Mempertahankan lebih sulit dari pada mendapatkan
***
Drrrtt Drrrttt
Drrrtt Drrttt
Drrrtt Drrrtt
Gisella memandang layar ponselnya yang terus bergetar selama hampir 1 jam. Itu panggilan dari Vincent, mantan pacarnya. Mereka baru saja putus 2 bulan yang lalu. Bukan karena masalah yang rumit, hanya saja Gisel sudah lelah menghadapi sikap cemburuan dan overprotective cowok itu. Vincent cowok yang baik. Ia tampan, peduli, pemaaf, dan kaya. Hanya saja cowok itu kurang percaya diri. Bukankah menyebalkan hidup bersama cowok yang tidak pede dengan dirinya sendiri?
Padahal mereka sudah berpacaran selama hampir 3 tahun. Tepatnya 2 tahun 8 bulan. Hampir 100% masa putih abu-abunya ia habiskan bersama Vincent. Mereka mulai berpacaran saat awal kelas 10. Saat itu Vincent yang sedang bermain basket di tengah lapangan tak sengaja melempar bola mengenai kepala Gisel yang sedang lewat. Ketika itu Gisel langsung menangis di tempat. Kepalanya terasa pusing, kedua tangannya menutupi wajah. Semua orang memandang ke arahnya. Sebagian menatap khawatir dan sisanya menatap dengan tak suka. Dulu sebagian orang tak menyukainya karena mudah menangis atas hal-hal sepele. Ada juga yang menganggapnya sengaja terlihat lemah untuk menarik perhatian cowok. Namun Gisel tak peduli. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri yang apa adanya.
Saat itu Vincent segera menghampirinya dan membawanya pergi ke tempat yang agak sepi untuk menenangkannya. Cowok itu meminta maaf dengan tulus sembari mengelus bagian kepala Gisel yang tadi terkena bola. Awalnya Gisel tak acuh. Tapi, ketika cewek itu membuka mata dan menatap tepat ke arah wajah tampan itu, hatinya luluh. Apalagi ketika ia menyadari tangan Vincent masih mengelus-ngelus puncak kepalanya dengan lembut. Ia tak akan munafik bahwa ia memang menyukai Vincent karena paras tampannya. Dan beruntungnya saat itu Vincent juga jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.
Begitulah kisah mereka dimulai. Namun kita tak akan membahas kisah Vincent dan Gisel. Biarlah masa lalu menjadi masa lalu. Sekarang saatnya menata masa depan. Gisel mematikan ponselnya yang masih bergetar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin.
Sempurna.
°°°
"Kamu yakin gak mau masuk fakultas kedokteran sayang? Papi bisa lho masukkin kamu ke universitas paling top dengan koneksi papi."
Gisel hanya memandang ayahnya sekilas, kemudian kembali memotong tenderloin steak. Tadi ayahnya mengajak makan di restoran steak, katanya sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua. Semenjak Gunawan, ayah Gisel menjalin hubungan dengan wanita baru, mereka jadi jarang menghabiskan waktu berdua seperti dulu. Namun ia tahu bahwa ia tak boleh egois. Bagaimanapun juga ayahnya berhak untuk memiliki kebahagiaan sendiri.
"Maksud papi, kamu cukup pintar untuk masuk jurusan kedokteran. Dan masa depan kamu pasti akan terjamin. Lagipula bukankah menyenangkan kalau nantinya kita bisa bekerja bersama?"
Gisel berhenti mengunyah, ia menegakkan tubuh. Dengan ragu, ia membuka hasil pengumuman SBMPTN yang baru ia terima 2 hari lalu. Ia tahu ini bertentangan dengan keinginan ayahnya yang ingin Gisel masuk universitas swasta dekat rumah. Namun ia sudah besar dan berhak untuk menentukan masa depannya sendiri.
"Papi harus lihat ini." Gisel menyerahkan ponselnya dengan agak khawatir. Khawatir kalau ayahnya tak setuju dengan pilihannya. Biarpun ia pintar, tetap tidak mudah untuk diterima di universitas negeri.
-----
Pengumuman Hasil Seleksi SBMPTN
Nomor Peserta: 133-669-01-0001
Nama Peserta : Gisella ManuelaSelamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN di:
PTN: Universitas Negeri Angkasa
Program Studi: S1 FisioterapiPersyaratan pendaftaran ulang calon mahasiswa baru dapat dilihat di sini.
-----
Pria paruh baya yang duduk dihadapannya terdiam sesaat. Mulutnya membuka sempurna membentuk huruf O. Kemudian pria itu memandang putri semata wayangnya lekat-lekat. Gisel mulai berkeringat dingin, khawatir sang ayah tak akan menyetujuinya. Suara musik klasik yang mengalun dari speaker restoran terdengar semakin keras.
Gunawan bangkit berdiri, kemudian menghampiri putrinya. Hening sesaat selama beberapa detik.
Satu detik..
Dua detik..
Tiga detik..
Empat detik..
Lima detik..
Deg
Gisel menahan nafas saat ayahnya berlutut di sampingnya. Ia tak bisa membiarkan itu terjadi.
"Papi, aku mohon kasih Gisel kesempatan untuk bisa menentukan masa depan Gisel sendiri. Gisel kan sudah besar." Ucapnya dalam satu tarikan nafas.
Ayahnya hanya diam, menunduk ke bawah meja, tangannya meraih sesuatu.
"Papi ngapain sih? Udah kayak kucing aja."
Ayahnya berdiri, seraya menunjukkan satu keping uang logam 500 perak. "Tadi koin papi jatuh."
Gisel menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ayahnya memang suka tak fokus disaat ia sedang bicara serius.
"Jadi apa kesimpulannya? Papi setuju atau enggak kalau Gisel kuliah di Universitas Negeri Angkasa?" Tanyanya ketika ayahnya sudah kembali duduk di tempat.
Pria paruh baya itu terdiam sesaat, kemudian menegak habis isi gelasnya. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat seolah sedang mengumpulkan tekad.
"Kapan waktu terakhir pendaftaran ulang?"Mata Gisel berbinar mendengar respon sang ayah. Ia kira ayahnya tak akan setuju.
"2 hari lagi pi. Papi beneran ngizinin Gisel?""Iya sayang. Lagipula kalau papi gak ngizinin, kamu tetap akan membangkang kan? Papi akan dukung kamu selama itu hal yang positif."
Gisel langsung menghampiri dan memeluk ayahnya dengan erat. Ia sangat senang ayahnya menyetujui keputusannya. Sebuah keputusan yang menjadi awal kisah di Universitas Negeri Angkasa.
"Kamu hebat sekali, sayang. Pasti tidak mudah untuk diterima di universitas negeri. Tapi harus diingat kalau mempertahankan jauh lebih sulit dari pada mendapatkan. Ini berlaku tidak hanya untuk kuliah, tapi dalam segala hal. Dunia perkuliahan berbeda dengan sekolah. Akan ada banyak hal yang tak pernah kamu sangka sebelumnya. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap fokus pada tujuan utamamu, yaitu belajar dan mencari il-" Penjelasan Gunawan terpotong ketika ponsel di meja bergetar dan menampilkan nama seorang wanita.
"Sebentar ya sayang. Papi angkat telepon dulu. Kamu habiskan steaknya, nanti keburu dingin lho."
Gisel mengangguk pelan sambil mengacungkan jempol. Awalnya ia sulit menerima saat ayahnya menjalin hubungan dengan wanita baru. Ia khawatir jika harus menerima orang baru di hidupnya. Tapi ia percaya apapun yang terjadi dalam kehidupan, pasti sudah diatur. Termasuk kejadian 10 tahun lalu, saat ibunya memilih pergi meninggalkan ayahnya demi pria lain.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE MEMORIES
RomanceTentang pertemuan.. Tentang persahabatan.. Tentang perjuangan.. Tentang mengikhlaskan.. Tentang hukum karma.. Dan tentang kenangan..