Bagian 1 - Nenek Lampir

3 0 0
                                    

Seolah ada bongkahan batu besar yang menghantam kepala, yang kontan saja membuat pening hingga aku kesulitan untuk berkonsentrasi. Mataku berat untuk terbuka, ingin rasanya segera sampai dirumah lalu berbaring dikasurku yang nyaman itu. sayang sekali, waktu pulang masih terlalu jauh mengingat ini baru saja pukul 11 siang.

“Dilara”

Kubuka mataku selebar mungkin ketika suara nyaring itu memanggil. Ya, dia bu Fira, atasanku. Dia adalah atasan paling banyak bicara didunia, mungkin terlalu berlebihan jika diingat kantor ini adalah tempat pertama aku bekerja.

“kamu dengerin saya ngomong ga sih?”

“Ya?”sahutku kaget

“Dilara, Dilara kalau kerja itu yang fokus percuma kamu pinter tapi ga ada kemauan untuk bekerja”ucapnya dengan nada sombong. Aku bukan tidak ada kemauan untuk bekerja tetapi manusia mana yang tahan 2 jam duduk bersama dia dengan serentetan kalimat yang membuat mual. Dari mulai membahas pekerjaan hingga menyerempet ke hal-hal pribadi, jujur aku muak.

“Maaf bu saya sedang kurang sehat” ucapku dengan nada lemah

“Ya sudah pokoknya saya ga mau tau rekapan bulan kemarin harus sudah ada di ruangan saya nanti sore”

“Baik bu, saya permisi” Aku bangkit untuk segera pergi dari ruangan panas ini, sampai suara Bu Fira terdengar kembali. “dan satu lagi Dilara, saya ga mau denger laporan kamu santai-santai diruang istirahat disaat orang lain sibuk, kalau pun kamu ga ada kerjaan kan bisa bantu yang lain”

“Baik bu, tidak akan saya ulangi lagi, saya permisi”

Setelah puas dengan jawabanku, Bu Fira mempersilahkan aku untuk pergi. Sial, nenek sihir itu kembali mengusik ketenanganku sampai mengadukan hal yang tidak-tidak ke atasan. Terhitung baru 2 minggu aku bekerja disini sebagai staff bagian keuangan, dan orang yang kusebut nenek sihir itu sudah menunjukan ketidaksukaannya sejak hari pertama aku bekerja.

Hari pertama bekerja yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, bayangkan saja baru hari pertama aku sudah di maki habis-habisan oleh bu Fira karena katanya aku tidak mengerjakan tugasku dan malah mengobrol dengan senior saat jam kerja. Orang yang membuat aku mengalami hal itu tidak lain adalah si nenek sihir, Dini.

Saat keluar dari ruangan Bu Fira, aku berpapasan dengan Dini yang akan masuk kedalam ruangan itu. Tanpa berbicara sepatah kata pun dia berjalan melewatiku dengan sedikit menyenggolkan bahunya. Aku menghela napas untuk mengatur emosi, sabar. Walaupun orang sabar pasti kesal.

###

“Dil, pulang kerja kita ke mall yuk, temenin aku beli kado buat mas Adi”

“Beli kado apa di mall, kenapa ga beli online aja?”

“kalau beli online aku ga bisa liat barangnya langsung”

“Tapi kan harganya lebih murah”

Yang mengajak ke mall itu namanya Winda. Dia seorang istri sekaligus wanita karir. Wajahnya cantik dan bermata sipit, mengingatkanku pada teman dekatku saat kuliah dulu. Ah aku jadi rindu masa-masa itu. Sedang yang menyarankan membeli online saja itu bernama Lily. Namanya lembut sekali akan tetapi nama itu tidak mencerminkan kepribadiannya. Sejauh aku mengenalnya dia adalah wanita berani yang tidak akan ragu untuk menyuarakan pendapatnya.

Meskipun seumuran mereka sering kali bertengkar kecil karena banyak perbedaan, salah satu contohnya adalah status hubungan. Jika Winda sudah menikah dengan seorang perawat, maka berbeda dengan Lily yang masih betah menjalin hubungan tanpa status dengan seorang pengacara. Hal itu yang membuat Winda terus mengejek Lily sebagai wanita bodoh hingga berujung pertengkaran.

Mereka adalah senior baik hati yang akhirnya dekat denganku. “Udah gausah berdebat, gimana kalo kita pergi bertiga sekalian cuci mata” tawarku.

Lily tampak menimbang hingga akhirnya mengangguk setuju, begitupun dengan Winda.

“eh iya aku lupa tanya, tadi kamu dipanggil ke ruangan Bu Fira kenapa?” tanya Lily

“Kepo kamu” jelas itu bukan suaraku.

“Ya kan aku cuma tanya, kalau Dilara ga mau cerita juga ga apa-apa” Lily kembali menggerakan jarinya diatas keyboard.

“Ngomongin kerjaan sama itu aku ditegur katanya kebanyakan santai pas orang-orang lagi sibuk”Ucapku tanpa menoleh

“Siapa yang ngadu kaya gitu? Kita aja yang satu bagian sama kamu ga ngerasa kamu kaya gitu kok” Winda sudah bergeser kesebelahku, membuat fokusku teralihkan.

“Ga tau” sahutku

“Ga mungkin kamu ga tau”Kali ini Lily yang bersuara, dia ikut mendekat kearahku. Kalau sudah seperti ini mau tidak mau aku harus menjawab dengan jujur.

“Dini” Raut wajah mereka berubah seketika. “udah aku duga pasti si perempuan mulut racun itu yang ngadu”

“Udahlah kak, gausah dibahas lagi aku juga ga apa-apa kok” Aku mencoba meyakinkan mereka.

“Ga bisa dibiarin, dari awal kamu kerja disini dia itu emang udah keliatan ga suka sama kamu, perlu dibales kelakuan dia tuh” ucap Lily dengan menggebu.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, jika sudah seperti ini aku tidak tau harus berbuat apa.

“Gimana cara balesnya, Ly?” Tanya Winda.

Lily tampak berpikir. “Gimana kalo kita aduin ke Bu Fira kelakuan dia yang ngaca mulu kalo lagi kerja”. Winda tersenyum mendengarnya. “Boleh juga tuh”.

Aku melotot mendengar reaksi ibu satu anak itu, konyol sekali jika mereka berdua benar mengadukan nenek sihir karena alasan itu. “Aduh kak jangan deh nanti malah aku yang kena marah lagi sama Bu Fira, jangan ya”. Ucapku sambil memohon.

“Iya juga sih, terus gimana dong”. Winda menghela napas lelah.

“Ya udah sekarang kakak-kakak aku yang baik hati ini balik kerja lagi ya, soal kelakuan si nenek sihir itu masih bisa aku hadapin dengan hati yang lapang kok”. Aku tersenyum semanis mungkin.

Aku menghembuskan napas lega saat mereka kembali ke depan komputer mereka masing-masing. Bukan aku memiliki hati yang begitu lapang hingga tidak mempermasalahkan orang-orang yang mengusik hidupku, hanya saja aku terlalu lelah untuk menghadapi mereka. Jadi untuk saat ini biarkan nenek sihir itu berbuat sesuka hatinya.

###

Jam sudah menunjukan pukul 5 lebih 15 menit saat aku dan kedua rekanku beranjak dari tempat masing-masing, waktunya pulang setelah seharian berkutat dengan angka yang memusingkan. Ponselku berkedip, kontan saja aku meraih benda itu. Nama Ayah tertera disana.

“Yuk jalan sekarang” Ajak Winda dengan bersemangat.

“Kak maaf ya kayanya aku ga bisa ikut, aku udah dijemput soalnya lupa bilang kalo mau pergi dulu”

“Ish kamu padahal ini pertama kalinya loh kita jalan bareng” Ucap Lily.

“Maaf ya, lain kali aku janji pergi bareng kalian, ya maaf ya”. Aku mengulangi permintaan maaf itu.

“Ya udah deh, sana pulang jangan bikin Ayah kamu nunggu lama”. Akhirnya aku berpamitan keluar lebih dulu kepada mereka. Berjalan keluar gedung 3 lantai itu dan segera mencari di mana Ayah menungguku.
.
.
.
.
.

Selamat datang di ceritaku yang baru, doakan ga stuck di tengah cerita ya hehehehe

D I L A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang