Di tengah malam yang dingin, aku bersembunyi di bawah jembatan beton. Jembatan inilah yang menjadi satu-satunya tempat yang bisa memberikan perlindungan dari angin yang menusuk.
Aku adalah Hoshi seorang anak kecil yang hidup di jalanan, terbuang dan terlupakan oleh dunia. Tidak ada yang peduli padaku, kecuali bintang-bintang di langit malam.
Aku tidak memiliki rumah, apalagi harta. Orang tuaku telah pergi meninggalkanku ketika aku masih berusia delapan tahun.
Aku masih bersedih tentang hal itu. Kejadian satu tahun lalu, membuatku terus menyalahkan diri sendiri. Hatiku terus bergejolak dengan rasa sedih yang terus mendalam. Setiap malam tak pernah tertinggal dengan ritual menangis dan pikiran yang terus meliar.
"Seharusnya aku tak perlu hadir di dunia ini. Seharusnya tuhan membiarkan ibu dan bapak tetap hidup di dunia ini. Lagi pun, aku tak ingin melihat dunia yang abu-abu ini. Apalagi hidup dengan keadaan fakir dan rapuh sejak lahir."
"Seandainya aku tak lahir, maka tak ada yang perlu susah payah mengurusi anak yang penyakitan ini. Ibu dan bapak tak perlu repot untuk membawaku pergi ke rumah sakit. Yang pada akhirnya mereka malah celaka sebelum sampai tujuan."
Mereka mengalami kecelakaan tragis saat mengantarkanku ke rumah sakit. Karena, penyakit langka yang aku derita, hemofilia.
Tubuhku tak bisa berhenti berdarah dengan sendirinya. Setiap luka kecil, kelelahan, dan benturan, bisa menjadi ancaman serius teruntuk hidupku.
Sejak kejadian itu, aku hidup dengan bertahan di jalanan. Mencari makanan di tong sampah, mencari tempat berlindung di bawah jembatan atau di dalam lorong-lorong yang gelap. Hidupku, begitu rapuh seperti pecahan kaca yang bisa hancur setiap saat.
Tapi di tengah kesepianku, aku menemukan kenyamanan dan kehangatan melalui bintang-bintang. Aku duduk di bawah langit malam, memandangi cahaya gemerlap mereka, dan berbicara seolah-olah mereka adalah kedua orang tuaku yang pergi.
Aku berbicara tentang harapanku, kesedihanku, dan semua perasaan yang terpendam di dalam hatiku. Bintang-bintanglah yang menjadi pendengar setia dan penasihatku yang paling setia sejak hidup dengan kesendirian.
✨✨✨
"Woy, lari ada Satpol PP!" teriak seseorang bocah yang membawa sebuah ukulele.
Aku yang baru bangkit dari tidurku, tak bisa bergerak dengan cepat sebelum otak ini sadar sepenuhnya.
Aku lekas berlari terburu-buru. Tak ada yang aku pedulikan setelah mendengar kata 'satpol PP'.
Aku tak boleh tertangkap, aku tak mau hidup di panti sosial. Mereka bilang, hidup panti sosial layaknya hidup di dalam lapas. Tak bebas, serba kekurangan, juga tak terurus. Lebih baik aku hidup sendirian, meski menjadi orang pinggiran.
Laju lariku mulai melemah, petugas itu masih mengejar tak ada hentinya. Aku sudah lelah, kakimu sudah tak sanggup untuk kejar-kejaran dengan petugas itu.
Tapi, mau tak mau aku harus menguatkan diri, setidaknya sampai menemukan tempat untuk bersembunyi.
Tak jauh dari tempatku saat ini, terlihat sebuah gang sempit yang aku kenal. Aku lekas berbelok memasuki gang lalu bersembunyi di dalam sebuah warung.
Petugas itu berlari kebingungan mencari keberadaan ku yang hilang dari pandangannya. Tanpa bertanya, petugas itu berlari melewati warung tempatku bersembunyi.
"Wes, aman-aman. Sudah sana pergi dari warung saya." ujar sang pemilik dengan aksen Jawanya yang kental.
Aku menunduk malu dengan setengah kesal karna di usir pemilik warung itu. Tapi, disisi lain aku berterimakasih karna dia tak melaporkan aku pada petugas yang sedari tadi terus mengejar.