Eirja menawarkan tumpangan kepadaku karena ternyata jalan rumahku dan rumahnya satu arah. Maka aku dengan senang hati menerima tawarannya.
"Apa?" tanyanya tiba-tiba di tengah perjalanan.
"Apa, sih, Ja? Orang gue diem aja."
"Oh, kirain tadi ngomong," balasnya. Dari spion, aku bisa melihat wajah bersemu di wajahnya.
"Emang mau ngobrol?"
"Ya, kalau ada topik, sih, gapapa. Gue pelanin laju kendaraannya."
Aku mengangguk lantas mengutarakan rasa penasaranku lewat pertanyaan. "Lo kenapa nerima ajakan Charlie?"
"Lo jangan ledekin gue, kalau gue nerima ajakan cowok songong itu karena traktiran."
"Maksud lo?"
"Gue bakal ditraktir selama gue gabung di grup Iconic. Kan mayan, tuh, duit buat makan gue di sekolah udah di-cover," jelas Eirja sejujurnya.
Aku sedikit tercengang mendengar fakta itu. 'Keadaan Eirja bener-bener sesulit itukah?' batinku.
Aku tersenyum lalu menepuk pundaknya. "Ya, gapapa, sih. Gue kalau di posisi lo pasti bakal kegiur juga sama iming-iming itu," balasku dengan kekehan.
Aku sudah turun dari motor Eirja. Melepas helm dan kuberikan padanya karena sebenarnya itu helm Charlie. Setelah aku mengucapkan terima kasih, aku bergegas masuk ke rumah. Namun, langkahku tertahan tatkala ada suara yang melontarkan sebuah kalimat sindiran, "Pantes nilai jeblok, orang kerjaan nemplok sama laki-laki."
Aku menoleh dan mendapati Bu Julia, tetangga rumah sebelahku, yang dengan tidak tahu apa-apanya menilai seperti itu. Aku sendiri bukan tipe orang yang gampang tersindir dan sakit hati, tetapi entah kenapa mataku agak memanas mendengar sindirannya. Apa karena Eirja yang turut melihat kejadian tak mengenakan ini?
Aku tersenyum sambil mencengkram erat rokku. Eirja segera menyalakan motornya dan pergi dari hadapanku. Di saat yang bersamaan, aku membalas sindiran Bu Julia dengan ketus, "Nemplok doang nggak ngaruh, kok, Bu. Asal nggak sampai ngerebut."
Suasana hati yang damai bersama Eirja tadi mendadak lenyap. Tergantikan dengan hawa panas yang meraung-raung ingin dikeluarkan. Satu hal yang biasa aku lakukan ketika berada di situasi seperti ini adalah bertemu air.
"Kak! Kak Milly," panggil seseorang dengan suara teduhnya.
Itu bundaku.
"Iya, Bun. Bentar, ya. Aku lagi siapin buku." Aku menyahuti panggilan bundaku dengan sedikit berteriak. Memang terkesan tidak sopan, tetapi itulah aku.
Aku segera mendatangi bundaku setelah beberapa jam mengurung diri di kamar.
"Tumben nggak ngerecokin bunda, Kak?" tanya bundaku ketika aku sudah duduk di sebelahnya.
Aku menggaruk tengkuk. "Pengen sekali-kali nggak ngerepotin bunda."
"Apa, sih, Kak? Pasti abis denger kata nyakitin lagi, nih?" terka bundaku.
Bundaku mengikis jarak. Menatap lekat manik mataku. Tangannya terulur menyentuh dan mengelus-elus rambutku. "Bunda, kan, udah pernah bilang sama Kakak. Nggak perlu ambil pusing sama omongan orang lain. Kamu ya kamu, Kak. Yang tahu kamu, ya, cuma diri kamu sendiri."
Air bening yang kusimpan tadi seketika bocor dari kantung mataku. Jatuh membasahi pipiku, tetapi dengan gerakan kilat, aku menghapusnya.
"Nggak apa-apa, Kak. Nangis aja. Nggak usah malu sama bunda."
Tanpa aba-aba aku langsung memeluk bundaku. Erat. "Bunda kalau mau aku jadi anak yang membanggakan, aku bakal berusaha, kok, Bun." Aku berkata di tengah-tengah tangisanku yang semakin menggila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iconic
Novela JuvenilMempertemukan orang-orang bodoh dalam satu grup bernama "Iconic" mungkin terlihat tolol di mata orang lain. Namun, tidak bagi Charlie karena dari grup itu, dia menemukan sebuah petuah bahwa hidup adalah untuk memberikan arti hidup.