berdekatan, atau mungkin karena takdir? Eh temannya malah membuat Ia semakin terjebak dalam ruang yang tak terhindarkan.

25 Hours (You're worth it)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang