4

24 9 0
                                    

Alana duduk dikursi miliknya, disamping kirinya sudah ada Berlin yang tengah menyantap sarapan. Kebiasaan gadis itu adalah sarapan di kelas, bukan di kantin. Malas lihat murid-murid yang bucin katanya, derita virtual gini amat buset.

"Lo udah sarapan belum, Al?" tanya Berlin dengan mulut penuh makanan.

"Udah kok tadi," jawabnya singkat.

"Katanya bakal ada murid baru, ya?" tanya Berlin lagi.

"Nggak tau tuh."

Mereka kembali diam sampai teman-temannya yang lain datang bergabung. Devita, Sasya, Cinta, dan Fani. Mereka semua duduk berkerubung dimeja milik Alana dan Berlin.

"Eh si hatees lagi sarapan," kata Sasya menyindir Berlin.

Berlin yang mendengarnya pun mendelik. "Bacot lo, gamon gak diajak." Berlin membalas sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"Emang masih jaman ya hatees? Digantung kayak jemuran."

"Emang masih jaman ya gamon? Udah gamon, ngarepin dia balik, chat aja cuman di read," sindir Berlin.

"Busett! Udah bang, udah. Satu-satu napa bang, jangan langsung semuanya, kena mental nih gue!" ujar Sasya dengan lirih.

Yang lainnya pun tertawa saat mendengar perdebatan kecil mereka berdua. Padahal sasya yang memulai, tapi dia juga yang malah kena mental. Sasya dan Berlin memang biasa ribut-ribut seperti itu, tapi itu hanya jokes dan setelahnya mereka akan kembali akur.

"Ya siapa suruh nyindir Berlin? Nih ya, jangan coba-coba nyindir Berlin, disindir balik ntar kena mental. Kayak lo!" sungut Alana dan kembali membuat semuanya tertawa.

"Tapi gue gak cuman nyindir Sasya doang sih, gue juga nyindir lo bertiga," kata Berlin sembari menunjuk Alana, Fani, dan Devita.

"Si anjir, dasar anak bapak Adi!!!" kata Devita.

"Apa lo?! Dasar anak bapak Yadi!!" balas Berlin.

"Kenapa gue ikut-ikutan kebawa?" tanya Fani.

"Ya lo, gamon kok sama yang belum sempet dimilikin? YAHAHAHAHA" ucap Berlin diakhiri dengan tertawaan.

"Alana gamon sama Bian, Sasya gamon sama Gibran, Devita gamon sama Yudha, dan lo gamon sama si Fauzi!!" tambah Berlin. Untung nama lelaki yang di sebut Berlin itu semuanya sedang tidak ada dikelas, jika ada, sudah habis malu semuanya.

"Daripada lo, hatees sama si Revin. Kehalang trauma pula," cibir Sasya.

"Bacot, Munhir."

"Udah, udah, ribut mulu kalian tuh." Cinta angkat bicara.

"Btw, nama bapaknya si Alana siapa ya?" monolog Fani.

"YAHAHAHAHA!!! GAK TAU KAN LO PADA?!!" Alana bersorak heboh.

"Kasih tau lah!" pinta Sasya.

"Gamao, cari tau aja sendiri!" kata Alana.

"Oke, nanti kita liat Kartu Keluarga punya lo. Gak cuman nama bapak lo doang yang ada disitu, nama emak lo juga pasti ada. Double kill deh!" ujar Berlin dengan semangat dan hanya dibalas senyuman paksa oleh Alana.

Ya memang benar, mereka semua ini sering sekali meledek satu sama lain menggunakan nama bapak. Katanya, kalau temenan tapi gak tau nama bapak satu sama lain itu gak asik. Tapi tenang, diantara mereka berenam ini tidak ada yang baperan. Seperti lata Berlin, "baperan gak diajak."

Kringg kringg

Tidak terasa bel masuk sekolah pun berbunyi, seorang guru masuk bersama dengan seorang murid lelaki tinggi, berkulit putih bersih, hidung mancung, dan berkacamata. Alana sudah bisa menebak jika lelaki itu pasti seorang Anime Lover.

Dia AldyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang