Jika orang lain mengira hidupku sempurna, mereka salah besar. Ada banyak cacat dalam hidupku. Lulus dari perguruan tinggi negeri dengan nilai yang tinggi dan langsung mendapatkan pekerjaan setelahnya tidak membuatku memiliki hidup yang sempurna.
Seperti pagi ini, aku harus mendengar Ibu membicarakan uang belanja yang sudah habis padahal baru pertengahan bulan.
“Kamu udah mau berangkat Dil?” tanyanya begitu melihat aku yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru muda itu. Aku mengangguk mengiyakan.
“Sarapan dulu biar semangat kerjanya”
“Ga usah aku masih kenyang, ibu aja yang sarapan”
“Ibu nanti aja makannya sekalian makan siang biar irit”. Sahut ibu terlalu jujur.
Aku meringis mendengarnya. Lihat kan, ini adalah salah satu contoh cacat dalam hidupku. Uang.
“Sarapan bu nanti sakit malah harus keluar lebih banyak uang”. Ucapku.
“Iya deh nanti ibu makan, udah sana kamu berangkat nanti telat”. Aku mengangguk lalu mencium tangan ibu. Berjalan kearah luar aku melihat Ayah yang sedang duduk diteras sambil merokok.
“Yah ayo anterin”. Ucapku. Beliau mematikan rokoknya lalu berjalan melewatiku sambil bergumam. “Maka nya bisa bawa motor biar ga usah nunggu orang antar jemput”.
Nah, satu lagi contoh cacat dalam hidupku. Tidak bisa mengendarai motor.
###
“Baru sampe kamu Dil?”.
Masih terlalu pagi untuk sekedar berdebat, namun nenek sihir ini sudah muncul dihadapanku dengan bibir merahnya yang membuat mata sakit.
“Iya mbak”. Jawabku singkat
“Siang amat, ga sekalian kamu dateng jam dua belas”. Sindirnya. Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tanganku, baru jam 8 lebih 5 menit, itu artinya masih 25 menit lagi menuju jam masuk kantor.
“Bukan aku yang kesiangan tapi mbak aja yang kerajinan”
Ia melotot mendengar responku. “ini namanya loyalitas tau”.
“Bukan loyalitas tapi cari muka” Lily datang dengan menyilangkan tangan di depan dada sambil berkata angkuh.
“Aku lagi ga ngomong sama kamu ya, aku ngomongnya sama anak baru ini” Dini tampak terpancing emosinya.
“Oh kirain kamu ngomong sama aku, soalnya suaranya kedengeran sampe depan lift sih, daripada kamu ngoceh mulu mending benerin tuh lipstik kamu ada yang nempel sampe gigi”.
Kontan saja membuat Dini terburu-buru mengambil kaca di atas mejanya. Aku hanya bisa tertawa mendengar celetukan Lily. Dini menatap tidak terima ke arah Lily. “Ga ada kok, ga usah ngada-ngada kamu Ly.”
“Oh ga ada, maaf ya mungkin mataku minus, dan satu lagi kalau manggil orang itu yang bener dia punya nama, ayo Dil kita ke ruangan”. Ajaknya sambil menarik tanganku pelan.
Hingga memasuki ruangan untuk staff keuangan, Lily tidak henti-hentinya mengumpati si nenek sihir itu.
“Duh kak udah deh gausah ngedumel mulu nanti cepet tua”.
“Heran aku sama manusia satu itu, apapun yang kamu lakuin selalu salah di mata dia”.
“Ya namanya juga dia ga suka sama aku, mau sebaik apapun perlakuan aku di mata dia aku tetep busuk”. Ucapku sambil menyalakan komputer.
“Kamu pernah ngapain dia sih sampe dia ngusik kamu terus?” Tanya Lily.
Aku mengedikkan bahu. “Ga tau, mungkin dia takut kalah cantik”. Jawaban itu menghasilkan satu toyoran di kepalaku, siapa lagi pelakunya kalau bukan si bar bar Lily. Aku hanya terkekeh mendapat perlakuan seperti itu, setidaknya di tempat kerja aku bisa melupakan masalah yang aku alami dirumah.
###
Siang ini ada rapat dadakan yang mengharuskan aku untuk duduk berjam-jam sambil memperhatikan deretan kalimat yang berada di layar proyektor itu. Pengalaman pertama mengikuti rapat yang membuat jantungku hampir lepas, baiklah mungkin itu berlebihan. Namun bayangkan saja, baru 2 minggu aku bekerja disini tapi sudah diserbu dengan berbagai macam pertanyaan menyangkut laporan 6 bulan kebelakang.
Demi apapun kalau bukan karena mulut berisik Winda dan Lily yang setiap hari mengoceh tentang pekerjaan, aku tidak akan pernah bisa menjawab satu pun pertanyaan bu Fira. Setelah ini ingatkan aku untuk berterimakasih kepada mereka.
“Pinter kamu Dil, ga sia-sia aku ngajarin kamu sampe rahangku pegel”. Bisik winda saat orang-orang sudah beranjak untuk kembali bekerja, aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Winda”. Kami berdua menoleh ketika terdengar suara laki-laki menyebut nama seniorku itu.
“Apa?”. Jawab Winda singkat.
Laki-laki itu tersenyum sambil melihat kearahku. “Ini siapa kayanya aku baru liat?”. Tanyanya
“Staff baru dibagianku, kenapa? Mau kamu godain?”. Sahut Winda dengan tidak santai.
“eh biasa dong, aku kan cuma nanya sekalian mau ajak kenalan sih, namanya siapa cantik?”. Sungguh bermulut manis laki-laki ini, pikirku.
“Kan mulai gatelnya”. Winda sudah melangkah maju ke hadapanku.
“Santai dong Win, kenalan doang”
“Nama saya Dilara, sudah kenalan kan, boleh permisi saya mau balik kerja”. Ucapku setenang mungkin.
“Nama yang cantik seperti orangnya”. Wajah Winda sudah dibuat seakan-akan ingin muntah dan jangan lupakan tatapan permusuhan yang dilayangkan Dini di seberang tempat kami berdiri. Oh sungguh setelah ini pasti dia akan lebih megusikku.
###
Setelah dipikir-pikir sudah lama sekali aku tidak bersingungan dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki selain untuk hal-hal yang penting. Bukan aku tidak normal hanya saja mungkin aku tidak sempat. Jika dilihat kebelakang, aku sibuk kuliah sambil bekerja sambilan di sebuah toko sembako dekat kampus. Setelah jam kuliah usai aku harus sampai ke toko untuk segera melayani pembeli.
Tidak setiap hari aku berada ditoko itu, hanya 4 hari dalam 1 minggu. Namun itu sudah menguras setengah dari energiku. Untuk pergi di akhir pekan rasanya sudah malas, aku ingin beristirahat dirumah. Mungkin itu yang membuatku terbiasa hidup tanpa kisah romantis.
“Ly, ada gosip terbaru tau”. Ucap Winda membuka obrolan ketika kami sedang makan siang diruang istirahat.
“Apaan?”
“Tadi Si Tian ngajakin Dilara kenalan”
“Jangan mau, awas kamu sampe deket-deket dia”. Ucap Lily dengan menggebu-gebu.
“Kenapa emangnya?”. Aku bertanya dengan bingung. “aduh Dil dia itu playboy, kamu tanya semua orang di kantor ini siapa sih yang ga pernah kena rayuan manis dia”
“Termasuk kamu ya, Ly?”. Ledek Winda
“Gila kamu, biar ga dikasih kepastian sama Rian juga aku masih waras”.
Winda tertawa meledek. “Tapi bener sih, kamu ga boleh termakan bujuk rayu si kadal buntung itu ya, Dil”
“Iya awas kamu sampe deket sama dia, aku musuhin kamu seumur hidup”. Ancam Lily yang membuatku ngeri. Buru-buru saja aku mengangguk patuh. Namun sejujurnya ancaman mereka mebuat hatiku menghangat, lahir sebagai anak pertama membuatku menginginkan sosok kakak seperti mereka ini.
Kami melanjutkan makan. Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan didalan otakku, selain sibuk kuliah dan bekerja sepertinya aku memiliki alasan lain yang membuatku enggan bersinggungan dengan laki-laki. Ah aku baru ingat. Kisah cinta pertamaku gagal karena kesalahan Ayah.
.
.
.
.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
D I L A R A
ChickLit"Mari jalani hidup dengan haha hihi walaupun dalam hati ampun-ampun" - Dilara **** Dilara, dibalik senyum dan tawanya dia menyimpan banyak beban dan luka. Mari menyelam lebih dalam lagi ke kehidupannya.