Narasi

7 2 0
                                    

   Bulan sabit yang menggantung di angkasa, hilang direnggut mendung. Bintang-bintang seolah padam, basah oleh rintik hujan. Awan hitam masih menumpahkan sisa-sisa gerimis, memainkan melodi pada gemercik yang jatuh pada genangan.

   Malam itu, setelah hujan reda, aku melajukan sepeda motorku menuju rumah seseorang yang baru kukenal tadi siang di Gramedia. Aisha Faiha namanya, tanpa sengaja berpapasan lantas memulai obrolan, lalu berakhir dengan bertukar nomor. Percakapan di ponsel membuatku memutuskan untuk menemuinya, sekadar untuk membahas novel karya Tere Liye yang kebetulan aku dan dia baca.

   Pertemuan pertama dengannya benar-benar mengesankan. Bagaimana tidak? Dengannya aku bisa membahas banyak hal. Ternyata bukan hanya sebatas obrolan menyoal novel. Politik, agama, ekonomi, bahkan kita membahas kenapa air laut asin? Kenapa langit berwarna biru? Hahaha. Dia juga menyukai hal-hal yang berbau Jepang, sama sepertiku. Anime dan makanan Jepang misalnya. Waktu bergulir cepat bagai desing peluru. Dari segala hal yang menjadi topik obrolan, yang melekat di pikiranku justru senyumannya. Teramat indah, seperti sakura yang bermekaran di musim semi. Ia sempurna, hingga terbesit dalam benak bahwa dia mungkin sengaja Tuhan ciptakan untuk mengisi kekosongan di jiwaku dan inilah jawaban dari setiap doa-doa yang telah lama mengudara.

  Pertemuan-pertemuan terlewati. Merangkai sekumpul kisah bahagia dalam hidup. Aku mengenalkannya pada keluargaku, begitu juga sebaliknya. Aku kenal baik dengan orangtua dan adik-adiknya. Entah apakah terlalu cepat atau tidak. Sebulan selepas pertemuan pertama dengannya, setelah saling menjejaki kisah masing-masing, aku dengannya mengikat janji dengan purnama sebagai saksi bisu atas ikrar yang terucap. Aku dengannya resmi mejalin hubungan dan berencana untuk menjalani ke tahap yang lebih serius.

   Enam bulan berlalu tanpa terlewat doa kepada pemilik semesta agar selalu menjaganya untukku. Namun, bukan berarti hubunganku dengan Aisha selalu berjalan baik. Sudah sebulan aku menjadi pengangguran, kontrak masa kerjaku habis tanpa perpanjangan. Padahal, aku sedang menabung. Rencana melamarnya di penghujung tahun terancam ditunda andai belum mendapatkan pekerjaan lagi. Namun kepada Aisha, aku telah berjanji akan selalu mengusahakannya.

   Lagi-lagi waktu berlalu tak terasa. Suara letusan kembang api terdengar di mana-mana. Sorak gembira anak-anak juga terdengar ramai. Malam tahun baru 2019 kuhabiskan di rumah kekasihku bersama keluarganya. Di antara tawa yang riang di rumahnya, ada sesak yang menyendat kerongkonganku. Aku gagal menuntaskan janji pada Aisha untuk melamarnya di penghujung tahun. Aku masih pengangguran, padahal surat lamaran kerja sudah kusebar ke hampir setiap perusahaan yang membuka lowongan. Namun apalah daya, aku hanya mampu berusaha, selebihnya Tuhan yang mengatur jalannya. Mungkin Aisha bisa menungguku, namun dari raut mamanya, kulihat sebuah ragu.

   Hampir setahun kuhabiskan waktuku bersama Aisha. Mengantarnya bekerja lalu menjemputnya. Sekali lagi, aku masih pengangguran. Hari itu aku merasa ada yang berbeda pada Aisha. Ia menolak ketika aku hendak ingin meminjam ponselnya. Padahal, sebelumnya, baik aku maupun dia selalu terbuka untuk apapun. Di satu momen ketika ponsel Aisha tergelatak di meja, aku meraihnya, menempelkan sidik jariku di belakang layar. Namun, pada layar ponsel teridentifikasi bahwa sidik jari tidak dikenal. Begitu juga saat kugunakan password dan kuketik tanggal jadian, ternyata ia telah menggantinya. Aisha hanya menjawab tidak kenapa-kenapa saat kutanya kenapa ia mengganti password dan menghapus sidik jariku di ponselnnya. Kala itu, hatiku dipenuhi curiga, pikiranku pecah sebab menerka-nerka.

   Sejak saat itu, hubunganku dengannya berubah 180 derajat. Segala bahagia seolah sirna begitu saja oleh hal yang aku sendiri tidak tahu. Ia sering hilang kabar. Tak jarang juga ia bilang main bersama teman sepulang ia kerja dan meminta tidak usah dijemput. Di kelopak mataku, musim semi yang kulihat pada sosok Aisha beralih gugur.

   Di suatu waktu ketika Aisha meminta tidak ingin dijemput. Aku memilih tidak menghiraukannya. Aku ingin membuang segumpal tanya di dada. Sore itu sedang mendung, aku melaju dengan kecepatan tinggi menuju tempat kerja Aisha. Masih 30 menit lagi jam kerja Aisha selesai, aku menunggu tepat di seberang pabrik tempatnya bekerja. Di salah satu kawasan besar di Karawang. Sembari menunggu, aku membuka layar ponsel. Memilih galeri foto, menggesernya, lantas berhenti di sebuah foto. Ya, fotoku yang sedang merangkul Aisha dengan mesra. Ujung mataku hangat, bulir air mata jatuh tak tertahan. Aku mencintai Aisha dengan teramat sangat.

   30 menit berlalu, segerombolan orang dengan seragam senada keluar dari gerbang pabrik. Sebagian keluar dengan sepeda motor, sebagian lagi jalan kaki. Retinaku mengitari sekitar, namun tak kutemukan sosok yang kucari. Aku mencoba menghubungi Aisha, beberapa kali panggilan tak terjawab. Aisya menelepon balik, katanya ia pulang bersama Devi, teman kerjanya. Aku mengiyakan, tidak memberitahunya bahwa aku sudah sejak tadi menunggunya. Belum sempat kutaruh ponsel di saku, mataku menangkap pemandangan yang membuatku bergetar hebat. Aisha baru saja dibonceng oleh seorang pria yang memakai seragam kerja senada dengannya. Dalam kondisi masih tak percaya, aku mengikuti mereka dari belakang. Motor yang mereka kendarai berhenti di sebuah kedai makan. Aku masih membututi dari jauh. Lagi-lagi pemandangan yang sangat kubenci terjadi. Aisha terlihat asyik mengobrol dengan pria di depannya. Sesekali, Aisha disuapi makanan oleh orang di depannya. Sungguh, badanku bergetar hebat, tangis tak sanggup lagi kubendung. Sakura di bibir Aisha, gugur di hatiku namun bermekaran pada orang lain. Aku mencoba menguatkan hati, menyeka air mata yang sejak tadi tumpah, aku harus tegar. Lantas menghampiri mereka. Aku memutuskan hubungan dengan Aisha saat itu juga. Tidak peduli dengan apapun penjelasan yang ia ucapkan. Kubilang, semoga bahagia kepada Aisha sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedai tersebut.

   Aku melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah, hujan turun dengan lebat di pertengahan jalan. Semesta seolah paham dengan apa yang dirasa oleh hati. Petir menggelagar di langit, namun yang porak-poranda justru hatiku.

   Aku menelan segala sakit sendirian. Tentang Aisha benar-benar kutinggalkan sepenuhnya. Kublokir semua kontaknya. Potret yang bersemayam di ponsel kuhapus, juga yang sudah terlanjur kuunggah di media sosial. Apakah dengan begitu aku bisa dengan mudah melupakannya? Tentu tidak! Hari demi hari berlalu seperti berjalan di atas bara api.

   Setahun pertama, kenangan tentangnya masih melekat dalam pikiran, sakitnya masih membekas di dada. Lantas tahun-tahun selanjutnya, aku mulai terbiasa hidup tanpanya. Hari-hariku berjalan seperti sedia kala meski terasa hampa. Aku sudah kembali sibuk dengan pekerjaan baruku. Mungkin, sesekali masih terlintas indah senyum Aisha sekaligus perih yang ia torehkan di hati.

   Hingga detik aku menulis narasi ini, Aisha masih menjadi wanita pertama dan terakhir. Yang kucintai dengan sepenuh hati, namun dibalas mengkhianati hingga hampir kehilangan seluruh waras. Mungkin Aisha adalah alasan mengapa hingga saat ini aku masih ingin sendiri dan memilih mengabadikan tiap-tiap kenangan dalam sebuah tulisan. Hehe :')

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kucintai Sepenuh Hati, Kau Khianati Setengah MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang