2nd

300 14 0
                                    

Reina marah pada Rega, ia memutuskan. Reina baru menyadari bahwa selama ini Rega terlalu mendominasi hidupnya. Ia hanya melakukan semua yang Rega tuturkan padanya. Dan Reina sudah memutuskan, ia tak menyukainya. Ia akan mencari jalannya sendiri.

Ia sudah hampir dua puluh tahun. Ia sudah dewasa. Dan hidupnya adalah miliknya. Rega tak berhak lagi menurunkan tangannya. Sekali lagi, ia akan mencari jalannya sendiri. Bersama Dion.

Reina mengangkat jam tangannya sekali lagi. Sekedar untuk membunuh waktu. Dion sudah bilang padanya bahwa ia akan terlambat menjemputnya. Tapi Reina tak menduga kalau ia harus menunggu selama hampir satu jam.

Ironisnya, gadis itu tak tahu apa alasan Dion terlambat menjemputnya. Menurutnya ia hanya perlu percaya. Hanya perlu saling percaya dan semuanya akan berakhir bahagia. Sebagaimana mestinya yang ia bayangkan.

Biarpun harus menunggu satu jam lagi, tak apa. Ia yakin kekasihnya itu tak bermaksud membuatnya menunggu lama. Seharusnya begitu.

Bbrrrtt... handphone Reina bergetar menandakan ada pesan masuk untuknya. Dengan tak semangat Reina mengeluarkan benda kotak itu dari sakunya dan membaca apa yang dikirimkan kepadanya. Sigh... Gadis itu mendesah. Penantian pertamanya, sia-sia.
***

Esoknya, semuanya kembali seperti biasa. Reina berusaha melupakan rasa sakit hati dan air matanya ketika Dion memberitahunya bahwa kekasihnya itu tak bisa menjemputnya. Bukan karena apa-apa. Reina hanya kecewa kekasihnya itu tidak memberitahunya lebih awal dan membuatnya menunggu hampir satu jam.

Padahal cowok itu tahu bahwa setumpuk tugas di rumah sudah menunggu untuk Reina selesaikan. Apalagi sampai sekarang Reina masih tak tahu alasan Dion tak bisa menjemputnya.

Ditambah malamnya, ia tak bisa mengurangi beban hatinya. Ia tak bisa, tak boleh, dan tak mau menghubungi Rega terlebih dahulu. Ia sudah memutuskan bahwa ia masih marah pada Rega.

Kecuali jika cowok itu menghubunginya terlebih dahulu. Mungkin ia bisa mempertimbangkannya. Tapi, bahkan sampai saat ini cowok itu seolah hilang di telan bunyi. Kabarnya pun tak terdengar.

Ah, sudahlah. Jangan membicarakan orang itu lagi. Saat ini Reina harus fokus pada orang di depannya. Dion kekasihnya.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe dekat kampusnya. Walau tak mengerti mengapa mereka harus makan di sana dan bukannya di kantin kampus mereka, Reina tetap mengikutinya. Asal kekasihnya itu bahagia, Reina yakin dirinya juga.

"Espresso satu dan waffle." Pesan Dion pada pelayan yang segera mencatat apa yang dikatakannya. Cowok itu lalu beralih ke arah Reina. "Kamu apa, sayang? Mau sama juga?" Tanya Dion pada Reina dengan lembut.

Reina meringis mendengarnya. Pertama, ia tak suka dipanggil sayang walaupun oleh pacarnya sendiri. Reina sudah pernah bilang pada Dion tentang hal itu. Dan yang kedua, karena tawaran yang Dion berikan padanya.

"Gue gak bisa minum kopi, Di. Gue punya insomnia. Lo lupa?" Tanyanya memastikan.

Dion ikut meringis. "Ah, maaf. Aku lupa. Kalau begitu, kamu pesan apa?"

Reina mendesah mendengar permintaan maaf Dion. Ia mengangguk lemah mengiyakan. "Aku jus strawberry aja."

Dion lalu menyebutkan pesanan Reina dan pelayan itu pergi. "Maaf, ya. Aku lupa kalau kamu gak bisa minum kopi. Harusnya dari tadi aku pesenin jus strawberry aja, ya. Kamu kan paling suka sama stawberry."

Reina menggeleng lemah. Rautnya terlihat kecewa. "Aku gak terlalu suka strawberry, Di. Aku memesannya karena tak ada pilihan lain."

"Oh ya?" Ujar Dion dengan nada tanya, membuat Reina menaikkan alisnya. Dion segera meralat nadanya. "Oh, iya." Katanya lirih.

"Kamu juga lupa dengan buah kesukaan aku, Di?" Reina bertanya memastikan.

Dion terlihat blingsatan. "Mmm... Apel?" Tanyanya tak yakin.

Reina menggeleng lemah sekali lagi. "Aku gak terlalu suka apel karena apel cepat beroksidasi. Aku suka jeruk, Di." Reina menjelaskan sekali lagi.

"Ah, iya. Maaf ya. Banyak tugas membuat otakku rada geser. Hehehe..." Dion beralibi. Reina hanya mengangguk kecil mengiyakan.

Reina kecewa pada Dion. Banyak tugas membuat otak rada geser. Ia dan Dion sama. Jadi, kelimat itu harusnya juga berlaku untuknya. Tapi, kenapa kemarin Dion sampai tega membiarkannya tak melakukan apapun hanya untuk menunggu Dion yang ternyata tak datang?

Padahal ia bisa menggunakan waktu itu untuk mencicil tugas dan mengurangi kegeseran di otaknya. Memikirkannya, Reina jadi dongkol.

Apalagi ditambah fakta tentang Dion yang tak mengingat satu pun hal tentangnya. Padahal ia baru saja menjelaskannya beberapa jam yang lalu. Belum berlalu sehari dan Dion sudah melupakannya.

Sebelumnya, Reina tak pernah mengalami ini. Ia selalu bersama dengan Rega. Rega selalu hafal semua tentang Reina. Bahkan tanpa Reina bilang pun, Rega selalu mengerti.

Bukan karena mereka selalu bersama, Reina yakin bukan karena itu. Mereka sudah terlalu memahami. Setidaknya begitu menurut Reina. Sebelum kejadian lusa yang menyebabkan dirinya memutuskan untuk perang dingin dengan Rega.

Ah, sudahlah. Reina harus konsisten dengan keputusan yang ia buat. Ia tidak akan berhenti mencintai Dion hanya karena Dion lupa tentang semua kesukaannya. Walaupun Reina tahu, seharusnya mereka bisa saling mengerti dan memahami. Dan walau kenyataannya di sini, hanya Reina yang mengerti Dion, dan bukannya sebaliknya.
***

17 TAHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang